Ilustrasi. |
Cerpen Albert Baunsele*
Hidup ini indah karena Dia
yang menganugerahkannya adalah keindahan Yang Terindah. Ketika mengamini hal
itu, aku berlalu darimu. Aku tidak melihatmu lagi. Aku pernah menerima pesanmu,
engkau mengeluh tentang hidup dan aku berkata biarlah waktu yang
menyelesaikannya. Aku pergi. Sejak saat itu, engkau menjalani hidupmu sendirian
saja. Kini aku rindu melihatmu, mendengar tawa dan candamu, terlebih aku ingin
mendengar keluh kesah dan rasa sakitmu. Waktu telah menjawabnya. Engkau tidak
lagi menginginkanku bertemu denganmu.
Aku tahu dan sadar,
sebenarnya aku tak pernah ada saat engkau menginginkanku di sampingmu. Tak
seorangpun mendengar desahan nafasnya, juga keluhmu. Aku tidak pernah hadir di
sampingmu saat engkau ingin melihatku. Pernah kau berkata padaku, “kalau kau
tidak ingin melihatku, izinkan aku yang melihatmu. Sekalipun, engkau tidak
menginginkan aku ada tetapi aku ingin engkau selalu ada”. Tetapi aku tidak
pernah menghiraukan kata-katamu yang menyimpan kerinduan yang tak tertahankan
olehmu. Aku tidak pernah mendengarkanmu saat engkau menginginkan aku tahu apa
yang menjadi harapanmu dalam hidupmu.
Aku telah membiarkanmu
tumbuh sendirian seperti rumput kecil yang merayap bertahan hidup antara
bebatuan tajam dan keras. Aku membiarkanmu terseok-seok dalam putaran dunia
yang mengembang-ambingkan hati dan perasaanmu. Aku membiarkan perasaanmu
mengalir seperti aliran sungai yang tidak pernah berhenti. Tak ada yang peduli
pada arah dan tujuan aliran. Orang hanya ingin mencicipi kesejukannya. Demikian
engkau hidup tanpa seorangpun bertanya tentang perasaan, cita-cita dan
kerinduanmu. Tak seorangpun ingin tahu tentang waktu-waktu yang kau lewati
dengan kepedihan dan rasa pahit karena keegoisanku. Aku yakin dari sekian
banyak waktu itu, kau jalani dengan air mata dan desahan rindu dalam hatimu.
Sesungguhnya bagimu, aku
tiada. Engkau ada untukku sekalipun aku mengabaikanmu. Aku tidak pernah
menyediakan waktu untuk mengingatmu apalagi merindukanmu, ya. . .aku tiada. Kau
selalu ada, kau menyapaku dalam doa-doamu, kau merindukanmu dalam setiap kata
dan tatapanmu. Aku berlalu tapi engkau ada. Kau berujar dengan berlinang air
mata, “Keindahan dan kebahagiaan akan menghampiriku, tetapi aku tidak pedih
sekalipun keindahan dan kebahagiaan tergores oleh kemarahan, keegoisan,
penolakan dan kebosanan”.
Aku rasa kau sungguh
meyakini itu dalam hari dan waktu dalam seluruh hidup dan peristiwa. Sehingga,
kau terus melangkah sekalipun harus merangkak dan menangis, menahan perih
luka-luka kekejaman hatiku dan teriknya gagasanku. Bagaimana mungkin kau tidak
menjerit tercekik oleh keegoisan dan kesombonganku. Engkau juga berkata, “Aku
telah melihat tanda, aku tidak buta”.
Aku pernah merasakan rasa di
hatimu, tapi aku mengusirnya dan tidak mau ada waktu untuk itu. Sekarang apa
katamu tentang aku? Engkau diam. Aku bertanya apakah rasa keindahan
menghampirimu? Dengan yakin engkau menjawabku, “Ya, keindahan itu menghampiri
dan menawan hatiku tetapi keindahan itu tidak telanjang seperti bebatuan
cokelat di antara aliran sungai yang bisa dipandang mata atau seperti riak
aliran sungai yang bisa disentuh dengan jemari. Jalan untuk bersatu dengan
keindahan adalah kesedihan, kegagalan, kesalahan dan kepedihan”.
“Kau senang mengalami pedih?”
“Ya, karena itu sebuah tanda
bahwa aku sedang dihampiri oleh keindahan, tetapi bukan berarti aku mencari
kepedihan melainkan dengan kepedihan aku akan tahu bagaimana rasanya
kegembiraan dan keindahan. Aku tidak akan menolak kepedihan sekalipun membuat
hati perih. Aku tidak akan meniadakan tanda dan penanda.”
Aku ingat sejak awal kau
ada. Aku tidak pernah mengulurkan kedua tanganku untuk mendekapmu. Aku tidak
pernah memberi kecupan sayang di keningmu. Tidak pernah memberi segelas susu
membasahi tenggorokanmu yang kering. Aku tidak pernah memandangmu dengan kasih
yang lembut. Tidak sempat secangkir air habis, aku telah tiada untukmu. Aku
membiarkanmu sendirian. Aku membiarkanmu tanpa seorang pembelapun. Dan... Kau
tidak punya sedikitpun kekuatan untuk membela dirimu. Pembelaanmu satu-satunya
saat itu adalah tangisan dan air mata. Pembelaan yang sangat tradisional. Aku
tahu dan mengerti tapi tidak peduli.
Anakku. . .apa yang harus
kukatakan padamu tentang hidup ini. Engkau sudah mengalaminya tanpa ada
penolakan. Engkau menerima setiap bias mentari dan menadah setiap tetes hujan.
Semua kepahitan kau tampung dalam hati kecilmu. Kepahitan itu kau genggam dari
hari ke hari dan kau selalu yakin akan menjadi manis pada saat dan waktu yang
tepat. Kau tidak menangisi kehidupan tapi sering menangis untukku. Hari-harimu
selalu penuh pengharapan akan hari esok yang lebih indah. Kau selalu mengatakan
kalau aku dan kau sedang berjalan menuju keindahan itu. Sekarang aku tidak tahu
apakah kita akan tiba dalam Keindahan itu.
Anakku, kakiku sudah
ringkih, hatiku malu, ragaku lelah dan jiwaku seakan tiada lagi. Mungkin jiwaku
berlalu karena merasa terpenjara dalam kenikmatan dan keegoisan tubuhku.
Anakku. . .masih banyak cerita ingin kukisahkan padamu tetapi jemariku telah
lelah menulis huruf demi huruf, mataku terasa rabun bukan karena usia tua tapi
karena air mata yang menetes setiap kali akan mengingatmu. Anakku, aku belum
mengatakan semua padamu. Esok aku akan bercerita lagi kepadamu. Satu hal yang
kupinta darimu, “Anakku, Alrescha. . .ajari aku menemukan keindahan itu”. (MDj/red)
*Jurnalis Media Pendidikan Cakrawala NTT
0 Comments