Oleh: Dr. Marsel Robot, M.Si.
Dosen Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Undana, Penulis
Mistik estetika sebuah puisi terasa ketika pembaca dilegokan dalam
penyiksaan yang begitu menyenangkan. Semisal, ia (pembaca) berjumpa dengan kata “Kaulah kandil kemerlap/Pelita jendela di malam gelap” (Padamu Jua, Amir Hamzah), lalu
mulai bergumul dengan kata-kata menyimpang dari makna
lingual itu. Di sanalah pembaca kepergok oleh ketaklaziman dalam menggunakan
bahasa (bahasa eksklusi). Sebab, bahasa puisi bukan sekadar alat ucap informasi
(penggunaan bahasa secara inklusi), melainkan mengendapkan makna lain yang
disajikan secara khas. Membaca puisi berarti pula berusaha melintasi skandal lingual
getir itu. Berikutnya, puisi menyediakan ruang kosong yang penuh sesak dengan makna. Ruang kosong
itu adalah makna paling padat. Michael Riffaterre mengumpamakan puisi sebagai kue
donat (lihat Qadri, 2010:175). Kue yang tampak merupakan teks yang terbaca,
sedangkan bagian tengah yang kosong atau berlubang merupakan matriks dan
hipogram. Bagian kosong di tengah-tengah daging kue inilah pusat makna, inti
puisi. Tersurat, tersirat, dan tersuruk itulah urusan penting dalam pergumulan
dengan puisi. Dengan kata lain, ada
semacam momok dalam pergumulan menikmati
puisi.
Ruang kosong itu menjadi beranda tempat pertengkaran kreatif seorang
pembaca dengan sebuah puisi. Kian remang kata, idiom, tamsil, alegori, metafora,
konotasi dalam sebuah puisi, semakin terlibatlah pembaca mengarungi ruang kosong
untuk meraih makna puisi itu. Gelagat dialektis demikian yang mencampakkan
pembaca pada penderitaan yang paling romantik itu. Dari sanalah ketahuan, teks dan tekstur
puisi bukanlah teks siap saji seperti halnya risalah, makalah atau buku teks. Teks ilmiah tergolong teks harfiah
yang bersifat low context text (teks konteks
rendah) karena mudah dipahami isinya. Teks puisi
merupakan “teks setengah jadi,” atau teks
eksklusi. Sebab, digenangi
konotasi dengan
makna yang dibiarkan membias. Puisi
tergolong teks hight context text
(teks yang diinterpretasi
secara intensif dan masif).
Karakter teks demikian meminta kepekaan dan
kreativitas penerimanya untuk
melakukan perlawanan kreatif terhadap sebuah puisi.
Belum lagi ada
jarak pengalaman, ada jarak historia, bahkan ada perbedaan peristiwa-peristiwa
yang merimbun dalam memori pada orde pembaca dan orde penyair. Kadang, pengalaman penyair dalam statusnya sebagai pencipta
dan pengalaman penyair dalam statusnya sebagai pembaca puisinya sendiri sangat berbeda
dalam pemaknaannya. Dua proses itu berbeda. Artinya, ketika sebuah puisi
selesai ditulis oleh penyairnya maka puisi bukan lagi milik penyairnya, tetapi
milik pembaca. Pembaca bebas mencurahkan pikiran dan sejumlah pengetahuan untuk
merebut makna dari dalam sebuah puisi. Itulah sebabnya, makna sebuah puisi
lebih ranum di tangan pembaca.
