Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

Hantu Laut

 


Cerpen Pilipus Wai Lawet



CAKRAWALANTT.COM - Jauh di luar dugaan, peristiwa-peristiwa yang tak biasa terjadi itu menjadi isyarat bahwa dia akan berpulang untuk selamanya menuju Sang Khalik. Ayah dan ibunya bahkan tak sempat menerjemahkan isyarat itu bakal menjadi tragedi yang meruntuhkan tawa ria yang membingkai hari-hari hidup berumah tangga.

 

Mustahil bila Tuhan sekejam itu. Ia tak mungkin mengambil satu-satunya harta yang kumiliki, sang ibu membatin.

 

Sembari duduk menikmati teh pagi, sang ibu memandang lekat-lekat putra semata wayangnya, Naldy, yang sibuk sendiri mencuci seragam sekolahnya. Naldy memang anak yang rajin. Ia selalu melakukan segala pekerjaan yang bisa dilakukan sendiri tanpa bergantung sepenuhnya pada kedua orang tuanya. Itulah mengapa ia menjadi anak yang sangat dibanggakan.

 

Hampir tidak pernah sekalipun ia membantah omongan orang tuanya. Di kala anak seusianya lebih memilih untuk menghabiskan waktu bercengkrama dengan android, Naldy malah lebih memilih untuk membantu pekerjaan kedua orang tuanya selepas sekolah. Mencari kayu bakar di bakar di perkebunan kopi pinggir kampung atau bahkan mencuci piring dan memasak. Semuanya itu dilakukan dengan penuh tanggung jawab.

 

Rasa penasaran sempat menggelayuti naluri sang ibu ketika melihat Naldy sibuk mencuci pakaiannya sejak pagi, padahal hari itu adalah hari Sabtu. Ia biasanya baru akan mencuci seragam sekolahnya pada hari Minggu. Bahkan, pakaian bermainnya pun tak lupa ia basuh.

 

Rumah pun dibersihkannya, tempat tidurnya dirapihkan, dan kasur busa tempat ia berbaring juga dijemurnya meski matahari belum muncul dari balik Gunung Lewotobi, dua gunung berapi yang menurut warga setempat berjenis kelamin laki-laki dan perempuan.

 

Digerogoti oleh gelombang penasaran yang tak kuasa diarungi, sang ibu lantas melontarkan pertanyaan, “No, hari ini kan masih hari Sabtu. Kenapa sudah mencuci seragam sekolah?”.

 

“Sebentar sore saya mau pergi memanah ikan, Bu,” sahut Naldy.

 

Jawaban singkat dari sang anak sontak menghilangkan rasa penasaran yang berkecamuk di benak sang ibu. Membenamkan prasangka negatif yang semula sempat berkeluyuran di pikiran sang ibu.

 

Ia kembali menyeruput teh panas bersama sang suami yang asyik menikmati sebatang rokok dan segelas kopi Hokeng. Keduanya melewati pagi itu sambil melepar canda dan senyum bahagia dianugerahi anak yang berbakti.

 

***

 

Matahari sudah mulai tenggelam ketika kedua sahabat itu tiba di bibir pantai. Hari berangsur kelam. Bulan yang pucat mulai nampak dengan beberapa biji bintang. Air laut perlahan-lahan mulai surut menjauh dari pepohonan bakau yang berbaris tak beraturan di pinggir pantai.

 

Naldy mulai menanggalkan bajunya. Cukup baginya untuk mengenakan celana pendek sehingga memudahkannya meliuk-liuk di dalam air laut. Senter yang sudah dicas berjam-jam kemudian diikatkan di kepalanya.

 

Sejurus kemudian, ia mulai turun ke laut. Sementara temannya menyaksikan dengan saksama dari bibir pantai. Hampir tak ada percakapan sebelum Naldy menceburkan diri ke laut untuk memanah ikan. Sahabatnya, Werner, mengumpulkan kayu bakar untuk membakar ikan hasil tangkapan sambil sesekali memantau pergerakkan sahabatnya itu.

 

Kedua sahabat itu memang memiliki kesamaan hobi, yakni berburu di daratan maupun di lautan. Hanya saja, Werner tidak pandai berenang. Itulah mengapa Werner ditugaskan untuk menyiapkan kayu bakar oleh Naldy.

 

Setelah berhasil menghidupkan api. Werner kembali mengalihkan pandangan menuju laut. Ia melihat senter yang digunakan oleh Naldy semakin bertolak ke tempat yang lebih dalam. Semula ia beranggapan bahwa sahabat karibnya itu beranjak ke tempat yang dalam karena di sanalah sarangnya ikan-ikan berukuran besar.

