Cerpen Pilipus Wai Lawet
CAKRAWALANTT.COM - Jauh di luar dugaan, peristiwa-peristiwa yang tak
biasa terjadi itu menjadi isyarat bahwa dia akan berpulang untuk selamanya
menuju Sang Khalik. Ayah dan ibunya bahkan tak sempat menerjemahkan isyarat itu
bakal menjadi tragedi yang meruntuhkan tawa ria yang membingkai hari-hari hidup
berumah tangga.
Mustahil bila Tuhan sekejam itu. Ia tak
mungkin mengambil satu-satunya harta yang kumiliki, sang ibu membatin.
Sembari duduk menikmati teh pagi, sang ibu memandang
lekat-lekat putra semata wayangnya, Naldy, yang sibuk sendiri mencuci seragam
sekolahnya. Naldy memang anak yang rajin. Ia selalu melakukan segala pekerjaan
yang bisa dilakukan sendiri tanpa bergantung sepenuhnya pada kedua orang
tuanya. Itulah mengapa ia menjadi anak yang sangat dibanggakan.
Hampir tidak pernah sekalipun ia membantah omongan
orang tuanya. Di kala anak seusianya lebih memilih untuk menghabiskan waktu
bercengkrama dengan android, Naldy
malah lebih memilih untuk membantu pekerjaan kedua orang tuanya selepas sekolah.
Mencari kayu bakar di bakar di perkebunan kopi pinggir kampung atau bahkan
mencuci piring dan memasak. Semuanya itu dilakukan dengan penuh tanggung jawab.
Rasa penasaran sempat menggelayuti naluri sang ibu
ketika melihat Naldy sibuk mencuci pakaiannya sejak pagi, padahal hari itu
adalah hari Sabtu. Ia biasanya baru akan mencuci seragam sekolahnya pada hari
Minggu. Bahkan, pakaian bermainnya pun tak lupa ia basuh.
Rumah pun dibersihkannya, tempat tidurnya dirapihkan,
dan kasur busa tempat ia berbaring juga dijemurnya meski matahari belum muncul
dari balik Gunung Lewotobi, dua gunung berapi yang menurut warga setempat berjenis
kelamin laki-laki dan perempuan.
Digerogoti oleh gelombang penasaran yang tak kuasa
diarungi, sang ibu lantas melontarkan pertanyaan, “No, hari ini kan masih hari Sabtu. Kenapa sudah mencuci seragam
sekolah?”.
“Sebentar sore saya mau pergi memanah ikan, Bu,” sahut
Naldy.
Jawaban singkat dari sang anak sontak menghilangkan
rasa penasaran yang berkecamuk di benak sang ibu. Membenamkan prasangka negatif
yang semula sempat berkeluyuran di pikiran sang ibu.
Ia kembali menyeruput teh panas bersama sang suami
yang asyik menikmati sebatang rokok dan segelas kopi Hokeng. Keduanya melewati
pagi itu sambil melepar canda dan senyum bahagia dianugerahi anak yang
berbakti.
***
Matahari sudah mulai tenggelam ketika kedua sahabat
itu tiba di bibir pantai. Hari berangsur kelam. Bulan yang pucat mulai nampak
dengan beberapa biji bintang. Air laut perlahan-lahan mulai surut menjauh dari
pepohonan bakau yang berbaris tak beraturan di pinggir pantai.
Naldy mulai menanggalkan bajunya. Cukup baginya untuk
mengenakan celana pendek sehingga memudahkannya meliuk-liuk di dalam air laut. Senter
yang sudah dicas berjam-jam kemudian diikatkan di kepalanya.
Sejurus kemudian, ia mulai turun ke laut. Sementara temannya
menyaksikan dengan saksama dari bibir pantai. Hampir tak ada percakapan sebelum
Naldy menceburkan diri ke laut untuk memanah ikan. Sahabatnya, Werner,
mengumpulkan kayu bakar untuk membakar ikan hasil tangkapan sambil sesekali
memantau pergerakkan sahabatnya itu.
Kedua sahabat itu memang memiliki kesamaan hobi, yakni
berburu di daratan maupun di lautan. Hanya saja, Werner tidak pandai berenang. Itulah
mengapa Werner ditugaskan untuk menyiapkan kayu bakar oleh Naldy.
Setelah berhasil menghidupkan api. Werner kembali
mengalihkan pandangan menuju laut. Ia melihat senter yang digunakan oleh Naldy
semakin bertolak ke tempat yang lebih dalam. Semula ia beranggapan bahwa sahabat
karibnya itu beranjak ke tempat yang dalam karena di sanalah sarangnya
ikan-ikan berukuran besar.
