(Sebuah Catatan Apresiatif untuk Peluncuran “Kelas Menulis Online”
oleh
Komunitas Secangkir Kopi Kupang)
Oleh Mario
Djegho, S.Kom
Jurnalis Media Pendidikan
Cakrawala NTT
Hari kasih sayang atau Valentine’s day sering dirayakan setiap
14 Februari. Tidak ada penanggalan resmi di kalender yang secara jelas menandainya
sebagai sebuah momen perayaan. Namun, dalam setiap rentetan kisah anak manusia,
14 Februari menjadi momentum penuh arti yang dijadikan ajang pembuktian rasa
kasih sayang. Valentine’s Day erat
kaitannya dengan pemaknaan cinta. Banyak hal unik yang terkandung di dalamnya
sesuai kebutuhan dan keinginan.
Tentu bukan hal baru, jika eksistensi Valentine’s Day sering dipertentangkan
karena maraknya peraduan argumentatif tentang esensi Valentine’s Day. Namun, hal ihwal yang menjadi pijakan sebenarnya
adalah bagaimana setiap anak manusia mampu memaknai arti sebuah cinta dalam
proses memahami setiap peristiwa hari ini dengan definisi dan perspektif yang
mumpuni.
Proses memahami tersebut juga terngiang
dalam pemikiran para penghuni pondok Komunitas Secangkir Kopi Kupang (KSK).
Komunitas yang bersandar pada semangat “Bebas
Tafsir, Bebas Mimpi” ini memiliki definisi dan persepsi lain dalam memaknai
arti sebuah cinta. Valentine’s Day adalah
momentum kolektif untuk menciptakan perubahan yang literat. Memang terkesan unik,
sederhana, dan polos tanpa polesan, tetapi substansi dan visi yang disuguhkan
mampu mengisi pos-pos kritis yang hari ini hilang ketika segelintir insan gagal
mendefinisikan peristiwa hari ini.
Hal itu terbukti ketika komunitas ini
mencoba mendobrak kebiasaan dengan menghadirkan cinta dan cokelat Valentine’s Day dalam aksara melalui
peluncuran program literasi “Kelas Menulis Online” (KMO) untuk pelajar dan
mahasiswa se-Nusa Tenggara Timur (NTT) secara gratis, pada Minggu (14/02/2021).
Kegiatan literatif via aplikasi Zoom
Meeting tersebut dihadiri pula oleh berbagai kalangan, seperti; Kepala
Kantor Bahasa NTT, Syaiful Bahsri Lubis, Ketua Forum Taman Bacaan Masyarakat
(FTBM) NTT, Polikarpus Do, Presiden KSK Kupang, Rian Seong dan anggota, jajaran
Media Pendidikan Cakrawala NTT, pegiat literasi, serta pelajar dan mahasiswa
se-NTT.
Cinta
dan Cokelat dalam Akasara
Kegiatan tersebut secara tidak langsung
ingin mengupas paradigma umum tentang upaya memahami definisi cinta yang
hakiki. Pada umumnya, cinta memiliki kompleksitas definisi yang dirujuk dari
berbagai persepsi. Ibarat membaca sebuah puisi, cinta terlalu mudah untuk
dibaca, tetapi terlampau sulit untuk dipahami. Sigmund Freud misalnya, ia hanya
melihat cinta sebatas gejala biologis. Pionir psikologi modern tersebut
menjelaskan makna cinta sebagai kenikmatan semata pada hasrat libidinal
(libido) tanpa kesenangan. Hal itu tentunya senada dengan pandangan Thomas Hobbes
yang juga melihat cinta hanya sebatas pada reaksi kimia semata. Baginya,
manusia seumpama sebuah mesin dan perasaan yang timbul darinya bukanlah sebuah
kemurnian hati.
Namun di lain pihak, jauh di masa
kejayaan Yunani, Plato telah lebih dahulu melihat cinta sebagai kodrat manusia
untuk bersatu dan manusia terbaik, baginya, adalah mereka yang memiliki cinta
di dalam dirinya. Dengan kata lain, Plato mendefinisikan cinta sebagai sebuah
kekuatan yang selalu menggerakan manusia dalam pengembaraannya menuju Sang
Idea. Oleh karena itu, manusia yang memiliki cinta adalah kelompok individu
yang sangat mencintai dan mengagungkan kebijaksanaan (philosopos) dalam menemukan setiap hal terbaik bagi hidupnya.