 

Ia kembali mengatur api. Namun, lama kelamaan, senter itu semakin jauh. Ia mencoba untuk meneriaki sahabatnya, tetapi tidak terbalas. Merasa ada yang aneh, Werner kemudian meminta tolong beberapa warga yang sedang asyik memancing tak jauh dari tempatnya itu. Dengan menaiki sebuah perahu, warga itu pun menghampiri lampu senter yang bernyala, sementara malam semakin menua.

 

Betapa kagetnya mereka mendapati senter itu tak lagi bertuan. Werner mulai gelisah. Sekali lagi ia meminta tolong seorang warga yang lihai berenang. Setelah sejam berputar-putar mencari, ternyata tidak membuahkan hasil. Mereka kemudian memutuskan untuk kembali ke bibir pantai dan mengajak lebih banyak orang sehingga mempermudah pencarian.

 

Saat perahu hendak ditambatkan, Werner tak sengaka menangkap sesuatu yang tidak asing baginya. Ia sangat kenal dengan celana yang dikenakan sahabatnya saat menceburkan diri ke laut sebelumnya. Ternyata benar, setelah didekati, mereka mendapati tubuh Naldy di dasar laut dangkal. Dengan sigap mereka membopong tubuh Naldy yang nampak terkulai lemas.

 

***


Waktu menunjuk pukul 22.00 Wita saat kabar tentang tenggelamnya Naldy sampai ke telingan ayah dan ibunya melalui telepon seluler. Sesegera mungkin sang ayah beranjak dari tempat tidurnya, menghidupkan motor buntut, dan segera menyusuli sang anak ke pantai yang hanya berjarak sekitar 7 kilometer dari rumahnya.

 

Ia memacu motor buntutnya secepat mungkin dengan asa bisa menolong anak semata wayangnya. Sementara sang istri mematung di kamar tamu dengan hati bergolak tak tentu. Pikirannya luntang lantung ke sana ke mari penuh curiga sembari menunggu kepastian kabar sang anak.

 

Setibanya di pinggir pantai, sang ayah mendapati banyak orang yang berkerumum di tengah kegelapan malam. Ia berusaha menerobos kerumunan itu dan langsung memeluk anaknya sambil sesekali memanggil nama, berharap yang dipanggil mendengar suaranya dan membuka mata.

 

Harapannya itu tak bersambut. Mata sang anak tetap tertutup. Wajahnya pucat pasi. Sementara dari mulutnya keluar busa seperti orang terkena overdosis obat-obatan terlarang. Perutnya tidak membuncit, meski diberitakan tenggelam. Berbekal latihan pertolongan pertama pada kecelakaan di desa, sang ayah berusaha membuat napas buatan.

 

Usaha itu tidak membantu. Dengan sigap sang ayah menggendong dan mengarahkan kepala anaknya ke bawah dan kakinya ke atas sambil menggoyang-goyangkan tubuh anaknya. Namun, lag-lagi gagal. Tak patah semangat, sang ayah lantas membawa anaknya ke puskesmas terdekat dibantu beberapa warga yang menaruh simpati atas kejadian itu.

 

Setibanya di puskesmas, dokter mulai memeriksa. Setelahnya, dokter harus pasrah bahwa anak itu tidak bisa tertolong. Nadinya tak lagi berdenyut. Ia telah menghembuskan nafas terakhir beberapa jam yang lalu.

 

Berita kematian itu menjalar dengan cepat ke segala penjuru kampung. Maklumlah, kemajuan teknologi menembus jarak sehingga mempermudah penyaluran informasi peristiwa yang terjadi di luar negeri sekalipun dengan cepat diketahui oleh khalayak di belahan bumi yang jauh.

 

Para tetangga yang mendapat kabar duka segera berduyun-duyun mendatangi rumah duka. Mereka bergotong royong membangun tenda sembari menanti kedatangan jenasah dengan seribu tanya yang berkecamuk tentang sebab kepergian Naldy.

 

Beberapa orang menyayangkan tragedi itu mengingat Naldy baru berusia 15 tahun. Masih begitu muda untuk takaran umur manusia pada umumnya. Nafas hidup yang akan dihirup tentu masih panjang. Tapi apa boleh dikata, misteri hidup tak satupun manusia yang mampu membongkarnya.

