Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

Kelas Pelangi ala Spekacipto (Kolaborasi Awal Tahun Bersama Yayasan Rumah Literasi Cakrawala)

 


Oleh : Gusty Rikarno, S.Fil.

(Tuan Rumah Literasi Cakrawala NTT)



CAKRAWALANTT.COM - Angin perubahan membawa kami berlari kencang. Mengejar waktu, yang terkadang hadir hanya untuk disia-siakan. Lalu, bisakah kita memberi alasan bahwa hidup adalah pengembaraan yang tak berujung? Jika hidup bermula dari Sang Sabda, mengapa harus ada pertanyaan yang tidak pernah mendapatkan jawaban? Mengapa harus ada sang gelap bila matahari itu selalu memberi dan enggan mengharapkan kembali?

 

Ataukah hidup hanyalah bentuk keterlemparan dari keabadian? Sudahlah! Mungkin begitulah hidup, terasa pahit, tetapi entah kenapa selalu manis di tegukan terakhir.

 

***

 

Pada pagi yang masih belia, tepatnya 17 Januari 2024, saya sengaja bertamu dan akhirnya berdiskusi dengan Romo Yonas Kamlasi, Pr., S.Fil.,  seorang Imam Diosesan Keuskupan Agung Kupang sekaligus Kepala SMP Katolik Adisucipto atau yang lazim dikenal Spekacipto.

 

Pada suatu waktu yang sulit dieja kembali, kami pernah bertemu dan namanya banyak diceritakan orang. Tegas dan berprinsip, tetapi tetap humanis dengan selera humor yang renyah. Semangatnya masih sama. Utuh dan tulus demi masa depan ratusan anak-anak bangsa yang mengenyam di bawah atap Spekacipto. Duduk dan berbagi cerita dengannya, seakan kita sedang berada di kedai kopi. Hangat, manis dan sesekali terasa sepat bila tidak mengerti relasi antara diskusi dan minum kopi.

 

Romo Yonas, begitu sapaannya, selalu ingin berpikir praktis tetapi menyeluruh. Dia tak ingin memandang keajaiban yang hadir mendadak tanpa melalui sebuah proses yang jelas dan terukur. Seperti halnya membangun sekolah ini, ia ingin semua peserta didik mendapat porsi yang sama baik dari sisi kemampuan intelektual, spiritual dan emosional.

 

Atau dalam konteks Kurikulum Merdeka, ia ingin mewujudkan sebuah ekosistem pendidikan di mana semua peserta didik memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, dengan enam ciri utama, yakni beriman (bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa), berakhlak mulia, berkebhinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis dan kreatif.

 

Di titik inilah, diskusi kami mengerucut pada sebuah kata yang dahsyat di abad ini, yakni sinergitas dan kolaborasi. Membawa mimpi anak-anak Spekacipto mengangkasa bersama tokoh nasional Raden Mas Agustinus Adisucipto.

 

Benar! Nama sekolah ini terinspirasi dari tokoh pahlawan nasional ini. Beliau merupakan Seorang TNI Angkatan Udara yang mendaratkan pesawat terbang pertama kalinya di tanah Timor, tepatnya di bandara Eltari Kupang.

 

“Saya tidak mau, hanya untuk menongkrak ‘nama besar’ sekolah, kita harus mengorbankan sebagian besar dan fokus pada anak-anak tertentu saja. Kasihan para orang tua yang telah berjuang keras untuk menyekolahkan anak-anaknya di sini. Mereka harus diperlakukan sama. Saya dan para guru selalu siap menghamba pada anak. Mereka adalah masa depan Gereja dan bangsa,” ujar Imam Diosesan kelahiran Amarasi ini.

 

Begitu dan beginilah kami memulai. Mendasar pada sebuah pertimbangan sederhana bahwa semua anak dianugerahi Tuhan dengan bakat dan talenta yang beragam. Semuanya itu perlu digali, diseleksi, dan dimurnikan. Salah satu bakat dan minat anak yang perlu digarap dan dikembangkan serius adalah ketekunan dan ketrampilan menulis.

 

Oleh karena itu, perlu dirancang sebuah kegiatan bersama yang tentunya tidak biasa. Benar, pada tegukan terakhir kopi hangat di pagi itu, kami memberi kesempatan kepada semua peserta didik yang berminat di dunia literasi agar bias mendaftarkan diri. Dengan demikian, tidak ada unsur paksaan di sana.

 

Mereka hadir dengan hati terbuka dan keluasan pikiran. Akhirnya, Kelas Pelangi terbentuk di Spekacipto dan benih literasi itu mulai disemaikan untuk kemudian diharapkan bertumbuh subur di hati dan pikiran warga Spekacipto.

 

"Tidak baik kalau tim pendamping datang dari dari Yayasan Rumah Literasi Cakrawala saja. Harus ada guru yang mendampingi demi keberlanjutan program ini,” begitulah saya memberi saran.

 

Pastor Rekanan Paroki St. Yosef Pekerja Penfui itu mengangguk setuju. Maka, hadirnya Ibu Celin dan Pak Ino selaku guru pendamping menjadi paragraf akhir dari seluruh diskusi hangat pagi itu. Kelas Pelangi ala Spekacipto siap untuk bergerak dan berkarya.

 

***

 

Kami di sini. Tiga hari lamanya sejak 22-24 Januari 2024. Kelas Pelangi mulai bergerak dari sudut ruang perpustakaan sekolah. Ada banyak buku di sini, sebagian besar merupakan buku pelajaran dan sisanya adalah buku referensi belajar. Kita (kami) bermimpi sama. Di ruangan ini, saatnya akan terpajang sekian banyak judul buku karya para guru dan peserta didik.

