Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

MEMBANGUN NARASI, MERAYAKAN AKSI

Catatan dari Forum Konsultasi Publik Zona Integritas Wilayah Bebas dari Korupsi (ZI-WBK) Kantor Bahasa Provinsi NTT


 

Oleh Mario Djegho

Wartawan Cakrawala NTT

 

Hari itu adalah hari Rabu (23/06/2021). Cuaca tampak cerah, walau langit sedikit membentangkan mendung. Suasana di pagi itu nampak damai di tengah alunan pikiran yang selalu berupaya memilih dan memilah setiap makna di awal hari itu. Namun, di tengah riuh imajinasi untuk memaknai semua peristiwa di pagi itu, bunyi gawai sejenak mengangetkan diri kami (Tim Media Pendidikan Cakrawala NTT). Kami memperoleh sebuah undangan dari Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk menghadiri kegiatan diskusi di Hotel Neo yang bertempat di Kelurahan Penfui, Kota Kupang.

 

Tanpa berpikir panjang, kami langsung bergegas pergi menuju tempat tujuan. Di dalam benak kami, Kantor Bahasa Provinsi NTT adalah salah satu mitra kolaboratif yang selalu konsisten meningkatkan budaya literasi. Dengan demikian, semua kegiatan yang diadakan oleh pihak tersebut adalah senada dengan komitmen kami untuk menyusuri setiap tapak dalam jalan sepi literasi.   

 

Sesampainya di sana, kami langsung disambut oleh panitia penyelenggara kegiatan tersebut sembari diarahkan untuk menempati posisi yang sudah ditentukan sesuai dengan protokol kesehatan (prokes). Kegiatan tersebut merupakan forum konsultasi publik Zona Integritas Wilayah Bebas dari Korupsi (ZI-WBK) Kantor Bahasa Provinsi NTT di bawah naungan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.

 

Diskusi tersebut dibuka secara langsung oleh Kepala Bagian Reformasi Birokrasi Polri dari Polda NTT, Sandra Lusian Daris dan dihadiri oleh Kepala Kantor Bahasa Provinsi NTT, Syaiful Bahri Lubis beserta jajaran, perwakilan Ombudsman, perwakilan Universitas Nusa Cendana, perwakilan Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW), perwakilan Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Kupang, perwakilan Konsulat Republik Demokratik Timor Leste (RDTL), jajaran Media Massa, Komunitas Penerjemah Disabilitas dari Komunitas Bahasa Isyarat Bahasa Indonesia (Bisindo), Komunitas Duta Bahasa Provinsi NTT, dan masyarakat sipil. Proses diskusi tersebut berlangsung dalam dua sesi utama, yakni; pemaparan materi pengantar dan diskusi konsultasi publik dalam menentukan standar layanan pada Kantor Bahasa Provinsi NTT.    

 

Mewujudkan Tri Gatra Bangun Bahasa

 

Kami dipersilakan duduk di bagian depan, tepatnya sebelah kanan. Ditemani suguhan kopi dan teh di pagi itu, kami mendengarkan pemaparan materi pengantar dari Kepala Kantor Bahasa Provinsi NTT, Syaiful Bahri Lubis. Suaranya yang tegas dan energik semakin mendorong kami untuk terus berpikir dan  berimajinasi di setiap untaian gagasan dan pendapat yang terucap olehnya. Dengan lugas ia memaparkan visi, misi, dan garis koordinasi birokrasi Kantor Bahasa Provinsi NTT bagi para peserta diskusi yang sedang menyimak runtutan infografis.

 

Visi Kantor Bahasa, jelasnya, adalah terwujudnya sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang mandiri dan berkepribadian melalui pengembangan dan pembinaan bahasa. Sedangkan, misi Kantor Bahasa Provinsi NTT adalah mewujudkan ekosistem pengembangan dan pembinaan bahasa dan sastra berbasis riset dan inovasi kebahasaan yang kreatif, meningkatkan budaya literasi di masyarakat yang berbasis teknologi digital, mewujudkan penguatan diplomasi kebahasaan yang maju, mewujudkan perlindungan bahasa dan sastra yag dinamis dan berbasis kemasyarakatan, serta mewujudkan layanan profesional kebahasaan.