 

Tangis sang ibu memecah di kesunyian malam tatkala jenasah anaknya diturunkan dari mobil ambulance dan diarak masuk ke dalam rumah sebelum dibuatkan upacara adat singkat tepat di depan rumahnya.

 

Seturut adat istiadat, kematian Naldy adalah peristiwa yang tidak wajar. Oleh sebab itu, diperlukan upcara pemulihan sehingga peristiwa serupa tidak dialami oleh anggota keluarga yang lain. Sesudah upacara itu, barulah jenasah boleh masuk ke dalam rumah.

 

Hati sang ibu hancur berkeping-keping memandang anaknya yang terbaring kaku. Ia berteriak histeris sambil sesekali membelai wajah anaknya saat satu per satu tema sekelasnya melayat. Sungguh ia tak rela mengecap peristiwa yang begitu pilu dalam hidupnya. Kebahagiaan yang selama ini membingkai kehidupan rumah tangganya seolah runtuh seketika. Hampir tak ada secuil pun sisa kebahagiaan. Yang ada hanyalah ratap tangis dan kertas gigi.

 

Hidup tanpa sang buah hati serasa hampa, rasa-rasanya ingin pergi bersama sang anak. Sesekali ia mendongakan kepala, memandang langit-langit rumah, dan berujar, “Tuhan, kenapa Engkau merampas kebahagiaanku”.

 

***

 

Tiga hari setelah kematian Naldy, diadakanlah Malam Nebo menurut kepercayaan dan kebudayaan kampung. Seusai ibadah, Werner yang duduk di bagian paling depan barisan terjungkal dari kursi. Orang-orang mengira dia pingsan. Ternyata tidak, ia kena bloding. Dan memang benar.

 

Tiba-tiba muncul keanehan, suara yang keluar dari mulut Werner bukanlah warna suaranya yang asli, melainkan suara Naldy. Momen itu menjadi temu kangen antara orang tua dan anak.

 

No, apa yang membuatmu pergi begitu cepat?” tanya sang ibu dengan memelas.

 

“Saya dipatuk oleh ular di dada, Bu,” ucapnya.

 

Mendengar itu, sang ibu langsung menggali beberapa peristiwa aneh yang terjadi seminggu belakangan. Mulai dari ikan goreng yang mengeluarkan aroma tak sedap, padahal masih segar, sampai kepada tabiat yang tak lazim dalam diri anaknya. Ternyata, sederet kejadian itu menjadi isyarat akan kepergian anaknya.

 

Menurut keyakinan warga seputaran pantai, ular itu memang tidak seperti ular biasa. warnanya hitam putih seperti zebra cross. Ukurannya pun tidak sepanjang ular-ular pada umumnya, hanya sekitar 5 sentimeter. Ular itu adalah jelmaan dari hantu laut. Konon katanya, wilayah dimana Naldy menembak ikan adalah istana kerajaan hantu laut.

 

Memang selama ini Naldy sering memanen banyak ikan hasil panahan. Ternyata, itu adalah pemberian yang berhujung pada barter nyawa. Nyawa manusia menjadi tebusan untuk menggantikan ikan-ikan yang selama ini menjadi korban mata panah.

 

Segala misteri tentang kematian Naldy yang abu-abu kini menjadi terang benderang. Kata-kata Naldy yang merasuki Werner menjadi semacam petunjuk bagi kedua orang tuanya agar mengikhlaskan kepergiannya.

 

“Ayah dan ibu tidak usah bersedih lagi, yah! Badan saya boleh pergi, tetapi jiwa saya tetap ada di antara kalian. Saya mencintai kalian semua,” ujar Naldy.

 

Setelah berkata demikian, Werner pun siuman. Perlahan-lahan ia membuka mata. Samar-samar dipandangnya sekerumunan orang dengan mata sembab. Ia lantas meminta sepiring nasi karena merasa sangat lapar setelah berkelana ke dunia lain yang ia sendiri tak mengenalinya. (red)

 

Keterangan:

*No: panggilan sayang untuk anak laki-laki pada masyarakat Flores Timur, NTT.

*Bloding: Kerasukan roh orang yang telah meninggal menurut kepercayaan masyarakat Flores Timur.

 

Tentang Penulis

Pilipus Wai Lawet adalah Alumnus Sanata Dharma Yogyakarta. Sekarang bekerja sebagai dosen di Institut Keguruan dan Teknologi Larantuka (IKTL), Flores Timur, NTT. Buku kumpulan cerpennya yang pertama berjudul Jejak Cinta.


Post a Comment

0 Comments