Perihal “Jalan” dari
Harris ke Nandi
Berjumpa dengan puisi-puisi Yustinus
Harris dan Petrus Nandi adalah perjumpaan di “jalan” dalam labirin teologis. Puisi-puisi
kedua penyair ini merampungkan perihal jalan sebagai tamsil untuk hakikat
hidup. Manusia adalah “tukang jalan” (peziarah). Selama perjalanan kadang
menjadi pemburuh untuk memenuhi riuh. Manusia bertanggung jawab atas jalan di
antara sesamanya. Sekadar meminjam istilah Hannah Arendt, inter homines esse (berada di antara manusia-manusia). Perkenankan
saya untuk memilih puisi-puisi yang secara tematik mempertemukan kedua penyair
ini. Soal pilihan adalah selera dan selera tidak dapat disalahkan, de gustibus non est disputandum (selera tidak dapat
diperdebatkan, kata Austin Warren dan Rebe Wllek (2014: 164).
Membaca puisi-puisi Harris dan Nandi dalam
kumpulan “Dari Bane of Sisyphus Sampai Vis DoloRosa” mendapatkan partikel-partikel suara profetik (kenabian) yang
menuruni lereng-lereng realitas. Tak ada wantiandi sana, sebagaimana khotbah seorang
Pastor di Minggu pagi atau tausyiah seorang Uztat di Jumatan. Namun, aku lirik
(katakan penyair) menjadi totum pro parte (merepresentasi dan mempresentasi) secara puitik
pengalaman iman tentang hidup yang begitu gemuruh menuju Sang Sunyi. Kedua
penyair ini tidak memosisikan pembaca sebagai umat di depan altar yang latah
dan menjadi pasien iman, dianggap bersalah melulu atau berlumuran dosa semata. Sebaliknya,
mereka membiarkan siapapun untuk terlibat menikmati dan memaknai pesan profetis
dari balik orkestra estetika puisi-puisi ini. Perjalanan yang tak pernah kelar. Perihal jalan
itu, Yustinus Harris menulis:
Tuhan,
sanggupkah jalan ini kutempuh
Sebab
berkali sudah aku terjatuh
Tuhan,
tunggu aku
Hatiku
masih melumut di cadas batu (Via Dolorosa)
Yustinus Harris begitu terpukau dengan jalan (Via
Dolorosa). Jalan sebagai sumbu pengisap kesadaran akan eksistensi manusia.
Hidup adalah jalan menuju bunda kesunyian. Sedangkan bumi hanya tempat pembuangan untuk menyadari
pentingnya jalan itu. Semacam eksegese yang begitu menyublim
hingga helai-helai kehidupan yang paling tipis dan begitu kuat melengket pada
kesadaran “ke disini-an. “Hatiku masih melumut di cadas batu”, tulis Harris.
Mungkin kita tidak sedang pergi, melainkan sedang pulang. Kita pergi adalah
jalan yang kadang nisbi, ada kerutan-kerutan episode yang terus mewanti bahwa
jalan pergi dan jalan pulang hakikatnya berbeda. Kita
selalu kalah melawan diri selama berada di jalan, bahkan membangun jalan sendiri. Inilah jalan kenisbian. Karena
itu, yang pergi tak perlu diratapi. Toh, “Jika sampai di tebing tinggi/Kita
menggelinding menurun bukit kembali.” Jadi, jalan adalah kesia-siaan. Pada penggalan puisi berjudul:
Perjalanan Nisbi, Harris menulis:
Manis,
jalan terus kita lalui kita daki
Kenapa
kepergian mesti diratapi
Jika
setelah tiba di tebing tinggi
Kita
menggelinding menuruni bukit lagi (Perjalanan Nisbi)
Apakah
kita terdekap di jalan pergi atau terbekap di jalan pulang? Lanskapnya tidak seindah melati
yang tumbuh di antara orang yang memahami jalan. Namun, kadang melati menjadi
belati yang begitu mudah menggunting
pita-pita kemanusiaan di antara kita. Kota-kota
dan kata-kata menyeret Tuhan seenaknya di aspal mendidih. Keadaan itu
