Oleh: Suprihatin
Sastrawan,
penulis novel Kolong Surga,
tinggal di Yogyakarta
Salah satu kebahagiaan
dalam hidup ini adalah ketika kita bisa kembali kepada masa lalu. Baik masa
lalu yang biasa-biasa saja apalagi masa lalu yang indah. Antologi cerita pendek
berjudul Denting Baobala di Bulan Juli merupakan
salah satu bentuk kembalinya penulis kepada sebait dunia baru bertajuk masa
lalu di kampung halaman.
Denting Baobala di Bulan Juli merupakan antologi
yang terdiri dari dua belas cerita pendek. Selain
cerita pendek berjudul “Denting Baobala di Bulan Juli”yang sekaligus menjadi
judul antologi, ada pula “Testimoni” yang menceritakan kembalinya penulis
kepada kampung halaman. Karya ini juga mengusung berbagai tema yang menarik
yang kesemuanya mengajak pembaca memahami kehidupan agar lebih bermakna. Di
dalamnya terkandung perjuangan hidup, pencarian jati diri, keteguhan, dan cinta
yang bisa menjadi bahan renungan untuk menyelami setiap peristiwa kehidupan.
Sering kita kehilangan kepedulian terhadap peristiwa sehari-hari. Semua kita
anggap sepele dan luput dari perhatian. Antologi ini mengajak pembaca untuk
kembali peka terhadap setiap kejadian dalam keseharian kita.
Isi antologi berjudul Denting Baobala di Bulan Juli ini
didominasi cerita tentang keseharian penulis sebagai seorang guru. Bagaimana
guru harus mampu mengolah kesabaran dan perhatian kepada semua siswanya
sekaligus mampu menyiapkan segala keperluan mengajarnya. Manisnya, cerita
kerepotan guru tidak menjadi tema utama. Cerita kehidupan guru dikemas menarik
sebagai pembungkus cerita utama yang lebih mengarah kepada tema-tema sosial.
Joni Liwu berhasil merangkum masalah-masalah sosial di sekitarnya seperti pada
cerita “Namanya Asu”, “Gerah di Atas Trotoar”, “Bercak di Selendang Ibu”, dan
“Testimoni”.
“Nadya, Ceritamu di Kamis nan Gerah” bisa dibilang
satu-satunya cerita yang murni mengisahkan kehidupan sekolah. Cerita pendek
“Entah Kapan Kutahu Tentangmu” dan “Kuingin Menyuratimu” memang menyajikan
peristiwa di sekolah tetapi lebih banyak menceritakan derita anak yang terpisah
dari orang tuanya. Dua cerita ini pun
menarik. Mata kita menjadi terbuka, bahwa tak seorang pun dari kita yang belum
pernah menipu, terutama orang terdekat kita, orang tua. Joni Liwu juga mampu
merangkum kehidupan keluarga yang mengharu biru pada “Tangis Tak Terdengar”.
Sebuah cerita tak akan lengkap tanpa cinta. Dalam “Bertopeng” penulis
mengungkap sisi lain sebuah cinta. Cinta yang tidak selamanya indah tetapi
cinta bertopeng yang menyesakkan dada.
Hal yang paling
menarik dari buku ini adalah penulis tidak pernah menutup cerita dengan kepastian. Semua cerita dibiarkan
berakhir terbuka begitu saja, sehingga pembaca memiliki kebebasan luas untuk
memaknai. Penulis memberikan ruang leluasa kepada pembaca untuk mengekpresikan
makna yang terkandung pada isi setiap cerita.
Antologi ini
mengajarkan kita agar tetap melangkah meski keputusasaan sering membuat langkah
terhenti. “Tangis Tak Terdengar” bisa menjadi cermin. Ketika keputusasaan
mengusai jalan pikiran, kita dituntut untuk selalu bersabar dan mampu mencari
celah untuk menemukan cahaya kehidupan.
Ikhlas bahwa tidak selamanya kenyataan berjalan sesuai keinginan. Kegagalan
tidak akan kekal tetapi kehidupan selalu menuju pada kekekalan sebagai puncak
tertinggi kehidupan.
“Hujan kemarin siang tidak menyejukkan
Tanah Timor pada kemarau yang berkepanjangan. Kemuning pasrah pada terik tak
berbelas kasih” (“Entah Kapan Kutahu Tentangmu”)
0 Comments