(Bedah Buku “Aksara di Atas Batas” dan “Pelangi di Pelosok Negeri”)
Oleh : Gusty Rikarno, S.Fil
(Praktisi Pendidikan dan Jurnalis
Media Pendidikan Cakrawala NTT)
Ada cerita indah antara aku dan
kamu.
Cerita yang tiba-tiba terhenti,
tanpa tahu apa sebabnya.
Mungkin karena sebuah kerinduan
Aku selalu berharap agar rindu ini
berakhir hingga akhir hayat
di mana saat itu aku menutup mata
dan melihatmu untuk terakhir
kalinya
(Diujung Rindu _Alit Us Abatan)
CAKRAWALANTT.COM - Sebelum mengupas dan mengunyah isi kedua buku ini, mari kita
bercerita dalam ragam gaya dan perspekstif tentang dan untuk sampul buku ini.
Pertama tentang buku “Aksara di Atas Batas". Sebuah gambar mesin tik jadul dipakai sebagai ilustrasi dengan
latar warna hijau tua. Kesan awal cover buku ini bakal membuat kita
tertegun dalam sunyi. Cover buku ini
tampak biasa tetapi memiliki daya pikat yang mendalam. Mesin tik tempo doloe dengan judul yang sedikit
menantang “Aksara di Atas Batas”.
Aksara itu, selain sebagai sebagai suatu sistem simbol visual, juga merujuk pada suatu sistem penulisan
bernama huruf yang bakal menjadi kata, kalimat dan cerita. Atau dengan kata
lain, aksara adalah tentang sebuah nama, aksi dan atau kultur. Kini, aksara
yang adalah kata telah mendarah dan mendaging dalam satu bentuk berupa buku
antologi tulisan karya guru SMK St. Yosef Nenuk.
Namun ada yang mengelitik di sana. Aksara atau kata yang
terkristal itu berada di atas batas. Apakah itu memberi isyarat bahwa hanya
dalam dan melalui kata (aksara) mampu meniupkan nafas pada yang terbatas, kaku,
mati gaya dan minus kreativitas? Atau dengan kata lain, hanya dalam kata sebuah narasi
terbentuk. Para guru SMK St. Yosef Nenuk saatnya bercerita dari satu aksi yang
nyata dan hidup. Dengan kehadiran buku ini, akhirnya mesin tik tempo doloe itu mendapat wajah dan
bentuk yang baru, aktual dan hidup selaras zaman.
Nah, mari kita beralih ke buku antologi puisi peserta didik SMK
St. Yosef Nenuk yang diberi judul “Pelangi di Pelosok Negeri”. Cover buku ini berwajah milenial. Tampak
lebih fleksibel dan menarik. Ada pelangi yang masih berwarna sama. Mejikuhibiu.
Ada laut (kali) bersama hutan dan gunung yang tetap konsisten memberi
nilai-nilai kehidupan. Mungkin begitulah seharusnya kita hadir. Bersama tetapi
tetap berbeda. Karena keharmonisan itu hadir bukan karena kita disamakan tetapi
disesuaikan. Pertanyaan tersisa, kalau keindahan
dan kebersamaan itu adalah kerinduan semesta, mengapa pelangi itu harus hadir
di satu titik yang jauh bahkan justru ada di pelosok negeri?
Jika mau berpikir sedikit lebih kreatif, apakah pelangi memang
diciptakan untuk datang dan pergi sesukanya tanpa menunggu tepukan tangan dan
apresiasi banyak orang? Buku ini hadir bukan tanpa maksud di tangan kita. Ia
(buku ini) hadir membawa cerita dari setiap hati yang merindu. Di kota
perbatasan ini, ada sejuta kenangan dan inspirasi di hati peserta didik SMK St.
Yosef Nenuk yang mampu menandingi indahnya pelangi.
Hidup Hanya Sebatas Cerita
Buku “Aksara di Atas Batas” dan “Pelangi di Pelosok Negeri”
memiliki dua kata yang sama-sama kuat, yaitu batas dan pelosok. Jika batas (pinggir) dan pelosok itu berarti
sama, lalu adakah yang mampu memaknai kata akasara dan pelangi? Benarkah,
aksara (kata) adalah pelangi yang mampu memberikan harapan dan kerinduan abadi
walau keindahan dan keagungan berada di pinggir negeri yang jauh dari kata
apresiasi dan decak kagum? Jadi, mari kita menukik lebih dalam ke kintal buku
ini.