 

“Visi Kantor Bahasa adalah mewujudkan SDM Indonesia yang mandiri lewat pengembangan dan pembinaan bahasa. Maka dari itu, segala upaya yang berkaitan dengan proses pengembangan dan pembinaan bahasa di lingkup Provinsi Nusa Tenggara Timur akan menjadi tugas dan prioritas kami, termasuk dalam mewujudkan layanan profesional kebahasaan yang akan kita diskusikan di dalam forum konsultasi hari ini,” ujarnya dengan penuh keyakinan dan semangat.

 

Lebih lanjut, terang Syaiful, program prioritas Kantor Bahasa adalah mengupayakan pengayaan kosakata atau lema, melakukan konservasi dan revitalisasi bahasa, mendorong penggunaan Bahasa Indonesia di ruang publik dan media massa, menunjang adanya gerakan literasi nasional (GLN), Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (IKBI), dan Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA), serta menguatkan mitra kebahasaan. Semua hal tersebut, sambungnya, berguna dalam upaya perwujudan Tri Gatra Bangun Bahasa, yakni; utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing.

 

“Kita juga sedang mendorong pengayaan bahasa daerah menjadi kosakata bahasa Indonesia. Berdasarkan data, terdapat 718 bahasa daerah di Indonesia dan 72 bahasa daerah di Provinsi NTT. Artinya, ada kemungkinan kata-kata di dalam bahasa daerah di NTT bisa terserap ke dalam perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia. Hal tersebut juga mampu mendorong proses konservasi dan revitalisasi bahasa daerah. Selain itu, kita juga mendorong penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik. Tentunya, semua hal tersebut bermuara pada terwujudnya Tri Gatra Bangun Bahasa” pungkasnya sembari menyimpan harapan yang begitu besar untuk perkembangan bahasa yang lebih baik.

 

Pentingnya Layanan Inklusif

 

Setelah Syaiful Bahri Lubis menyelesaikan pemaparan materi pengantarnya, kami dipersilakan untuk menikmati jamuan makan siang sebelum memulai sesi diskusi konsultasi publik. Di sela-sela maka siang, tidak jarang kami bertemu dengan beberapa anggota diskusi sembari bertukar pikiran guna merefleksikan setiap kata yang berasal dari sebuah proses kebahasaan. Setelah selesai menyantap makan siang, kami dibagi ke dalam beberapa kelompok diskusi, yang akan membahas, menata, dan menyusun ulang berbagai masukan, saran, dan perbaikan yang konstruktif. Diskusi konsultasi publik tersebut terdiri atas standar pelayanan UKBI, standar pelayanan BIPA, standar pelayanan penerjemah, standar pelayanan ahli bahasa, standar pelayanan konsultasi bahasa dan sastra, serta standar pelayanan informasi publik.


 

Sebelumnya, ketika pemaparan materi pengantar, kami tertarik dengan sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh Mario Lado, seorang anggota Komunitas Bisindo yang sangat menekankan penggunaan dan pemaknaan bahasa bagi para kaum difabel, seperti tunawicara dan penyandang disabilitas pendengaran (tuli). Di sini, yang membuat kami terharu adalah sifat bahasa yang sangat universal. Bahasa adalah milik semua orang tanpa terkecuali. Masing-masing orang memiliki cara dan kemampuan berbahasa sesuai dengan kondisi dan realitasnya, sehingga semua orang harus mampu memahami sembari memposisikan diri secara kontekstual agar tidak salah memberikan definisi dan persepsi.