Ia kembali mengatur api. Namun, lama kelamaan,
senter itu semakin jauh. Ia mencoba untuk meneriaki sahabatnya, tetapi tidak
terbalas. Merasa ada yang aneh, Werner kemudian meminta tolong beberapa warga
yang sedang asyik memancing tak jauh dari tempatnya itu. Dengan menaiki sebuah
perahu, warga itu pun menghampiri lampu senter yang bernyala, sementara malam
semakin menua.
Betapa kagetnya mereka mendapati senter itu tak
lagi bertuan. Werner mulai gelisah. Sekali lagi ia meminta tolong seorang warga
yang lihai berenang. Setelah sejam berputar-putar mencari, ternyata tidak
membuahkan hasil. Mereka kemudian memutuskan untuk kembali ke bibir pantai dan
mengajak lebih banyak orang sehingga mempermudah pencarian.
Saat perahu hendak ditambatkan, Werner tak
sengaka menangkap sesuatu yang tidak asing baginya. Ia sangat kenal dengan
celana yang dikenakan sahabatnya saat menceburkan diri ke laut sebelumnya.
Ternyata benar, setelah didekati, mereka mendapati tubuh Naldy di dasar laut
dangkal. Dengan sigap mereka membopong tubuh Naldy yang nampak terkulai lemas.
***
Waktu menunjuk pukul 22.00 Wita saat
kabar tentang tenggelamnya Naldy sampai ke telingan ayah dan ibunya melalui
telepon seluler. Sesegera mungkin sang ayah beranjak dari tempat tidurnya,
menghidupkan motor buntut, dan segera menyusuli sang anak ke pantai yang hanya
berjarak sekitar 7 kilometer dari rumahnya.
Ia memacu motor buntutnya secepat
mungkin dengan asa bisa menolong anak semata wayangnya. Sementara sang istri
mematung di kamar tamu dengan hati bergolak tak tentu. Pikirannya luntang
lantung ke sana ke mari penuh curiga sembari menunggu kepastian kabar sang
anak.
Setibanya di pinggir pantai, sang ayah
mendapati banyak orang yang berkerumum di tengah kegelapan malam. Ia berusaha
menerobos kerumunan itu dan langsung memeluk anaknya sambil sesekali memanggil
nama, berharap yang dipanggil mendengar suaranya dan membuka mata.
Harapannya itu tak bersambut. Mata sang
anak tetap tertutup. Wajahnya pucat pasi. Sementara dari mulutnya keluar busa
seperti orang terkena overdosis
obat-obatan terlarang. Perutnya tidak membuncit, meski diberitakan tenggelam. Berbekal
latihan pertolongan pertama pada kecelakaan di desa, sang ayah berusaha membuat
napas buatan.
Usaha itu tidak membantu. Dengan sigap
sang ayah menggendong dan mengarahkan kepala anaknya ke bawah dan kakinya ke
atas sambil menggoyang-goyangkan tubuh anaknya. Namun, lag-lagi gagal. Tak patah
semangat, sang ayah lantas membawa anaknya ke puskesmas terdekat dibantu
beberapa warga yang menaruh simpati atas kejadian itu.
Setibanya di puskesmas, dokter mulai
memeriksa. Setelahnya, dokter harus pasrah bahwa anak itu tidak bisa tertolong.
Nadinya tak lagi berdenyut. Ia telah menghembuskan nafas terakhir beberapa jam
yang lalu.
Berita kematian itu menjalar dengan
cepat ke segala penjuru kampung. Maklumlah, kemajuan teknologi menembus jarak
sehingga mempermudah penyaluran informasi peristiwa yang terjadi di luar negeri
sekalipun dengan cepat diketahui oleh khalayak di belahan bumi yang jauh.
Para tetangga yang mendapat kabar duka
segera berduyun-duyun mendatangi rumah duka. Mereka bergotong royong membangun
tenda sembari menanti kedatangan jenasah dengan seribu tanya yang berkecamuk
tentang sebab kepergian Naldy.
Beberapa orang menyayangkan tragedi itu
mengingat Naldy baru berusia 15 tahun. Masih begitu muda untuk takaran umur
manusia pada umumnya. Nafas hidup yang akan dihirup tentu masih panjang. Tapi apa
boleh dikata, misteri hidup tak satupun manusia yang mampu membongkarnya.
