DRAKULA ABAD 21, SIAPA TAKUT?
(Mengendus Pemikiran Kritis Pius
Rengka)
Oleh : Gusty Rikarno, S.Fil
Jurnalis Media Pendidikan
Cakrawala NTT
Saya baru selesai membaca.
Menelusuri lembah ngarai pemikiran seorang Pastor Dr. Alexander Jebadu, SVD
yang tertuang dalam buku terbarunya, “DRAKULA ABAD 21_Membongkar Kejahatan
Ekonomi Pasar Bebas Tanpa Kendali Sebagai Kapitalisme Muthakir Berhukum Rimba
dan Ancamam terhadap Sistem Ekonomi Pancasila”. Buku setebal 335 halaman ini
tentunya membutuhkan waktu untuk membaca lebih teliti dan kritis. Ada sebuah
sensasi tiada tara saat mengupas, mengunyah dan melahap ulasan yang renyah
daLAM rangkaian fakta dan pristiwa yang nyata terjadi.
Buku ini membuat bulu kuduk
merinding. Kita (pembaca) dibuat tercengang bahkan marah. Data dan fakta
dipadukan secara berimbang dengan banyak pemikiran para peneliti, akedemisi,
pengamat ekonomi sekaligus praktisi lingkungan hidup. Mereka bersaksi apa adanya.
Singkatnya buku ini menggugat sekaligus menuduh korporasi atau perusahan
transnasional sebagai drakula yang membunuh secara keji hidup dan kehidupan
masyarakat kecil. Korporasi hadir dan siap menerkam sendi-sendi kehidupan
masyarakat khususnya bidang ekonomi. Lantas, mampukah pemerintah Indonesia
mempertahan paham ekonomi pancasila di tengah amukan drakula ciptaan manusia
post modern ini. Atau justru pemerintah telah “bermain catur” dengan ikut
berperan di belakang layar untuk “drakula” itu tetap hidup dan siap menghisap
darah masyarakat kecil?
Jika sistem ekonomi global bisa
diumpamakan dengan arena pertandingan bola kaki, maka mari kita menilai dan
mengukur. Di manakah posisi kita. Apakah kita hanyalah penonton, pelatih,
ofisial atau hanyalah sebagai pemain yang ikut menentukan ke mana bola harus di
arahkan? Lalu? Pertanyaan tersisa, siapakah yang berperan sebagai penyelenggara
permainan ini? Buku ini mengangkat berbagai peristiwa dan fakta yang menilai
secara tegas bahwa rakyat (masyarakat) dibiarkan sebagai penonton yang tidak
memiliki identitas dan prinsip hidup. Dengan demikian, sebenarnya tidak ada
pertandingan atau kompetisi. Justru yang terjadi adalah serangkaian sandiwara
korporasi dengan pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Korporasi itu adalah
manusia artifisial. Sebagai seorang pribadi ciptaan hukum (a legal person). Ia
(korporasi) bermain sendiri. Ia men-golkan seluruh ambisi dan kepentingan
segelintir orang dengan merampas seluruh kekayaan yang merupakan hak
masyarakat. Ia telah berubah menjadi manusia berwajah drakula.
Pertanyaan tersisa, siapakah
yang menciptakan sekaligus mengendalikan drakula bernama korporasi itu. Hmmm …
itu kan? Bulu kudukmu merinding. Membayangkan sebuah permainan yang diatur dan
disandiwarakan. Miliaran jumlah masyarakat dunia dikendalikan oleh segelintir
orang yang menjadi pemilik dan pengendali “drakula abad 21” itu. Masyarakat
tetaplah menjadi penonton yang tanpa nama, wajah dan identitas. Ideologi bangsa
bakal digadai dan pemerintah tampak tidak berwibawa serta kehilangan roh untuk
membawa masyarakatnya menuju masyarakat yang adil dan sejahtera. Pada titik ini
kita lantas bertanya? Apakah kita masih menganut (mengakui) sIstem ekonomi
pancasila atau justru sudah diambil alih dalam nama neoliberalisme?
……………………………………………
Di teras pondokku, kami
berdiskusi. Tema dan suasana boleh berbeda tetapi orangnya tetap sama. Adalah
seorang Pius Rengka namanya. Untuk saya, dia adalah seorang filsuf yang
mengembara sesukanya. Ia menjual ide dalam banyak cara diantaranya menulis dan
berdiskusi. Seperti Sokrates di zaman Yunani kuno, ia membiarkan fenomena
sosial dikupas dan dikunyah. Ia tidak menawarkan solusi tetapi seakan memberi
jalan kepada pembaca atau pendengarnya untuk memberi kesimpulan sendiri atas
situasi atau fakta sosial yang terjadi. Terkadang ia merana sendiri saat
menemukan partner diskusi yang terlampau pragmatis. Jika kemudian tidak semua
orang diajaknya berdiskusi, mungkin inilah alasannya. Bagi Pius, mutiara itu
harus tiba pada mulut dan yang empunya pikiran yang sepadan. Walau demikian
tidak berarti, Pius suka memilih atau memilah kawan berdiskusi. Ia tetap hadir
dengan siapa saja termasuk orang yang tidak berpikir.