Buku “Aksara di atas Batas”. Buku ini diedit oleh Budi
Kurniawan, seorang dosen
di Universitas Muhammadiyah Kupang yang juga merupakan bagian dari Tim Formator Cakrawala NTT. Buku yang berjumlah 99 halaman ini
menghadirkan sekian banyak cerita yang sangat khas dan istimewa. Cerita-cerita
antik ini diramu oleh para guru penulis yang adalah fasilitator sekaligus
motivator pendidikan. Mereka (para guru) membawa api yang mampu menerangi lubuk
hati sekaligus menaburkan inspirasi bagi para pembaca pada umumnya dan teristimewa
peserta didik SMK St. Yosesf Nenuk.
Mereka menulis seakan sedang bercerita. Kekhasan buku ini justru
ada di titik ini. Membaca buku ini sepertinya kita berada di kedai kopi.
Pikiran dan perasaan pembaca diobok-obok dalam wajah tersenyum, tercengang,
kagum, heran dan penasaran. Semisal, seorang Carlo Aldo Nando Tuga menjabarkan
bahwa SMK St. Yosef Nenuk menjalankan roda pendidikan bersayap dua. Utuh dan
sempurna. Pengetahuan dan pengalaman
selalu saling mengandaikan. Ada teori dan praktik yang harus berjalan
berimbang. Narasi harus datang dari sebuah aksi yang jelas dan terukur.
Lain halnya dengan Agustinus Kefi. Ketika banyak teori dan
testimoni yang menjelaskan bahwa menulis itu adalah sebuah keterampilan, Agus justru berpikir
lain. Menurutnya, menulis itu adalah sebuah perngorbanan. Ketika menyita banyak
waktu, tenaga dan pikiran untuk membaca dan berlatih menulis, maka menurut Agus, itulah poin
penting dari aktivitas menulis.
Atau seorang Emanuel Frido Kiik misalnya, hadir hanya untuk
menegaskan bahwa STM Nenuk itu almaternya. Singkat dan tak butuh banyak
diskusi. Dia hanya ingatkan, ketika masuk di STM Nenuk, kebebasanmu itu harus
dipertanggungjawabkan. Ada aturan yang bakal memaksa dan menuntun kamu menuju
gerbang kesuksesan.
Hal yang hampir sama diceritakan sekaligus ditegaskan oleh
Gregorius M.Y Laga, dalam tulisannya “Di balik kenakalan, ada ketaatan”.
Judul ini seakan memberi kesempatan pada kita untuk membuat judul dalam bentuk
lain, seperti “Nakal boleh, Gila jangan”.
Sementara itu, Sr. Katarina Adelina Pere hadir dalam cerita khas seorang
Biarawati sekaligus Ibu Asrama. Sr. Katarina mengingatkan pembacanya yang
adalah guru agar terlebih dahulu bersiaga mengisi minyak pada pelita
keguruannya, membekali diri dalam pengetahuan dan pengalaman serta menggunakan metode mengajar yang gasing agar mudah dimengerti peserta
didik.
Ragam tema cerita dihadirkan dalam buku ini. Semisal inovasi dan
kreativitas adalah harga mati untuk seorang pendidik. Selain itu, kedisiplinan
adalah modal utama kesuksesan. Aturan adalah panglima tertinggi yang harus
ditaati oleh semua warga SMK St. Yosef Nenuk.
Ada nilai-nilai Kristiani yang harus dihidupi semisal dalam
berbagai kegiatan baik yang bersifat intrakurikuler maupun yang berbentuk
ekstrakurikuler. Singkatnya, para guru penulis ini telah bercerita. Sangat
spontan dan jujur. Tidak terikat pada tata bahasa yang kaku dan rumit. Mengalir
begitu saja dan membuat para pembaca “betah” dan “bergairah”.
Bagi para guru penulis ini, tulisan mereka dimengerti orang itu
sudah cukup. Bagi mereka, bodynote,
footnote atau daftar pustaka itu penting ,tetapi tidak harus. Buku ini bisa
membuat marah untuk mereka atau seorang yang biasa menulis dalam bingkai
keaksaraan di bawah batas. Cerita ini
berada di atas batas, tetapi bukan bukan berada di luas batas kewajaran. Dengan
demikian, menulis tidak hanya butuh keterampilan dan pengorbanan, tetapi juga butuh “kegilaan
berpikir”.