Seturut kompleksitas tersebut, dalam
memaknai arti sebuah cinta, KSK Kupang tentunya berkiblat pada Plato, sebab
esensi dan eksistensi cinta tidak bisa terperosok masuk ke dalam teori
matematis-kuantitatif. Dalam pengantarnya, Rian Seong menitikberatkan kesediaan
dan kesetiaan semua pihak yang terlibat dalam menyukseskan kegiatan yang akan
selalu teringat dan diawali pada setiap momen Valentine’s Day tersebut. Baginya, apresiasi yang terbaik adalah
ketika semua hal yang berasal dan dilakukan dari dan dengan hati akan kembali
ke dalam hati itu sendiri. Seperti bait bermakna yang selalu dilontarkannya, “Sampai puisi kehilangan nada dan musik
kehilangan kata”, ia telah berkomitmen untuk tidak hanya meracik jamuan
cinta dalam makna yang terbatas, tetapi tanpa batas. Tentunya, sinergisitas
kolektif dari semua pihak, tambahnya, diperlukan dalam upaya meningkatkan
budaya literasi sambil terus menjaga kepentingan kolektif.
“Apresiasi positif patut diberikan untuk
semua pihak yang sudah terlibat dalam menyukseskan kegiatan ini. Kita harus
bersama-sama menjalankan kelas menulis online ini. Para peserta harus terus
berkomitmen, terutama di hari Valentine’s
Day ini untuk meningkatkan budaya literasi baca dan tulis. Ini momentum
terbaik kita dan ini adalah cokelat kita di hari berbahagia ini. Percayalah
bahwa semua yang berasal dari hati akan kembali ke hati dan teruslah bergerak
sampai puisi kehilangan nada dan musik kehilangan kata” ujarnya.
KMO:
Cahaya Cinta bagi
Jalan Literasi
Peluncuran kegiatan KMO yang bertepatan
dengan Valentine’s Day ini sebenarnya
adalah cahaya cinta bagi jalan literasi. Menurut Elizabeth Sulzby, seorang
professor pendidikan dari University of Michigan yang menggagas konsep emergent
literacy (literasi usia dini), literasi adalah kemampuan berbahasa yang
dimiliki oleh seseorang dalam berkomunikasi. Kemampuan tersebut terdiri atas
kegiatan membaca, berbicara, menyimak dan menulis. Singkatnya, literasi
berhubungan erat dengan keaksaraan, yaitu kemampuan menulis dan membaca. Dengan
demikian, ketika tingkat literasi di sebuah masyarakat tergolong rendah maka
secara tidak langsung proses pembangunan manusia belum bisa berjalan
sebagaimana mestinya karena minimnya kemampuan dan keterampilan menulis,
berbicara, menghitung, dan mungkin tidak mampu memecahkan masalah pada tingkat
keahlihan tertentu.
Peningkatan budaya literasi juga menjadi
visi yang sedang diemban oleh Polikarpus Do, Ketua Pengurus FTBM NTT dan
sekaligus pegiat literasi. Dalam kegiatan ini, ia juga menyampaikan apresiasi
yang positif atas inisiatif penyelenggaraan KMO ini. Baginya, kegiatan ini
menjadi salah satu wadah penggerak literasi dalam menunjang kemajuan peradaban
yang lebih baik. literasi baca-tulis, tambahnya,
merupakan pintu pertama dalam memahami bentuk literasi lainnya, seperti
literasi budaya dan keluarga, literasi numerasi, literasi finansial, literasi
digital dan sebagainya. Oleh karena itu, ia sangat mengharapkan agar kegiatan
bisa terus berjalan sambil menunjang ruang kreativitas agar pengembangan
potensi menulis pelajar dan mahasiswa se-NTT bisa terimplementasi secara baik.
“Saya patut memberikan apresiasi bagi
KSK dan semua pihak yang sudah terlibat dalam peluncuran kegiatan yang sangat
baik ini. ini adalah wadah yang literat
untuk menunjang kemajuan peradaban. Yang harus diingat adalah literasi baca dan
tulis adalah pintu pertama dalam memahami bentuk literasi lainnya. Semoga
kegiatan ini bisa terus berjalan agar potensi anak NTT bisa terimplementasi”
pungkasnya.
KMO memang adalah cahaya cinta bagi
jalan literasi sebab realitas tingkat membaca di negeri ini masih terbilang
rendah. Fakta UNESCO menyatakan bahwa Indonesia berada pada urutan kedua dari
bawah soal literasi dunia, artinya minat baca di Indonesia tergolong sangat
rendah. Hal tersebut didukung oleh data yang menunjukan bahwa dari 1000 orang
Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca dengan presentasi 0.001%. Bayangkan
saja, dari total 5.5 juta populasi penduduk di NTT hanya sekitar 5 ribu
penduduk yang gemar membaca dan terbagi dalam 22 kabupaten/kota yang
masing-masing berkisar sekitar 228 orang saja. Oleh karena itu, peningkatan
literasi membaca dan menulis adalah dua hal utama yang harus diprioritaskan
sebagai manifestasi dari konsep pembangunan manusia.