Sudah sering kami berdiskusi.
Pius Rengka tidak gemar mengangkat tema diskusi yang “habis pakai” atau murahan
seperti membicarakan persoalan pribadi seorang pemimpin atau calon pemimpin. Ia
justru ingin membongkar isi pikiran dari seseorang dari cara ia berbicara atau
mengambil keputusan yang berhubungan dengan hidup dan kehidupan banyak orang.
Untuk saya, Pius adalah “nabi” yang tidak pernah mau ikut arus. Ia memiliki
telaga pikiran sendiri dan selalu penuh. Orang-orang di sekitarnya mungkin saja
menertawakannya saat ia berbicara sesukanya saja tanpa memikirkan kalkulasi
untung rugi. Begitulah Pius. Di sore ini kami duduk bersama lagi di pondok
kecil, yang berada di sisi barat pemancar-cabang Tilong-Kabupaten Kupang.
Beginilah kami bercerita sambil
tertawa dan sesekali mengerutkan dahi. Dua ekor ayam dibakar hingga matang dan
renyah. Aromanya menyusup masuk dan berpadu mesra dengan aroma sopi Aimere
beralkohor 40%. Malam yang sunyi ini terasa sangat sempurna. Kami berbicara
sesukanya saja. Mulanya tentang sepak terjang seorang Viktor Laiskodat, seorang
gubernur punyanya NTT. Ada polemik pembangunan pabrik semen di wilayah utara
Kabupaten Manggarai Timur. Selain itu ada secuil kisah dramatis para ibu
Besipae-TTS yang bertelanjang dada. Malam kian larut. Masyarakat yang mendiami
wilayah seputaran pemacang cabang Tilong terlelap. Kami kembali ngakak saat Pius
Rengka mengulang kembali komentar khasnya. “Kamu tahu? Apa yang saya sesali
dalam hidup? Itu adalah peristiwa menutup mata dan tidur. Hampir sebagian besar
waktu saya dihabiskan hanya untuk tidur. Padahal tanpa kita sadari, tidur
adalah cara kita belajar untuk mati. Tidak ada yang bisa dibuat saat tidur
selain mengorok dan menari-nari dalam mimpi yang juga tidak berguna”.
Malam kian larut. Sebagian besar
ayam bakar dan sopi aimere itu, habis dinikmati. Nikmat benar. Apakah kami
justru tertidur? Tidak. Diskusi kami akhirnya mengerucut pada satu tema.
Berdiskusi tentang isi buku Pastor Dr. Aleks Jebadu, SVD. Saverinus Suhardin,
dosen Stikes Maranatha yang kini sedang mengambil program magisternya di bidang
kesehatan bertanya sesukanya. Benarkah drakula abad 21 itu nyata? Apa relevansi
dengan polemik pembangunan pabrik semen dan tentang para ibu Besipae yang
bertelanjang dada? Pertanyaan ini mungkin tidak terlalu penting. Yang paling
penting adalah apa jawaban kita atau pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan.
Di manakan posisi gereja yang hadir sebagai nabi yang menyalakan lentera di
siang bolong itu. Benarkah gereja peduli atau hanya ingin bernarasi untuk
menegaskan bahwa isntitusi gereja masih bisa didengar? Sejauhmana gereja
bersungguh-sungguh meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat atau justru umat
hanya dijadikan ATM berjalan yang bisa dikeruk atas nama Tuhan dan surga?
Kami ngakak bersama. Pius Rengka
ternyata adalah saksi hidup cerita Besipae. Ia (Pius) bercerita kalau Viktor
Laiskodat sempat bertanya, apa komentarnya tentang peristiwa itu saat dalam
perjalanan pulang dari Besipae ke Kupang. Dengan spontan Pius berkomentar kalau
ada beberapa jenis susu yang masih indah dan layak dinikmati. Tentunya, cerita
ini hanyalah lelucon dan tidak bermaksud merendahkan martabat perempuan atau
meremeskan nilai perjuangan masyarakat Besipae. Ada poin penting sebenarnya
yang mau diutarakan seorang alumni Universitas Gajah Mada ini. Menurut Pius,
polemik pembangunan pabrik semen di Manggarai Timur dan soal kepemilikan lahan
di Besipae-Kabupaten TTS adalah bagian dari demokrasi yang harus diakui,
diterima dan dipertimbangkan. Dengan demikian, dinamika pembangunan memang
demikian adanya. Satu hal yang penting adalah menempatkan persoalan itu secara
rasional dan proposional dengan tidak merugikan menguntungkan segelitir orang
tetapi merugikan sebagian besar masyarakat.
