‘TA ‘TOK FE
(Menelusuri Hubungan Kekuatan
Kata, pola Pikir dan Tingkah Laku)
Oleh : Gusty Rikarno, S.Fil
Jurnalis Media Pendidikan
Cakrawala NTT
Di sini, di kintal berukuran 25
x 50 meter ini, saya ada dan berdiam. Ada sunyi dalam kata sekaligus kata yang
ditiup dalam suara. Semuanya masih seperti dulu. Tidak ada yang berubah di sini
kecuali desahan nafasku yang terus memburu waktu. Saya adalah yang paling
setiap menghitung setiap detik dan jalan yang akan kulalui. Kamar berukuran 4 x
4 meter adalah saksi dari seluruh doa yang kulambungkan pada dinding awan.
Berharap sang pemilik cakrawala mendengar dan meneteskan berkatnya pada hati
setiap insan yang terus mendamba sepertiku. Doaku satu. Kompor Rinnai RB-72SV
itu tetap bernyala dan untukku dapat terus mengejar dan meraih mimpi-mimpi yang
berlari dengan cepat.
Di kamar ini, hatiku terlelap.
Sementara itu pikiranku terus melayang. Berjuang agar setiap insan mengerti
arti kekuatan sebuah kata. Benar. Kata itu harus bernyawa agar sabda itu
sungguh mendaging. Jika kata kehilangan makna maka sebenarnya pada saat yang
sama tidak ada yang abadi di bawah matahari. Kata itu harus memiliki kekuatan
ganda. Jalan untuk orang mengerti (memahami) sekaligus pijakan untuk ber-aksi.
Di kintal ini, adakah yang lebih bermkana dari sebuah cara kami sekeluarga
ber-kata dan bersikap? Hmm… di hari begini, terasa sulit untuk mengerti apalagi
membahas manusia dan dengan segala persoalan rumit di dalamnya.
Lalu? Mari kita sederhanakan.
Adalah seorang Pastor Petrus Salu, SVD. Imam Tuhan yang kini dipercayakan
Serikat Sabda Allah sebagai kepala sekola SMA Katolik Arnoldus yang berada di
jalan TDM IV, Oebobo-Kota Kupang. Ia menulis buku berjudul. “Dunia Tidak
Selebar Daun Kelor”. Buku yang berhalaman 280 ini, menampilkan tentang
keajaiban daun kelor. Sebuah pohon yang pernah booming di masa kepemimpinan
Viktor Laiskodat dan Josef Naisoi sekarang ini. Kelor disebut dan dibanggakan dan
menjadi spesial dari ribuan jenis pohon lainnya. Saya membaca buku ini dalam
posisi setengah sadar. Ada narasi yang sengaja ditulis sangat spontan dan
gamblang. Ternyata Marungga atau lazim disebut kelor ini adalah pohon ajaib
yang dikenal dunia. Ia tumbuh di segala tempat dan musim. Bisa hidup di gunung
Himalaya hingga di kintal pondokku yang berada di Cabang Tilong. Keajaiban
pohon ini diakui oleh seluruh lapisan masyarakat. Singkatnya, kelor adalah cara
Pastor Petrus Salu merasul dan mendidik masyarakat (umat) dilayaninya untuk
menghargai hidup.
Saya tidak sedang mengulas
keseluruh isi buku ini. Saya hanya terpesona pada satu kata di dalamnya. ‘Ta
‘Tok Fe yang secara harafiah berarti “duduk saja, bersantailah dulu”. Pastor
Petrus menulis sekaligus bersaksi “saya bekerja sama adengan orang Timor yang
hidup di kampung dan mereka yang berada di kota. Dalam berbagai bidang budaya,
sosial, politik, agama, pertanian, peternakan, dan lain sebagainya, ajakan
‘ta’tok fe selalu saja terjadi. Saya sendiri akhirnya merasa tidak asing dengan
ajakan ‘ta’tok fe itu. Ajakan ‘ta ‘tok fe akhirnya menjadi kebiasaan
turun-temurun”.