Optimisme:
Cara Terbaik untuk Mencintai
Di lain pihak, dalam tanggapannya, Kepala
Kantor Bahasa NTT, Syaiful Bahri Lubis menyatakan bahwa pihaknya sangat
mendukung dan mengapresiasi kegiatan bermanfaat yang diselenggarakan oleh KSK
tersebut. Baginya, kegiatan tersebut adalah inovasi konstruktif selama masa
pandemi guna melestarikan budaya literasi, terutama di kalangan pelajar dan
mahasiswa. Optimisme dan keyakinan, tambahnya, adalah cara terbaik untuk
mencintai kegiatan bermartabat tersebut. Oleh karena itu, lanjutnya, sudah
sewajarnya jikalau akan terjadi seleksi alam tanpa disadari dalam proses
edukasi tersebut.
“Ini adalah kegiatan positif yang baik
selama masa pandemi. Kantor Bahasa Provinsi NTT sangat mendukung dan
mengapresiasi kegiatan bermartabat ini. Ini adalah inovasi dalam melestarikan
budaya literasi. Pasti akan ada seleksi alam dalam prosesnya, tetapi optimisme
dan keyakinan adalah cara terbaik untuk mencintai kegiatan ini,” ungkapnya.
Optimisme adalah cara terbaik untuk
mencintai. Tentunya, kalimat ini menjadi ultimatum dalam menjalani proses
dengan baik, sebab cinta adalah hal yang sakral. Sikap optimistik dalam
mencintai senada dengan pandangan R. Fahik dalam novelnya “Seperti Benenai, Cintaku terus Mengalir Untukmu”. Baginya, cinta
adalah kerinduan, kesetiaan, dan komitmen untuk membangun sebuah perubahan,
seperti Manek yang selalu mencintai Noy dalam doa dan ketiadaan. Sebagai
seorang sastrawan, R. Fahik sangat mengagumi Kahlil Gibran dan semua
pemahamannya tentang cinta. Ia pernah berujar bahwa kasta tertinggi dari
mencintai adalah ketika seseorang tidak tahu mengapa ia sangat mencintai. Cinta
sejati bukanlah perasaan yang datang dengan pertanyaan, tetapi rasa dan asa
yang tumbuh dengan tanda titik.
Rasa dan asa Gibran tersebut merupakan
landasan kokoh yang membentuk sikap optimisme. Kegiatan KMO akan berjalan
efektif ketika semua pihak paham mengapa ia harus mencintai jalan literasi
hingga ia menemukan tanda titik yang mendiskreditkan tanda tanya. Berangkat
dari sikap optimistik ini pula, Syaiful Bahri Lubis percaya dan yakin bahwa
kelak di kemudian hari, melalui wadah bermartabat ini akan lahir banyak
penulis, penyair dan sastrawan NTT yang selalu berkomitmen untuk terus menjaga
jalan literasi dalam cahaya perubahan yang lebih baik. Di sinilah getaran cinta
nampak dari sebuah optimisme. Dengan demikian, Gibran telah membuktikan tesisnya
bahwa cinta adalah sesuatu yang bisa menggetarkan.
Catatan
Penutup
Peluncuran KMO adalah sebuah gebrakan
pembangunan untuk dunia literasi. Pelibatan anak muda NTT yang berkisar pada
usia pelajar dan mahasiswa ini patut diberikan acungan jempol. Bukan tanpa
alasan, prospek pembangunan kontemporer pada dasarnya berkiblat pada konsep
pembangunan manusia (human development)
yang menyasar generasi muda. Hal tersebut berguna agar estimasi bonus
demografis dan generasi emas NTT nantinya bisa terwujud dengan baik. Seperti
yang diutarakan oleh Polikarpus Do, optimisme, semangat membangun, dan komitmen
adalah kunci menuju masyarakat yang literat. Baginya, masyarakat literat adalah
masyarakat yang kritis, kreatif, inovatif, dan peka terhadap lingkungan
sekitar.
Pada akhirnya, apresiasi yang sebesar-besarnya
patut diberikan kepada Komunitas Secangkir Kopi Kupang (KSK). Ini adalah
kegiatan yang bermartabat karena telah memberi secercah cahaya cinta bagi jalan
literasi dalam semangat yang optimis. Dengan kegiatan ini, KSK telah
mengajarkan kepada semua pihak bahwa hidup ini unik. Ia mahal karena jerih
payah. Ia berharga karena peluh. Dan ia bernilai karena keberadaannya diapresiasi.
Salam Literasi.
Foto: Dokumentasi Redaksi
0 Comments