Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

Surga yang Hilang

Ilustrasi ibu dan anaknya.

 


Cerpen Monika Sarila Meot*


Adalah seorang anak perempuan yang merindukan surganya. Menantikan beribu harap dengan rindu yang tak kunjung usai. Terlahir dari keluarga yang penuh kesederhanaan, Diva, begitulah sapaan akrabnya. Mengingat kisah sebelumnya, tak henti ia menitihkan air mata. Kesehariannya hanya dipenuhi kenangan akan sosok surga yang pergi tanpa sepetik pesan.

 

Diva masih duduk di bangku kelas X Sekolah Menengah Atas (SMA). Usianya yang masih terbilang belia tentu membuatnya kerap rapuh tanpa sosok seorang Ibu. Kepergian Ibunya meninggalkan kepedihan yang terlampau larut dalam kesedihan. Ibu adalah Surga, itulah gambaran terindah yang selalu terlintas dalam benaknya. Kehilangan itu terus membekas, bahkan melekat keras di seluruh penjuru dinding kamarnya.

 

Waktu itu, Jumat, 5 Agustus 2022, menjadi hari terberat dalam hidupnya. Ujian berat harus diterimanya meski tanpa persiapan yang berarti. Tetiba, Diva kehilangan Ibunya, separuh nafas yang terenggut begitu saja. Baginya, Ibu adalah sosok penyayang, pengasih, dan penghibur yang mengajarkan kerasnya dunia. Kenangan tentangnya selalu terlintas tatkala Diva mengingat lagi semua cerita yang pernah tersurat dalam suka maupun duka.

 

Kini, ia hanya berkutat pada sisa-sisa kenangan yang mungkin sulit dirangkai ulang. Bayangan Ibunya yang terbujur kaku dalam peti perpisahan tentu menjadi potret buram dalam ingatan hidupnya. Namun, begitulah hidup. Diva harus melanjutkan hidupnya.

 

“Jika memang dirimu benar-benar hilang, lantas bagaimana caraku mengikhlaskanmu pergi?” gumamnya dalam hati. Ia kembali meneteskan air mata. Sudah seminggu lamanya, tetapi rasa itu masih membekas.

 

Hari itu, pagi kembali menyapa. Ia terbangun dari tidurnya dan bergegas berangkat ke sekolah. Sesampainya di sekolah, Mayleen, salah satu temannya, datang menghampiri. Mereka berbincang sembari berjalan menuju kelas.

 

“Hai, senang rasanya bisa bertemu denganmu,” sapa Mayleen.

 

“Aku juga senang bisa bertemu denganmu,” balas Diva dengan senyum.

 

“Semalam aku bermimpi tentang Ibumu, Diva,” ungkap Mayleen.

 

“Benarkah? Aku mau mengetahuinya, Mayleen,” ujar Diva.

 

“Ibumu datang ke rumah. Pakaiannya sama persis seperti yang biasa ia gunakan saat sembahyang di hari Minggu. Ia menemui ayahku dan berbincang. Ibumu seakan tidak nyaman dengan tempat barunya, tetapi ayahku meyakinkannya untuk tenang dan merelakan semuanya,” tutur Mayleen.

 

“Mayleen, mimpimu itu membuatku belum bisa beranjak dari kenangan tentang Ibu. Memang benar itu adalah takdir Tuhan, tidak ada yang bisa melawan takdir,” sambung Diva.

 

“Kamu harus kuat. Mungkin Ibumu meminta doa dan keikhlasan dari kalian sekeluarga,” ungkap Mayleen sembari terus menguatkan Diva.

 

“Terima kasih, Mayleen, sudah menguatkanku,” tandas Diva dengan menghela nafas panjang.

 

Mereka berdua akhirnya tiba di ruang kelas. Seperti biasanya, mereka memulai aktivitas pembelajaran bersama teman-teman sekelas lainnya. Sepulang sekolah, Diva kembali melakukan rutinitasnya dan beristirahat melepas penat.

 

Tak sadar, matahari sudah tenggelam di ufuk barat, pertanda hari mulai malam. Diva duduk termenung memikirkan kembali kejadian-kejadian sebelumnya. Semua kenangan kembali merasuk pikirannya. Tanpa sadar, ia kembali menangis. Sang Ayah yang sadar akan keadaan putrinya tersebut mulai menghampiri dan bercakap.

 

“Nak, sudahlah. Jangan terlalu larut dalam kesedihan!” tukas sang Ayah dengan nada yang sedikit rendah.

 

“Ayah, aku ingin sekali menemui Ibu. Dia pasti kembali?” ujarnya Diva.

 

“Jika memang kamu ingin menemuinya, maka berdoalah bagi Ibumu. Mintalah kepada Tuhan agar Ibu tenang di sana. Dia tidak akan kembali, tetapi ia selalu menyanyangimu dan kita semua,” balas Ayah dengan tenang.

 

“Nak, Tuhan berfirman: barang siapa percaya kepadaKu, ia akan hidup walau sudah mati. Dari situlah kita belajar bahwa kepergian seseorang bukalah akhir dari segalanya,” sambung sang Ayah sambil memeluk putri kecilnya.

 

Diva memeluk erat lengan Ayahnya. Ia mulai belajar tentang keikhlasan. Begitu dalam kehilangan yang ia rasakan. Namun, dunia terus berjalan dan hidup harus berlanjut. Diva harus menjalani hidupnya dan menyimpan semua rasa tentang Ibu di dalam hatinya. Kehilangan surga adalah hal terberat dalam hidup. Kehilangan itu mengajarkan banyak hal. Keikhlasan adalah jalan terbaik untuk menghargai sebuah kepergian.

 

“Baiklah, aku tidak akan berlarut lagi dalam kesedihan ini, aku akan beranjak dengan ikhlas,” ujar Diva.

 


*Penulis adalah peserta didik kelas XII Bahasa SMA Negeri 1 Borong, Kabupaten Manggari Timur.          


Post a Comment

0 Comments