Nah, saatnya kita ke bilik buku “Pelangi di Pelosok Negeri”.
Buku ini berisi antologi puisi yang tidak dibelenggu dalam satu tema tertentu.
Penulisnya dilepasbebaskan dan imajinasinya dibiarkan mengembara ke mana saja.
Tema-tema sentral tentang alam, keluarga, cinta perjuangan dan kerinduan hadir
begitu saja. Sebagaimana produk sastra lainnya, antologi puisi peserta didik
SMK St. Yosef Nenuk ini menampilkan cerita hati apa adanya. Apa yang sedang
bergelora di dadanya, itulah yang mereka tulis. Sebuah proses kreatif yang
patut diberi apresiasi.
Natalia C. Putri Mau dalam penggalan puisi berjudul, “STM Nenuk”
menulis demikian, “STM Nenuk, kacang ijomu tak akan terlupakan/Labu kuningmu
yang menjunjung tinggi persahabatan/Sayur kol-mu, cinta kasih-nya anak asrama/”.
Buku “Pelangi di Pelosok Negeri” adalah
cerita hidup generasi kita. Mereka adalah pemilik masa depan. Hadirnya Kurikulum
Merdeka Belajar menegaskan satu hal bahwa generasi muda kita harus didampingi,
diajar dan dididik selaras zaman. Waktu terus berubah, maka segala metode
diterapkan agar tetap asyik dan menyenangkan. Dari pengalaman kami mendampingi
peserta didik menulis dalam satu materi bernama katarsis literasi, anak-anak
kita ternyata banyak yang terluka (dilukai).
Ada banyak pergolakan dalam diri yang
harus disembuhkan dalam satu cara. Membaca dan menulis ternyata menjadi cara
ampuh untuk menyembuhkan luka batin itu. Ingat, rindu itu berat tetapi yang
jauh lebih berat adalah rindu yang mengental dan tidak tersalurkan. Karena itu,
teruslah membaca dan menulis sampai kamu bernafas dengan kata-kata dan biarkan
kata itu berbicara.
Literasi
Adalah Jembatan Antara Teks dan Konteks
Hidup hanya sebatas cerita. Fana dan
sementara. Maka hanya pikiranlah yang tidak pernah tua. Literasi adalah cara
yang tepat untuk mampu membina pikiran, mengendalikan lidah dan mendidik jari.
Literasi adalah jembatan yang tepat antara teks dan konteks, narasi dan aksi,
teori dan praktik. Beberapa filsuf asal Inggris, seperti John Locke dan Thomas Hobes
mengagungkan empirisme.
Menurut mereka, sesuatu dikatakan valid dan
benar jika mampu diindrai semisal dilihat dan didengar. Sementara itu, beberapa
filsuf dari Prancis, seperti Rene De Cartes, David de Spionosa dan kawan-kawan
mengagungkan rasionalisme. Kebenaran itu adalah yang masuk akal. Logis dan
dimengerti. Maka kehadiran Immanuel Kant dan beberapa filsuf lain dari German
menghadirkan paham yang lebih mendamaikan dua pemikiran yang berseberangan ini,
yaitu kritisisme. Menurutnya, kebenaran itu adalah sesuatu yang diindrai dan
sekaligus yang dipikirkan.
Kurikulum Merdeka Belajar,
hemat saya lebih tepat kalau disebut kemerdekaan berpikir. Dalam hal ini adalah
kemampuan berpikir kritis. Seseorang harus merdeka dalam hal berpikir agar
kreativitas dan inovasi itu tercipta. Kunci utama kemerdekaan berpikir adalah
sikap kritis. Kita harus tiba pada pemikiran tentang sebuah substansi ketimbang
hanya sekadar memikirkan hal-hal teknis. Benar bahwa hal-hal teknis itu penting
tetapi jangan sampai mengaburkan hal-hal yang fundamental. Semisal,
bagaimanakah cara mengatasi persoalan anak-anak yang bolos sekolah? Membangun
pagar sekolah dan memasang CCTV atau melakukan pendekatan dan atau pembinaan
personal dan kunjungan rumah?
Kita ketahui, ada enam
jenis literasi yang dikembangkan saat ini,
seperti literasi baca-tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial dan literasi budaya dan kewargaan.