…………………………………………………
Angin bertiup kencang. Saya
tetap berada di tempatku. Duduk. Seperti hari sebelumnya, ketika menyelesaikan
tugas rumah yang sifatnya wajib, seperti menyiram bungg dan tanaman lainnya,
memberi makan untuk beberapa ekor ayam dan mencuci pakaian yang tersimpan
begitu saja di mesin cuci, saya selalu mengambil jedah untuk duduk. Menari
nafas lebih dalam dan menghembuskan secara perlahan. Tanpa disadari, pikiranku
tertuju pada satu kalimat ajakan ini. “ta’tok fe. Jika dipadankan dengan
istilah bahasa Manggarai, “asi di cekoen” maksudnya tetap sama. Bersantailah
sejenak. Kata ini “asi di cekoen” dalam bahasa Manggarai ini juga bermaksud
ajakan. Atau dengan maksud lain, buat apa terburu-buru. Waktu masih ada. Hidup
ini adalah cara kita menikmati. Santai saja. Tidak ada yang mengejar aapalagi
memaksa kita bekerja secara maksimal.
Tiba-tiba saya teringat dengan
mama Margareta. Ibuku. Di pagi, siang atau sore hari, ia selalu menyapa setiap
orang yang melintas di jalan umum. Dari pintu dapur, ia (mama) selalu berteriak
menyapa dan sering disertai ajakan. “ngo nia/kole nia mai. Mai cenggo inung
kopi di cekoen” (mau pergi ke mana/pulang dari mana. Mari singgah dulu untuk
minum kopi). Saya adalah yang paling setiap dan teliti dengan seluruh
kata/narasi yang dibuat mama serta sikap spontan yang terjadi sesudahnya. Walau
ajakan itu sebenarnya hanyalah rutinitas basa-basi tetapi seringkali terjadi di
luar prediskis. Orang yang diajak itu benar-benar berhenti dan memutar haluan
menuju halaman rumah kami. Pada saat yang sama, mama biasanya kalang-kabut
setelah menngteahui kopi dan atau gula tidak ada. Di saat-saat begitu, saya
adalah yang paling menderita. Mama menyuruhku setengah berbisik untuk pergi ke
rumah tetangga atau ke kios meminta atau membeli kopi dan atau gula. Anehnya,
jika tetangga yang dimintai gula dan atau kopi itu, pasti bertanya. Siapa yang
datang bertamu. Maka ia (tetangga) itu bakal meninggalkan pekerjaanya dan
menyapa tamu dadakan itu. Mulailah mereka bercerita sampai lelah sendiri.
Sama halnya dengan bapa. Dalam
benak saya, bapa dan mama itu sama. Berbaik hati dengan semua orang walau
kadang tidak efektif dan sudah pasti tidak produktif. Mereka mengahabiskan
banyak waktu untuk bercerita walau mereka sama-sama mengetahui alur ceritanya.
Misalnya, semalam mereka sama-sama duduk dan menonton sinetron “Anak Jalanan”
di SCTV. Saat pagi hari dan kebertulan bertemu di mata air, maka mulailah
mereka bercerita melampaui episode sinetron itu. Kadang mereka berdebat, marah
dan tertawa bersama. Begitulah mereka. Bapa/mama dan masyarakatku di kampung.
Singkat cerita, ta’tok fe (orang
Timor), mai cenggo di cekoen inung kopi (orang Manggarai) dan berbagai kalimat
ajakan dari wilayah lain di NTT mau menggambarkan bahwa orang NTT khususnya
orang Timor dan orang Manggarai memiliki format yang sama tentang hidup dan
bagaimana menikmatinya walau tidak efektif dan produktif. Mereka bersandar pada
kata yang sama dan pada saat yang sama meruntuhkan nilai perjuangan dan
optimisme dalam hidup. Kalimat ‘ta ‘tok fe ternyata mempengaruhi pola pikir dan
tingkah laku. Lebih lanjut, Pastor Petrus menulis. ”Duduk-duduk atau duduk
santainya orang Timor sering dilanjutkan dengan aktifitas-aktifitas tak terduga
seperti makan sirih pinang, minum sopi, minum kopi atau bahkan membicarakan
orang lain yang memakan waktu lebih banyak dari pada waktu bersantai itu.
Sebenarnya memang waktu. Duduk-duduk dulu. Bersantai dulu itu baik tetapi
kadang-kadang aktifitas tak terduga itu terasa semakin nikmat sehingga lupa
akan waktu, lupa akan tujuan”.