 

Bahasa itu sangat beragam dan bahkan bisa menjadi perekat persatuan dan kesatuan, sebab tanah ini (Indonesia) selalu diizinkan untuk diinjak oleh perbedaan. Oleh karena itu, pentingnya layanan inklusif di setiap prosedur yang ditawarkan menjadi topik prioritas di dalam setiap sub materi yang didiskusikan. Layanan inklusif tentunya juga berfokus pada kenyamanan dan ketersediaan akses bagi para disabilitas agar bisa memperoleh informasi dan pelayanan kebahasaan yang setara tanpa adanya diskriminasi.    

 

Media Massa dan Persoalan Berbahasa

 

Di sela-sela proses diskusi, ada juga hal positif yang bisa dihubungkan dengan eksistensi media massa dalam mengekspresikan dan menyikapi setiap persoalan kebahasaan. Dua pemilik media massa yang hadir, Rony Banase dan Gusty Rikarno juga menyinggung soal pentingnya UKBI bagi peningkatan kompetensi para wartawan atau jurnalis. Menurut keduanya, menulis bukan semata soal memberitakan apa yang sedang terjadi, tetapi juga tentang bagaimana visi, sikap kritis, kreatif, dan edukasi turut hadir melengkapi khazanah pemikiran para pembaca, sehingga tata bahasa, alur pemikiran, dan sistematisasi penulisan harus diperhatikan oleh para jurnalis.

 

Hal tersebut, tambah keduanya, akan turut membantu proses pengembangan dan pembinaan bahasa di jalur publik sambil meningkatkan budaya literasi yang substantif dan konstruktif. Oleh karena itu, lanjut keduanya, sinergisitas dan kolaborasi pun harus dibangun antara Kantor Bahasa Provinsi NTT dengan semua Media Massa cetak maupun online di Provinsi NTT, sehingga proses pemberitaan pun bisa tepat sasaran dan bersandar pada kaidah kebahasaan yang berlaku.

 

Setelah mengikuti diskusi dan konsultasi publik tersebut, tepat pukul 16.00 Wita, kami pun mengakhiri semua proses diskusi tersebut dengan doa dan sesi foto bersama. Harapan yang terbersit dalam hati dan sanubari kami adalah semoga masukan dan kritik yang telah diperbincangkan hari itu bisa termanifestasi secara baik di dalam standar layanan publik yang profesional dan bertanggung jawab.

 

Namun, di samping itu, kami teringat kembali pada momentum Sumpah Pemuda 1928, dimana di salah satu sumpah yang terucap, Bahasa Indonesia menjadi sumber persatuan dan kesatuan bangsa. Artinya, ketika kita telah berpijak di atas tanah yang satu dan terlahir kembali di melalui rahim bangsa yang satu pula, kita juga harus bersatu di dalam bahasa yang satu.

 

Di dalam pikiran dan hati kami, berbagai imajinasi dan inspirasi mulai terpilah untuk dipilih. Manusia bisa terlahir dengan pemikiran kritis dan imajinasi yang kreatif. Ia mampu menyusun konsep perubahan dan kemajuan yang mumpuni. Namun, semua hal tersebut hanya akan bergerak dalam asupan narasi, bukan pada tataran aksi. Oleh karena itu, ia harus membangun komunikasi dan kolaborasi  lewat bahasa yang bisa mempersatukan semua persepsi.

 

Dengan demikian, konsep tersebut bisa mengubah semua narasi ke dalam kiblat peradaban yang lebih baik untuk melakukan selebrasi yang saling membangun inspirasi. Kami pun beranjak meninggalkan Hotel Neo sambil tersenyum dan berbisik di dalam hati, “Kami telah berhasil memaknai peristiwa hari ini”. Hari itu adalah momentum penting bagi kami, dimana kami berhasil membangun narasi dan bersama merayakan aksi.

 

Foto-foto: Mario Djegho

Editor: Robert Fahik/ red

Post a Comment

0 Comments