Oleh :
Anna Dairo, S.Pd.
(Guru SMK Negeri 1 Kota Tambolaka)
CAKRAWALANTT.COM - Kegiatan pembelajaran Bahasa Indonesia
memiliki peranan yang sangat penting, tidak hanya untuk membina keterampilan
komunikasi, melainkan juga untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Salah satu aspek
penting dalam berbahasa adalah membaca. Aktivitas membaca turut memegang
peranan penting dalam menyumbangkan generasi-generasi milenial pembawa
kemajuan. Tentunya, hal tersebut kembali menegaskan bahwa membaca dapat
meningkatkan kecerdasan dan pengetahuan seseorang (individu).
Sejalan dengan pandangan itu, Yunus
(2012 : 148) mengatakan bahwa membaca merupakan aktivitas untuk memperoleh
informasi yang disampaikan di dalam bahan bacaan. Membaca sebagai sarana untuk
mendapatkan informasi sangat mempengaruhi pola pikir seseorang dalam memahami
setiap persoalan yang dihadapi. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat
kemampuan membaca seseorang, maka semakin tinggi pula tingkat kemampuan
memaknai persoalan yang dihadapinya dalam belajar.
Katakan saja, seseorang yang bisa dan
biasa membaca akan memiliki cara pandang yang berbeda dengan orang lain yang
bisa membaca tetapi tidak biasa membaca, apalagi yang tidak pernah membaca. Mirisnya
lagi, terdapat beberapa kelompok individu yang (bahkan) belum mahir membaca. Hal
itu tentu sangat berpengaruh terhadap pola atau cara pandangnya dalam menyikapi
persoalan.
Persoalan membaca tersebut juga menjadi
masalah dalam dunia pendidikan, terkhususnya di lembaga pendidikan SMK Negeri 1
Kota Tambolaka, Kabupaten Sumba Barat Daya. Pada kenyataannya, minimnya
kemampuan membaca akan berdampak besar bagi pelaksanaan Kegiatan Belajar dan
Mengajar (KBM). Bagi penulis, hal itu bukanlah perkara baru, sebab telah
menjadi tradisi buruk yang mengakar dalam dunia pendidikan. Akibatnya, hasil
perangkingan atau urutan prestasi pendidikan akan berada jauh tertinggal di
belakang. Meskipun masih terdapat beberapa kelompok siswa yang mampu secara
akademis, tetapi fakta juga kerap menampilkan kesenjangan di setiap perolehan
hasil pembelajaran.
Dalam lingkup SMK Negeri 1 Kota
Tambolaka, penulis kerap menemukan persoalan-persoalan mendasar terkait
kemampuan membaca, terutama di kalangan siswa kelas X Tahun Pelajaran 2022/2023.
Bahkan, terdapat beberapa siswa yang (bahkan) belum bisa membaca. Selain itu,
dalam kegiatan pembelajaran misalnya, terdapat beberapa kelompok siswa yang
kerap tidak menulis dan mengumpulkan hasil laporan tugas membaca buku. Di sisi
senada, para siswa yang mengumpulkan hasil laporan pun kadang disertai dengan
rasa keterpaksaan. Hal itu bisa terlihat dari sistematika dan logika dalam
substansi hasil laporan yang tidak sesuai dengan arahan.
Dalam menghadapi persoalan-persoalan
tersebut, berbagai pihak, termasuk guru pengampu Mata Pelajaran Bahasa
Indonesia, akan sering berspekulasi. Apakah siswa tersebut jarang masuk
sekolah? Apakah guru yang tidak intens mengajarkan cara membaca? Ataukah mungkin
orang tua yang tidak turut andil dalam memperhatikan tumbuh-kembang anak? Ataukan
hal itu dipengaruhi oleh pandemi Covid-19 yang menyebabkan adanya learning loss? Pertanyaan-pertanyaan
spekulatif tersebut akan selalu menghantui pikiran banyak pihak.
Untuk itu, persoalan ketidakmampuan
membaca siswa bukan (hanya) menjadi tanggung jawab guru pengampu Mata Pelajaran
Bahasa Indonesia semata, tetapi merupakan tugas kolektif bagi semua guru
pengampu mata pelajaran. Atau menurut hemat penulis, penguatan dan pengembangan
aspek membaca sebagai salah satu keterampilan berbahasa juga menjadi perhatian
penuh bagi peletak dasar pendidikan dan para penentu kebijakan di daalam dunia
pendidikan.
