Gusty Rikarno Jurnalis Media Pendidikan Cakrawala NTT |
Saya melajukan kendaraan
(Motor Verza) lebih cepat dari sebelumnya. Kali ini saya terlambat lagi menuju
kantor. Bukan karena tidak punya kebiasaan bangun pagi. Saya selalu bermasalah
dengan waktu mandi. Entah mengapa, menikmati kesendirian di kamar mandi menjadi
hal menyenangkan. Aneh. Yah, begitulah. Berada di kamar seakan membawa seluruh
imajinasiku pada masa lalu. Masa kecil, tepatnya. Di saat itu, semunaya terasa
nikmat. Air itu mengalir dan tidak terbayang rasa kwatir jika di akhir bulan nanti
tagihan biaya air membengkak.
Istriku kadang mengerutu
dan beberapa kali memanggilku dengan suara tinggi. Air kamar mandi itu mengalir
hingga ke halaman depan dan saya begitu menikmati. Terkadang dalam canda, ia
(istriku) meminta untuk membangun rumah di pegunungan, tepatnya dekat mata air.
Di sana, tidak ada yang menganggu, kecuali (mungkin) beberapa makhluk halus
yang terkaget-kaget melirikku dari jauh. Begitulah yang terjadi. Terkadang,
saya menerimanya sebagai kekurangan. Harus mau bagaimana lagi. Kebiasaan yang
tidak pernah berubah sejak kecil. Bermain air hingga selesai. Saya pernah
menulis ini dalam konteks Kota Kupang menuju Smart City, (Bdk. Jangan menghina guruku lagi, hal 128-134).
Lalu itu disebut tidak
normal atau semacam kenormalan baru? Entahlah. Satu hal yang pasti, seperti air
saya ingin mengalir apa adanya. Seperti pagi ini. Melaju Lebih cepat, lebih
baik. Walau demikian, sesekali saya harus meramas kopling. Bukan karena ada hewan
yang melintasi jalan atau ada pengendara nakal. Tapi nada pesan dari handphon(HP)-ku. Awalnya saya abaikan.
Tapi rasa penasaran memburuku dan akhirnya saya menyerah. Menyalakan reting
motor lajur kiri dan berhenti. Mematikan mesin motor dan membaca pesan yang dating
dari layar HP itu. Dugaanku benar. Pesan itu seperti sebelumnya. Singkat. “aq
disini km disana, kmu ga ada, aq merana. Tlp Rika dong ke no yg ini ya,
080912234100 aq tunggu (no sex, no sara) 18 +”. Sementara itu, bunyi pesan
sebelumnya hampir sama. “knp sh janda itu paling sebel di rumah sendirian, kmu
tau ga. Klo tau tlp Nana ya bang disni 080912234100 (no sex n sara) 18 +”. Di
hari kemarin dan hari-hari sebelumnya, juga pesan yang sama. “spanjang waktu, Cuma
nunggu abang, plis tlp kesni bang, 08091234100 mau kan ngobrol sm aq yg janda
ini (no sex n s4r4) khusus 18 +”.
Jika ada yang belum pernah
menerima pesan Short Message Service (SMS) seperti ini, mungkin bisa
membayangkan rasa jengkel, marah dan menyesal yang kualami. Berhenti dan hanya
mendapat pesan yang sama. Namun, coba perhatikan gaya SMS dan nomor HP yang
diberi. Nomor HP itu sama. 080912234100. Saya tidak cukup mengerti, nomor itu
dari wilayah mana. Selain itu, ia sering menyatakan diri sebagai seorang janda.
Seorang yang kini sendiri karena ditinggal pergi suami. Secara psikologis, saya
ikut sedih. Tetapi mengajakkku untuk menelphon dan menemaninya, membuatku
bingung dalam marah. Dalam rumpun keluargaku, ada beberapa orang berstatus
janda. Tetapi tidak bertingkah aneh seperti ini. Mereka menerima kenyataan dan
menjalani hidup seperti biasa. Tidak “aneh-aneh”.
Saya menyalakan mesin motor
lagi dan melanjutkan perjalanan. Di punggung motor ini, aneka fakta sosial di
lingkaran pesan aneh itu muncul begitu saja dalam pikiranku. Ada cerita tentang
penutupan tempat “esek-esek” Karang Dempel yang berlokasi di wilayah Tenau-Kota
Kupang dua tahun lalu. Ada kisah tentang “ayam kampus” dan beberapa hari lalu
tentang oknum dosen di salah satu kampus di kota kupang yang menawarkan
mahasiswi untuk “bermesum” di kosnya. Juga berbagai peristiwa seputar dunia “bisnis
lendir” dan tempat pijat yang berfungsi ganda. Saya bersyukur, selalmat hingga
tujuan walau pikiranku “liar” tentang dunia “gelap” itu.
Lalu, apa korelasi tentang
pengalaman anehku di masa kecil yang terbawa hingga kini dengan SMS yang selalu
muncul di layar HP dan dengan segala gejala sosial “bayang-bayang” dunia
prostitusi? Di sebuah media group whatsapp “Floresta Forum For FGD” sedang
hangat membicarakan hal ini. Group yang didominasi para politisi, akademisi dan
para praktisi di bidangnya masing-masing. Temanya menohok. “NTT darurat prostitusi”.
Saya pernah menulis gelaja sosial ini dibawah tema “ Ayam Kampus di Kota Kasih”.
(Bdk. Buku, Jangan Mengina Guruku Lagi, hal 8-14). Saya menulis apa adanya. Juga
tentang bagaimana tepat pijat berfungsi ganda.