“Jujur di saat konstelasi
politik pemilihan gubernur kemarin, saya tidak berpihak pada Viktor Laiskodat.
Ia tahu itu. Jika saat ini saya selalu bersama beliau (Viktor) itu hanya karena
saya menilai ada yang rasional dari cara ia memimpin. Saya sudah baca bukunya
Pastor Aleks tentang drakula abad 21 itu. Kebetulan saja saya mempunyai
pengalaman bekerja sebagai public relation di beberapa perusahan tambang.
Mungkin saja isi buku ini memiliki benang merah tentang polemik pembangunan
pabrik semen dan persoalan di Besipae. Tetapi beberapa point kita bisa petik.
Semisal, waktu atau ruang diskusi yang diberikan pemerintah. Viktor Laiskodat
hadir dan menemui masyarakat secara langsung. Ia menyapa masyarakatnya dan
tidak mengambil jarak apalagi menghindar. Selain itu, ada sebuah tawaran yang
sangat demokratis. Semisal memberi ruang kepada masyarakat untuk menimbang,
apakah dengan membuka lahan pertanian jauh lebih bermanfaat dibandingkan dengan
mendirikan pabrik semen di tempat yang sama. Jika kemudian pabrik semen
berhasil dibangun, kira-kira apa kompensasi bagi masyarakat yang ada di sekitar
wilayah tersebut? Sejauh ini, saya belum melihat ada wajah drakula dalam
kebijakan pembangunan Viktor Laiskodat”.
Kami tertawa lagi. Bukan tentang
diskusi seputar buku drakula abad 21 atau tentang cerita Besipae. Saya
bercerita tentang cara orang menikmati sebotol sopi. Seseorang dimandatkan
untuk menuangkan sopi ke gelas. Ia disebut Bandar. Atas nama persaudara, semua
yang hadir wajib menghabiskan sopi itu. Pukul dua dini hari. Botol sopi aimere
itu kosong. Rian Seong, seniman sekaligus guru di SMAN 4 Kupang membuka diskusi
tentang pabrik sopi punyanya NTT bernama sophia. Namun sayang, hingga saat ini
tidak seorangpun di atara kami yang pernah menikmati Sophia kebanggan NTT itu.
Apakah nikmatnya sama atau berbeda dengan sopi aimere? Di manakah Sophia itu
diproduksi dan kemanakah tempat pemasarannya. Dalam negeri atau luar negeri?
Berapakah jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi NTT dari Sophia ini? Ada
harapan sekaligus keluhaan para pengarajin moke. Kiranya hasil keringat mereka
dibeli dan dilegalkan sehingga tidak “kucing-kucingan” dengan pihak kepolisian.
……………………………………………………………………
Drakula Abad 21 adalah cerita
kehidupan. Sebuah ancaman serius yang dianggap biasa. Belum lagi, masyarakat
dihantui rasa bersalah dan psimis pada situasi hidup. NTT miskin dan bodoh.
Apakah oleh kebijakan pemerintahnya atau justru pada mental masyarakatnya. Pius
Rengka berbicara di menit-menit terakhir. Menurutnya, jalan pulang menuju NTT
bangkit dan sejahtera adalah dengan menata alur pikir masyarakatnya. Pemerintah
dan gereja seharusnya berada pada satu arah yang sama. Kebaikan banyak orang
adalah dasar pijaknya. Jangan sampai ada sikap mendua yang membingungkan
masyarakat sebagai rakyat dan umat. Institusi pemerintah dan gereja seharusnya
membangun sebuah habitus dialog yang saling melengkapi dan memberdayakan.
Buku Drakula Abad 21 adalah
fakta yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Membelenggu dan menghancurkan
drakula ini butuh sebuah sinergisitas dan kolaborasi dalam konsep dan aksi
pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat umum. Sumber Daya
Alam (SDA) seharusnya dikelola dengan tetap memperhatikan asas manfaat dan
mempertimbangkan efek jangka panjangnya. Indonesia apalagi NTT terlalu kecil
untuk dicabik-cabik. Pius Rengka sebagai ketua komisi informasi publik tentunya
memiliki posisi sentral. Tugas komisioner komisi informasi sudah tertuang jelas
sesuai UU No. 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik.
Pondok kecilku yang berada di
sisi barat pemancar, cabang Tilong-Kabupaten Kupang ikut bersaksi. Tentang
pentingnya intisari dari seluruh cerita kehidupan yang dibicarakan apa adanya.
Biarkan suara “kenabian” Pastor Dr. Aleks Jebadu berpadu dalam satu bentuk yang
lebih konkrit dari hadirnya Pius Rengka. Seorang yang selalu resah ingin
berbicara apa adanya. Semuanya untuk satu arah. Kebaikan bersama. Kita sepakat.
Drakula itu segera pergi dan atau lenyap di ini NTT.
Salam Cakrawala, Salam Literasi
…
0 Comments