Tangis sang ibu memecah di kesunyian
malam tatkala jenasah anaknya diturunkan dari mobil ambulance dan diarak masuk
ke dalam rumah sebelum dibuatkan upacara adat singkat tepat di depan rumahnya.
Seturut adat istiadat, kematian Naldy
adalah peristiwa yang tidak wajar. Oleh sebab itu, diperlukan upcara pemulihan
sehingga peristiwa serupa tidak dialami oleh anggota keluarga yang lain. Sesudah
upacara itu, barulah jenasah boleh masuk ke dalam rumah.
Hati sang ibu hancur berkeping-keping
memandang anaknya yang terbaring kaku. Ia berteriak histeris sambil sesekali
membelai wajah anaknya saat satu per satu tema sekelasnya melayat. Sungguh ia
tak rela mengecap peristiwa yang begitu pilu dalam hidupnya. Kebahagiaan yang
selama ini membingkai kehidupan rumah tangganya seolah runtuh seketika. Hampir tak
ada secuil pun sisa kebahagiaan. Yang ada hanyalah ratap tangis dan kertas
gigi.
Hidup tanpa sang buah hati serasa hampa,
rasa-rasanya ingin pergi bersama sang anak. Sesekali ia mendongakan kepala,
memandang langit-langit rumah, dan berujar, “Tuhan, kenapa Engkau merampas
kebahagiaanku”.
***
Tiga hari setelah kematian Naldy,
diadakanlah Malam Nebo menurut
kepercayaan dan kebudayaan kampung. Seusai ibadah, Werner yang duduk di bagian
paling depan barisan terjungkal dari kursi. Orang-orang mengira dia pingsan. Ternyata
tidak, ia kena bloding. Dan memang
benar.
Tiba-tiba muncul keanehan, suara yang
keluar dari mulut Werner bukanlah warna suaranya yang asli, melainkan suara
Naldy. Momen itu menjadi temu kangen antara orang tua dan anak.
“No,
apa yang membuatmu pergi begitu cepat?” tanya sang ibu dengan memelas.
“Saya dipatuk oleh ular di dada, Bu,”
ucapnya.
Mendengar itu, sang ibu langsung
menggali beberapa peristiwa aneh yang terjadi seminggu belakangan. Mulai dari
ikan goreng yang mengeluarkan aroma tak sedap, padahal masih segar, sampai
kepada tabiat yang tak lazim dalam diri anaknya. Ternyata, sederet kejadian itu
menjadi isyarat akan kepergian anaknya.
Menurut keyakinan warga seputaran
pantai, ular itu memang tidak seperti ular biasa. warnanya hitam putih seperti zebra cross. Ukurannya pun tidak
sepanjang ular-ular pada umumnya, hanya sekitar 5 sentimeter. Ular itu adalah
jelmaan dari hantu laut. Konon katanya, wilayah dimana Naldy menembak ikan
adalah istana kerajaan hantu laut.
Memang selama ini Naldy sering memanen banyak
ikan hasil panahan. Ternyata, itu adalah pemberian yang berhujung pada barter
nyawa. Nyawa manusia menjadi tebusan untuk menggantikan ikan-ikan yang selama
ini menjadi korban mata panah.
Segala misteri tentang kematian Naldy
yang abu-abu kini menjadi terang benderang. Kata-kata Naldy yang merasuki
Werner menjadi semacam petunjuk bagi kedua orang tuanya agar mengikhlaskan
kepergiannya.
“Ayah dan ibu tidak usah bersedih lagi,
yah! Badan saya boleh pergi, tetapi jiwa saya tetap ada di antara kalian. Saya mencintai
kalian semua,” ujar Naldy.
Setelah berkata demikian, Werner pun
siuman. Perlahan-lahan ia membuka mata. Samar-samar dipandangnya sekerumunan
orang dengan mata sembab. Ia lantas meminta sepiring nasi karena merasa sangat
lapar setelah berkelana ke dunia lain yang ia sendiri tak mengenalinya. (red)
Keterangan:
*No:
panggilan sayang untuk anak laki-laki pada masyarakat Flores Timur, NTT.
*Bloding:
Kerasukan roh orang yang telah meninggal menurut kepercayaan masyarakat Flores
Timur.
Tentang Penulis
Pilipus
Wai Lawet adalah Alumnus Sanata Dharma Yogyakarta. Sekarang bekerja
sebagai dosen di Institut Keguruan dan Teknologi Larantuka (IKTL), Flores
Timur, NTT. Buku kumpulan cerpennya yang pertama berjudul Jejak Cinta.
0 Comments