Lalu bagaimana relasi antara
kata ‘ta’tok fe dengan pola pikir dan tingkah laku? Menurut Pastor Petrus Salu,
kalimat ‘ta’tok ‘fe ini merambah ke segala bidang kehidupan. Kata ini sudah
melekat dan mendaging menuju pola pikir hingga merambah pada pola tingkah laku.
Tidak ada seorangpun yang luput dari pengaruh kalimat ini. Ada sekelompok guru
yang masih bersantai di ruang guru walau lonceng untuk memulai pelajaran sudah
dimulai. Tidak heran, anak murid bersikap yang sama. “bersantailah dulu, toh
pak Markus belum datang. Lihat saja, motor Gl-Pro milikinya belum ada.
Duduk-duduk dulu. Demikian halnya, jika hendak mengadakan rapat. “Bersantai
dulu, toh semua belum hadir. Kalau kita pergi sekarang, nanti kita lama
menunggu yang lain” dan seterunya. Pertanyaan tersisa, adakah acara yang lebih
tepat untuk emutuskan mata rantai kata yang membius dan tidak produktif ini?
Mari kita bersepakat jika kata
ini merujuk pada mental tidak menghargai waktu dan merelakan masa depannya
berada dalam kekelaman. Kita seolah berada di masa lalu dengan masa depan yang
tidak jelas. Orang Roma menegaskan situasi ini dengan istilah “carpe diem”.
(nikmatilah hari ini/hidup hanya untuk hari ini) Orang-orang Belu-Kabupaten
Belum menyebutnya dengan kalimat, “Han Kedas Mati La Hodi” (makan memang
sekarang, mati tidak akan dibawa). Merubah paradigma ‘ta’tok fe ini butuh
kesabaran dan komitmen yang kuat. Jika tidak, kita ikut terseret pada komentar
yang biasa tetapi melemahkan nalar. Sebut saja, orang Manggarai. Jika ada yang
berjuang, bekerja keras dan sangat disiplin, bakal ada yang berkomentar, “ata
bora, ta lengge, mata kin (Baik orang kaya maupun orang mati, tetap mati. Tidak
ada yang kekal/abadi). Atau bisa juga dengan narasi rendah diri tetapi sekan
menyidndir. Misalnya, “hai a’monte (kami yang orang bodoh ini ….), “hai a’baute
(kami yang kecil ini …).
……………………………………………
Saya berdiri. Meninggalkan kursi
yang selalu membuatku terlelap. Bayangkan saja, kusi kayu itu, jika diduduki
hingga satu jam rasanya nikmat. Apalagi kursi empuk seorang pejabat yang duduk
hingga waktu lima tahun bahkan ada yng sepuluh tahun. Jika membutuhkan sesuatu,
ia tinggal menekan tombol dan seseorang datang dengan badan sedikit terbugkuk
siap melayani. Jika kemudian banyak otang yang ingin lebih banyak berbicara
(bernarasi) daripada berkerja, mungkin inilah salah satu alasannya. Sebuah kata
(kalimat) yang mendaging dan mempengaruhi pola pikir dan pola tingkah laku.
Dunia ini memang tidak selebar
daun kelor. Dunia ini luas dan butuh kata (narasi) besar agar wawasan dibuka
dan dicerahkan. Saya teringat satu kalimat yang lazim diulang-ulang oleh
seorang Viktor Laiskodat. “Tidak ada lahan yang tidur. Yang sering tidur
(tidur-tiduran) itu adalah manusianya”. Duduk dan tidur itu sama saja. Kaki dan
tangan tidak bergerak. Kamar berukuran 4 x 4 meter itu atau kintal rumahku
berukuran sedang, 25 x 50 meter itu harus “dibongkar”. Hanya dengan demikian
saya menemukan kata (narasi) yang lebih luas yakni dari kata kintal ke kata
kawasan. Saya cepat-cepat meneguk kopi hangat yang disuguhkan Mathilde,
istriku. Malu pada waktu yang selalu menunggu untuk diisi untuk sebuah
produktifitas. Ada kata yang harus ditulis, narasi yang mesti dihidupkan dalam
aksi yang lebih nyata.
Salam Cakrawala, Salam Literasi
…
0 Comments