Puisi-puisi Fransiska Diana Pamput*
Maling Berdasi
Mereka yang tak kenal kenyang
duduk di atas kursi
yang menjadi rebutan sesamanya.
Rakus menjadi budaya terpelihara
hingga rakyat bingung kelaparan.
Negeri ini bosan melihat mereka yang berdasi
tampak muka begitu polos
memanipulasi rakyat dengan janji manis.
Sungguh misteri begitu mistis.
Harusnya mereka tahu porsi,
bukan untuk menang sendiri,
tergoda oleh ketenaran mudah
sampai tak sempat berempati.
Mereka hanyalah orang munafik
yang menciptakan janji
dengan amanahnya sendiri.
Janji yang hanya bisa disebut fiktif
demi popularitas diri sendiri.
Berjalan seakan tak ada tanggung jawab,
celotehan kami dianggap nasi basi,
mereka yang mapan semakin tertawa,
kami yang miskin semakin nyata.
Gudang orasi kami suarakan,
dengan segera mereka menjelma
bagai tak bercela.
Mereka terlihat bertindak,
nyatanya masih rakus,
suara kami terlalu mengganggu
segala keasyikan mereka.
Entahlah. . .
Dengan apa kami bisa memberantasnya.
Segala macam hukum tumpul bagi kami,
berjuta kali aksi kami turun,
tetapi penderitaan tetap tak terobati.
Kami diperlakukan tak adil,
layaknya pengemis di tanah sendiri.
Apalah daya, mereka yang berdasi,
bermodalkan kolusi,
berpesta riuh di antara kemiskinan.
Terbersit mereka adalah perintis negeri,
tapi kelakuan yang tampil nihil empati.
Mereka hanyalah seperti ini:
“Maling berdasi, perintis korupsi”.
Panggilan Jiwa Merdeka
Di bawah langit merdeka nan biru,
tersimpan angan jiwa manusia yang berteduh.
Dari suara-suara yang serak berkumandang,
memanggil anak-anak Bumi Pertiwi,
mengukir sejarah negeri
dalam kerumitan jejak prestasi yang abadi.
Panggilan jiwa merdeka membara,
menggetarkan hati para pemuda,
merekam jejak motivasi di setiap langkah,
tersemat inspirasi bagi generasi pemula.
Jembatan harmoni mengantarkan diri pada seni,
mengalirkan goresan pena penuh arti,
melukiskan keindahan semesta tanpa ilustrasi,
menyatu dalam melodi kasih yang abadi.
Seberapa gelapnya kehidupan malam,
kreativitas menjadi cahaya menuju kebebasan,
menyinari seisi dunia hingga hadir ide-ide memikat.
Dengan tekad semangat yang membara,
terukir cerita kebesaran jiwa yang tak terlupakan.
Menginspirasi dunia dengan tiada tara,
melantunkan sajak harapan tiap detiknya,
harmoni, kreativitas, dan seni.
Inilah panggilan jiwa merdeka.
Suara Pemula
Suara yang terdengar serak
berteriak di sudut perjuangan.
Suara itu menggema,
melantunkan sajak-sajak keberanian.
Di antara kejamnya pemborantakan Bumi Pertiwi,
merekalah harapan, cahaya dalam gelap,
yang rela berkorban hingga titik terlelap.
Hari-harinya diwarnai banyak hal,
ada pembunuhan, pembantaian, dan bunga api
yang mengalirkan sungai di sekitar dengan darah,
bahkan, mata air turut berdarah.
Namun, tebing semangat juangnya begitu kokoh,
bambu runcing yang setia menemani,
kaki telanjang tak beralas,
pakaian dengan seribu wangi,
basah di badan, keringpun di badan.
Kini semua itu berbunga bagi negeri yang mulia.
Suara itu menitipkan pesan
teruntuk penghuni-penghuni negeri ini
tuk’ lanjutkan jejak langkah suci mereka.
Berjuanglah menghadap kisah yang baru!
Bangunlah dari keterpurukan!
Bangkitlah demi Bumi Pertiwi!
Akhirnya, suara pemula berucap,
tegar mengungkapkan kemenangan.
*Penulis adalah peserta didik kelas XI SMAN 1 Borong, Manggarai Timur.
(MDj/red)
0 Comments