Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

JONI LIWU, SANG PENCARI DUNIA BARU

 


Oleh: Suprihatin

Sastrawan, penulis novel Kolong Surga, tinggal di Yogyakarta

 

Salah satu kebahagiaan dalam hidup ini adalah ketika kita bisa kembali kepada masa lalu. Baik masa lalu yang biasa-biasa saja apalagi masa lalu yang indah. Antologi cerita pendek berjudul Denting Baobala di Bulan Juli merupakan salah satu bentuk kembalinya penulis kepada sebait dunia baru bertajuk masa lalu di kampung halaman.

 

Denting Baobala di Bulan Juli merupakan antologi yang terdiri dari dua belas cerita pendek. Selain cerita pendek berjudul “Denting Baobala di Bulan Juli”yang sekaligus menjadi judul antologi, ada pula “Testimoni” yang menceritakan kembalinya penulis kepada kampung halaman. Karya ini juga mengusung berbagai tema yang menarik yang kesemuanya mengajak pembaca memahami kehidupan agar lebih bermakna. Di dalamnya terkandung perjuangan hidup, pencarian jati diri, keteguhan, dan cinta yang bisa menjadi bahan renungan untuk menyelami setiap peristiwa kehidupan. Sering kita kehilangan kepedulian terhadap peristiwa sehari-hari. Semua kita anggap sepele dan luput dari perhatian. Antologi ini mengajak pembaca untuk kembali peka terhadap setiap kejadian dalam keseharian kita.

 

Isi antologi berjudul Denting Baobala di Bulan Juli ini didominasi cerita tentang keseharian penulis sebagai seorang guru. Bagaimana guru harus mampu mengolah kesabaran dan perhatian kepada semua siswanya sekaligus mampu menyiapkan segala keperluan mengajarnya. Manisnya, cerita kerepotan guru tidak menjadi tema utama. Cerita kehidupan guru dikemas menarik sebagai pembungkus cerita utama yang lebih mengarah kepada tema-tema sosial. Joni Liwu berhasil merangkum masalah-masalah sosial di sekitarnya seperti pada cerita “Namanya Asu”, “Gerah di Atas Trotoar”, “Bercak di Selendang Ibu”, dan “Testimoni”.

 

 “Nadya, Ceritamu di Kamis nan Gerah” bisa dibilang satu-satunya cerita yang murni mengisahkan kehidupan sekolah. Cerita pendek “Entah Kapan Kutahu Tentangmu” dan “Kuingin Menyuratimu” memang menyajikan peristiwa di sekolah tetapi lebih banyak menceritakan derita anak yang terpisah dari orang tuanya. Dua  cerita ini pun menarik. Mata kita menjadi terbuka, bahwa tak seorang pun dari kita yang belum pernah menipu, terutama orang terdekat kita, orang tua. Joni Liwu juga mampu merangkum kehidupan keluarga yang mengharu biru pada “Tangis Tak Terdengar”. Sebuah cerita tak akan lengkap tanpa cinta. Dalam “Bertopeng” penulis mengungkap sisi lain sebuah cinta. Cinta yang tidak selamanya indah tetapi cinta bertopeng yang menyesakkan dada.

 

Hal yang paling menarik dari buku ini adalah penulis tidak pernah menutup cerita  dengan kepastian. Semua cerita dibiarkan berakhir terbuka begitu saja, sehingga pembaca memiliki kebebasan luas untuk memaknai. Penulis memberikan ruang leluasa kepada pembaca untuk mengekpresikan makna yang terkandung pada isi setiap cerita.

 

Antologi ini mengajarkan kita agar tetap melangkah meski keputusasaan sering membuat langkah terhenti. “Tangis Tak Terdengar” bisa menjadi cermin. Ketika keputusasaan mengusai jalan pikiran, kita dituntut untuk selalu bersabar dan mampu mencari celah  untuk menemukan cahaya kehidupan. Ikhlas bahwa tidak selamanya kenyataan berjalan sesuai keinginan. Kegagalan tidak akan kekal tetapi kehidupan selalu menuju pada kekekalan sebagai puncak tertinggi kehidupan.

 

“Hujan kemarin siang tidak menyejukkan Tanah Timor pada kemarau yang berkepanjangan. Kemuning pasrah pada terik tak berbelas kasih” (“Entah Kapan Kutahu Tentangmu”)



 

Post a Comment

0 Comments