Dari keenam jenis literasi ini, literasi baca-tulis disebut sebagai literasi
dasar. Artinya, tanpa aktivitas baca dan tulis, maka mustahil kita
memahami dan mengimplementasikan lima jenis literasi lainnya. Alurnya jelas dan
rasional. Langkah pertama adalah membaca buku dan atau e-book, membaca peluang dan yang terakhir membaca tanda-tanda
zaman. Banyak yang merasa mampu membaca tanda-tanda zaman sementara ia sendiri
tidak biasa membaca buku. Itu artinya ia belum merdeka dalam berpikir.
Para guru dan peserta didik SMK St. Yosef
Nenuk telah berproses. Mereka sudah membaca buku yang adalah teks dan membaca
situasi sesuai konteks mereka bekerja, khususnya di SMK St.
Yosef Nenuk. Buku “Aksara di Atas Batas” dan buku “Pelangi di Pelosok Negeri”
adalah model (bentuk) kecerdasan abad 21, yakni kemampuan
berpikir kritis. Namun menerbitkan buku tidaklah cukup. Saatnya untuk bergerak
(menjalar) ke lima jenis literasi lainnya.
Dalam konteks literasi digital misalnya, para
guru dan peserta didik SMK St. Yosef Nenuk tetap tekun
membina pikiran dan mendidik jari. Kanal-kanal maya kita harus berkelas dan berbobot.
Ingat, saat ini dinding facebook,
twiter, tiktok, group whatsapp adalah wajah kita. Adagium klasik berbunyi, “Mulutmu adalah
harimaumu”. Saat ini berbunyi, “Jarimu adalah
harimaumu”. Demikian halnya dalam konteks literasi
finansial. Seorang guru sejarah misalnya, tekun berkunjung ke
rumah adat dan menggali cerita dari sana. Kemudian menuliskan kembali dan bisa
dipakai sebagai muatan lokal. Demikian halnya dengan guru mata pelajaran yang
lain.
Ada beberapa cerita miris yang perlu saya
sampaikan di kesempatan istimewa ini tentang situasi dehidrasi literasi di NTT.
Saat ini orang berkunjung ke Labuan Bajo, bukan karena hebatnya Sumber daya
Manusia Manggarai Barat. Tidak. Namun, para wisatawan lokal dan mancanegera
hadir untuk melihat komodo itu. Di banyak tempat, foto dan patung komodo lebih
besar dari foto dan patung caci-nya manusia Manggarai
Barat. Beberapa hotel
bintang lima di sana bersaksi. Sayur-sayurnya seperti tomat, terung, wortel dan
sebagainya didatangkan dari NTB dan Bali. Pertanyaan tersisa, dimanakan terung
dan tomatnya orang Manggarai? Di Kota Kupang dari Tarus sampai Oeba, ada 32
bengkel kayu. Semuanya jual peti mati. Tidak ada yang jual rak buku.
Itu artinya, banyak masyarakat
kita lebih berminat membeli peti mati ketimbang rak buku. Atau di Kuanino, ada
toko jual kue (Borneo) dan jual buku (gramedia). Semua menuju ke toko jual kue.
Jika diletakkan di atas meja kue atau buku, orang masih pilih kue. Enak tetapi
sesaat saja. Maka tidak heran, banyak guru untuk naik pangkat orang yang tulis, banyak jasa pembuat skripsi dan sebagainya. Inilah situasi kita.
Saat ini kita sedang mendorong Kabupaten
Belu menjadi kabupaten perbatasan pertama yang
dideklarasikan menjadi
Kabupaten Literasi. Puluhan SMA kita sudah dampingi dalam
pelatihan menulis, baik guru maupun peserta didiknya. Kita terus
bergerak karena sesungguhnya NTT butuh kita semua. Ingat,
aksara itu adalah pelangi yang memberi
harapan dalam keterbatasan. Seperti pelangi yang selalu berwarna, jujur dan
hadir dari batas demikian akasara dan pelangi adalah kita. Saya dan kamu yang
selalu bersua pada rindu yang sama. Menyambut generasi emas NTT 2050 dengan
membangun budaya literasi. Profisiat untuk para guru dan peserta didik SMK
St.Yosef Nenuk.
Salam Cakrawala, Salam Literasi.
(MDj/red)
0 Comments