Jika dicermati, terdapat begitu banyak
slogan terkait budaya membaca, seperti “Membaca Buku Membuka Dunia”, “Tumpukan
Buku Tak Akan Mengkhianati Masa Depanmu”, dan “Budayakan Membaca Walau Sebentar”.
Untaian-untaian kata tersebut sebenarnya ingin menggambarkan bagaimana peran
orang tua, guru, masyarakat, pemerhati pendidikan, dan hingga pemangku
kebijakan dalam meminimalisir persoalan kemampuan membaca siswa. Namun, untuk menanggulanginya,
bukanlah perkara yang mudah, sebab membutuhkan persiapan, upaya, dan strategi
yang bersifat edukatif.
Berangkat dari persoalan dan uraian
tersebut, penulis pun telah melakukan beberapa upaya untuk menumbuhkan dan
meningkatkan kemampuan membaca siswa. Sesuai pengalaman penulis, terdapat
beberapa upaya sebagai berikut.
Pertama, memberi motivasi agar siswa
rajin membaca. Memberi motivasi agar siswa rajin membaca bisa dilakukan
dengan cara
bercerita bahwa seseorang bisa menjadi cerdas karena rajin membaca atau membiasakan membaca sejak dini sama
dengan membiasakan diri mengirim salam untuk sang kekasih yang rindu untuk bertemu.
Kedua, meluangkan sedikit waktu sebelum
memulai dan menutup kegiatan pembelajaran dengan meminta siswa membaca satu paragraf.
Guru senantiasa memberikan ruang dan waktu agar siswa dapat membaca buku apapun selama 5 atau
10 menit. Kegiatan membaca ini dapat dilakukan pada saat memulai kegiatan
pembelajaran atau pada akhir kegiatan pembelajaran.
Ketiga, memberi tugas membaca buku kemudian
membuat laporan kegiatan membaca buku per halaman. Memberi tugas membaca buku
kemudian membuat laporan kegiatan membaca buku per halaman sebenarnya merupakan
kegiatan awal yang disampaikan guru sebelum memperkenalkan materi apa yang akan
diajarkan pada awal semester yang bersangkutan. Kegiatan ini selalu penulis lakukan, tetapi tidak seratus
persen dikerjakan oleh siswa, karena belum menganggap membaca sebagai kebutuhan yang hampir sama dengan kebutuhan makan pagi, siang, ataupun malam.
Keempat, memberi tugas membaca buku di
perpustakaan sekolah. Memberi tugas membaca buku di perpustakaan sekolah
merupakan langkah atau upaya yang selalu dilakukan penulis untuk menyadarkan
siswa bahwa sumber bacaan selalu ada di sekitar mereka dan apakah mereka punya
niat membaca juga menjadi hal yang digeluti oleh guru selama ini bahwa buku hanya
dipegang, dipandang saja, dan belum sampai memahami apa yang
dibaca.
Kelima, memberikan evaluasi kegiatan membaca
dengan cara memberi denda atau hukuman apabila membaca salah dengan menambahkan
satu paragraf lagi dan memberi reward
bagi mereka yang membacanya dengan baik. Cara ini dilakukan penulis untuk mengecek
kemampuan membaca siswa, apakah ada kemajuan atau tidak pernah bergeser. Evaluasi kegiatan membaca tidak hanya memberi denda
kepada yang masih kurang, tetapi juga memberikan reward kepada siswa yang membacanya sudah baik.
Dari hasil
pengalaman penulis, pengimplementasian upaya-upaya tersebut kadang menemui
kegagalan dan keberhasilnya masing-masing. Bagi penulis, kegagalan adalah
pelajaran untuk melakukan perubahan dan keberhasilan adalah dasar untuk
berkembang ke arah yang lebih baik.
Karena itu, membaca hendaknya
dijadikan sarapan pagi sebelum sarapan yang sebenarnya. Membaca tidak dipandang
sebagai suatu yang biasa saja, tetapi harus menjadi sesuatu yang luar biasa. Membaca bukan masalah kesalahan siapa, tetapi membaca adalah masalah bersama, sehingga wajib meminimalisir semua spekulasi. Semua
pihak, terutama kelompok guru di lingkungan sekolah, harus menjadikan program
penguatan dan peningkatan kemampuan membaca siswa sebagai tanggung jawab
bersama.
Dengan menyumbang seorang yang dapat membaca saja sudah
mengurangi satu keriput di wajah seorang guru. Salam literasi, semoga
menyumbangkan setitik senyum untukmu, sesama pahlawan
yang tak pernah dianggap pahlawan. (red)
0 Comments