 

Syaratnya satu, yakni Kelas Pelangi ini harus ditaburi banyak ide kreatif. Anak-anak harus mampu mendidik pikirannya dan tekun mendidik jari-jarinya. Intinya, mereka harus bisa menulis mulai dari diri mereka sendiri, mulai dari apa yang mereka sukai, serta dimulai dari sekarang.

 

Itulah yang terjadi. Kami awali dengan memperkenalkan diri, tetapi berbeda dari biasanya. Kami (mereka) memperkenalkan diri dengan menulis dan akhirnya bernafas dalam kata dan membiarkan kata-kata itu berbicara.

 

Dengan cara begini sebenarnya kami sedang berlatih menulis dalam banyak bentuk, semisal autobiografi, puisi prosa, kisah perjalanan hidup, dan sebagainya. Beberapa peserta Kelas Pelangi ini menitikkan air saat membacakan tulisannya sendiri. Benar! Mereka sudah menulis dari hati dan kami yakini bakal sampai ke hati para pembacanya. Ada kisah sedih, haru, inspiratif, kecewa dan bahagia berada pada paragraf-paragraf mungil hasil karyanya sendiri.

 

Seseorang menulis tentang bagaimana dia ditinggalpergikan oleh orang tuanya dan yang lain berkisah tentang bagaimana ia menyaksikan sendiri pertengkaran orang tuanya. Sementara yang lain bercerita tentang bagaimana ia dicintai, dimanjakan, dan sebagainya.

 

Kisah-kisah mereka bagai pelangi yang mewarnai seluruh pergumulan hidup manusia. Sebuah perjalanan hidup yang tak pernah selesai antara kefanaan dan keabadian, surga dan neraka, serta antara yang biasa dan yang Istimewa. Hidup akhirnya disadari hanya sebatas cerita. Terkadang terasa pahit, tetapi entah kenapa selalu menghadirkan sensasi manis pada tegukan terakhir. Ketulusan dan kepolosan hati mereka dalam merangkai sebuah tulisan menegaskan kenyataan tersebut.

 

Setelah peserta Kelas Pelangi memperkenalkan diri dalam narasi yang hidup, kini tiba saatnya untuk mengelompokkan mereka berdasarkan warna tulisannya yang dirangkainya. Perlahan namun pasti, mereka akhirnya diarahkan untuk menulis sesuai passion dalam dirinya. Seorang menulis dongeng dan yang lain menulis puisi, cerpen, autobiografi, dan sebagainya.

 

Di antara yang ada, kami meminta mereka untuk fokus menulis agar kemudian menghasilkan karya sendiri atau bersama dalam bentuk buku, semisal novel remaja, kumpulan cerpen atau dongeng, dan beberapa jenis tulisan kreatif, seperti pentigraf, kisah perjalanan dan mengabadikan karya mereka dalam buku yang unik dan mengugah hati para pembacanya.

 

Berada bersama peserta Kelas Pelangi, entah kenapa, saya merasa terlahir kembali untuk menulis apa adanya tanpa malu sampai tidak tahu malu. Belajar dari cara para penulis muda ini berjuang mengenal diri dan jati dirinya melalui tinta pena yang digenggamnya.

 

Jika kemudian hidup hanyalah sebatas cerita, untuk apalagi kita hidup dari cerita orang. Kita adalah penulis atas hidup kita sendiri. Kita yang sudah memulai paragraf awal, maka kita yang sama adalah dia yang akan menyelesaikan paragraf akhir. Tiga hari kami berproses dan bersama memahat janji bahwa tiga hari bukanlah awal dan akhir dari proses mengupu-ngupukan kepompong mungil di Kelas Pelangi. Masih ada jenis tulisan jurnalistik, esai ilmiah remaja dan beberapa jenis tulisan lainnya yang harus kami dalami bersama.

 

Seperti kopi di kedai itu, kami dari Yayasan Rumah Literasi Cakrawala ingin selalu ada dan membara sebagai api dan tungku di kelas pelangi ini. Mimpi kami utuh dan tunggal. Di satu titik nanti, benih literasi itu berbuah lebat dan ranum dari halaman Spekacipto.

 

***

 

Biarkan angin perubahan itu selalu berhembus. Jangan jauhkan para pemilik masa depan Gereja dan bangsa itu dari dunianya. Biarkan mereka tetap hidup selaras zaman tanpa harus tergilas oleh arus zaman. Mereka adalah pelangi yang selalu ingin berwarna dan harus berwarna. Artinya kecerdasan intelektual tidak lagi menjadi penentu tunggal untuk sebuah lembaga pendidikan disebut bermutu.

 

Atau dengan versi lain, sebuah lembaga pendidikan disebut bermutu jika semua peserta didik hadir dan tampil sesuai dengan warna bakat dan talentanya masing-masing. Tugas kepala sekolah, guru, dan semua stakeholders pendidikan sesederhana itu. Memberi ruang bagi semua anak untuk mengembangkan potensi dirinya.

 

Kelas Pelangi ala Spekacipto adalah salah satu contohnya. Salam hangat dari ini taman pendidikan yang berada di sudut kiri bandara Eltari tempat Mas Raden Agustinus Adisucipto mendarakan pesawat pertama kalinya. (MDj/red)


Post a Comment

0 Comments