Akhir-akhir ini, di tengah
masa pandemi, bayang-bayang prostitusi didesain lebih canggih, praktis dan
vulgar. Prostitusi online. Beberapa orang artis dikabarkan juga “terjerat” di
dalamnya. Tetapi cerita itu beberapa tahun lalu untuk konteks Jakarta, kota mega
metropolitan. Lalu akankan itu terjadi juga di NTT, provinsi yang “tertatih-tatih”
karena PAD-nya sangat rendah? Ini pertanyaan penting. Yah, namanya juga online.
Selagi ada prangkat dan akses seperti HP android dan data internet, sudah pasti
bisa dijangkau. Hemat saya ini persoalan serius. Bukan hanya tentang selalu
meningkatnya kasus HIV/AIDS dan menjamurnya tempat pijat berfungsi ganda yang hampir
ada di seluruh ibukota Kabupaten di NTT tetapi tentang tergerusnya nilai religious
dan moral masyarakt khusnya generasi penerus muda NTT. Apa yang terjadi jika
gejala sosial yang memprihatinkan ini tidak diredam dalam satu bentuk aksi
tertentu? Sebuah tamparan besar di dunia pendidikan, berita (fakta) oknum dosen
itu. Peristiwa ini yang sempat terangkat di media, lalu mungkinkan ada
peristiwa lain yang hanya menjadi konsumsi (rahasia) yang hanya diketahui
mahasiswi itu sendiri atau sahabatnya atau neneknya saja?
Jujur, saya belum pernah
menghubungi nomor 080912234100. Ada siapa di balik nomor akhir ber-angka genap
100 itu. Hemat saya, walau di setiap pesan ada awasan “no sex, no sara” tetapi pesan lain
seakan menegaskan prostisusi terselubung yang dilakukan secara online itu.
Minimal “18 tahun dan aku ini janda. Tolong temani aku”. What? Maksudmu apa?
Imajinasi saya sederhana saja. Semisal, Labuan Bajo sudah ditentukan sebagai
salah satu fokus pariwisata nasional yang disebut pariwisata premium. Fakta
selalu berbicara. Pariwisata mengandaikan adanya bisnis prostitusi (walau tidak
legal). Dengan adanya prostitusi online, maka kapal-kapal pesiar dan atau kapal
pribadi yang bersadar di sekitar dermaga Labua Bajo itu bisa digunakan untuk aksi
a-moral ini. Bukan tidak mungkin, korbannya adalah gadis-gadis belia punyanya
NTT khusunya di Kota Labuan Bajo. Demikian halnya di kota lain di NTT seperti Kota
Kupang, Ende, Maumere, Sumba Barat Daya, Alor, Flores Timur dan beberapa kota
lainnya.
Begitulah saya kalau menulis.
Apa adanya. Hemat saya, ini bagian dari tugas dan tanggungjawab saya sebagai
anak NTT. Membaca ini tentunya kita binggung bercampur marah. Benarkah oknum
dosen kerap menjadikan mahasiswinya sebagai pemuas nafsu? Atau benarkan tempat
pijat berfungsi ganda untuk memijat dan melakukan hubungan intim? Lalu,
benarkan bisnis pariwista selalu mengandaikan adanya bisnis prostitusi? Juga
aneka pertanyaan lainnya. Saya selalu ingin konsisten dan disiplin dalam
menulis. Bersabar. Bakal saya kupas tuntas di lain kesempatan. Seperti halnya
menikmati mangga (masak), yang harus dilakukan pada awal cerita adalah
mengupas. Meletakkan secara utuh dan mengupasnya secara perlahan.
Saya tidak tahu, apakah
tulisan ini berguna atau bagian dari sampah yang tidak perlu dibaca apalagi
dipraktekkan. Terserahlah. Sekali lagi, hidup ini adalah pilihan. Jika kemudian
tulisan ini sebagai awalasan, itu adalah hal yang pasti. Itulah yang saya maksudkan
sebagai yang menulis. NTT didorong agar “kencang” di bidang ini. Pariwisata.
Tetapi semua kemajuan selalu saja ada ikutannya baik positif maupun negatifnya.
Semisal, meningkatnya Pendapatan Asli Darearah (PAD) itu pasti. Tetapi
yakinlah, ada hal yang harus dikorbankan jika tidak diwaspadai dari sekarang.
………………………….
Air dari kamar itu terus
mengalir, seperti perubahan dunia yang tidak bisa dibendung. Membendung kemajuan
zaman adalah upaya menyimpang garam di laut. Tetapi upaya untuk air itu
mengalir pada tempat yang tepat, adalah sebuah kepastian. Dengan demikian, perubahan
(kemajuan zaman) itu tidak pernah terjadi secara kebetulan. Selalu didesain.
Siapakah yang merancang atau mendesain? Kita (manusia) adalah kuncinya. Kita
yang mengatur, apakah keran perubahan itu dibuka atau ditutup. Bukan seseorang
atau sesuatu di luar diri kita.
Motor Verza yang saya
bawa, memang didesain itu laju dan bergerak secepat mungkin. Walau demikian,
saya yang menentukan untuk mengurangi kecepatan, reting kiri, berhenti dan
berefleksi. Tujuan kita memang satu. Kebaikan bersama (bonum comune). Apa nilai
sebuah kemajuan dengan PAD yang besar dan serba cangggir kalau yang digadai
adalah sesuatu yang snagat berharga semisal nilai religius dan moral anak
bangsa. Seperi saya, sejak kecil kita merindukan sebuah perubahan dalam hidup.
Ada garis nasib keluarga yang perlu dirubah dan diluruskan. Ada kerinduan untuk
“menjadi orang” nantinya. Itu wajar dan memang seharusnya. Walau demikian,
tidak boleh mengabaikan proses. Proses yang baik dan matang bakal menghasilkan hal
yang matang pula.
Salam Cakrawala, Salam
Literasi
0 Comments