dipandang Harris bahkan Nandi dari bukit Scalabri. Tempat memandang panorama
perjalanan tanpa remang, apalagi rabun mulai ranum. Kadang, hidup kita
lebih aneh dari sekadar kita jalani. Ada kegelisahan lain yang terendap dalam
pengalaman keagamaan Harris. Rupanya membutuhkan keangkuhan untuk memahami
jalan, atau jalan yang menyediakan keangkuhan itu? Yustinus Harris mendaras
keadaan dalam puisinya:
Di
bawah kabut subuh akar pohon beringin berdzikir
Sejuknya
embun pagi meluruh ke jantung ringin contong mengalir
Meski
tak sedingin gigil hawa di sekujur bukit Scalabrini
Adalah
biara bagi martir yang hatinya telah terkunci
Di
hatiku serasa tak ada mistar
Untuk
mengukur jarak antara ringion contong dan bukit Scalabrini
Di
biara itu
Orang-orang
pilihan berjubah putih
Menimba
sumur luka di ceruk lambung yesus
Juga
menancapkan dua jarinya,
Seperti
tomas, satu di antara 12 muridnya (Dari Ringin Contong Hingga Puncak Scalabrini)
Petrus Nandi adalah
orang yang terpesona dengan keadaan sosial yang terus menggigil, labil dan
ganjil pula. Jari-jari imajinasi
menusuk lubang
jantung sosial dengan selawatan
teologis. Dengan lagak literer yang begitu liris dan dengan mata miris ia
melihat manusia sebagai makhluk paling paradoksal ini. Manusia modern hidup
dalam kematiannya. Melakukan perjalanan yang kadang tidak paham, apa sedang berhenti
atau sedang berjalan. Berangkat tidak hanya meninggalkan kotanya, meninggalkan
dirinya, melainkan meninggalkan kepesonaanya sebagai manusia demi rasa yang
seakan menggerakkan bola bumi. Semisal
Italia yang menjadi ikon Katolik sedunia justru perlahan mulai lebam,
tampak bintik-bintik Sodom dan riak Gomora terasa di dada kota. Manusia tak
berjalan mencari suaka kehidupan yang kadang membuatnya kesurupan lantaran
rahasia yang tak terbaca. Petrus Nandi dalam Stazione di Milano, 1875 menulis:
Dari Padova, angin
meniupkan kabar
janda-janda ingin
terbang ke langit Amerika
demi menyaksikan
pucuk-pucuk Violet
mekar di bibir
anak-anaknya.
Ada satu tak
terbaca,
tak terlintas di
bola mata mereka:
air mata mengalir
sepanjang Sungai Orinoco
ketika bukit-bukit
Viaregio, Piacenza dan Calabria
mereka tukarkan
dengan gubuk-gubuk kumuh di kota.
Cahaya bulan sabit
lindap di pelupuk mata,
perlahan mereka
mengayunkan langkah
menuju pantai
di mana
kapal-kapal tua membawa mereka
mengantar mimpi ke
negeri yang jauh
agar kelak bulan
tak menangis lagi
di atas tingkap
kereta-kereta
di stasiun Milan.
Puisi ini, hemat
saya, salah satu puisi Nandi yang paling kuat. Pengolahan tema melalui tabiat
literer yang begitu ketat. Ia memberikan semacam plot dalam pusi, balada yang
menyalakan lilin memori bagi orang yang sedang melakukan perjalanan. Dalam
sengketa kreatif nan karitatif itulah, pembaca diperlakukan
sebagai orang cerdas dan kreatif pula. Sebab,
pembaca puisi Nandi membutuhkan radar kepekaan dan pengetahuan teologis yang
mumpuni untuk mendapatkan pesan-pesan
profetik yang terbinar dari dalamnya. Petrus Nandi menulis:
Anak Domba telah
menanggalkan kehinaan
saat siul-siul
lirih
burung-burung dari
dasar lembah
mengantar jiwa-Nya
menuju Bapa.
Di kaki palang penghinaan
itu,
wanita dara yang
ditampar duka
menatap riuh
anak-anak Israel
berarak pulang
dengan nyanyian kemenangan.
Lalu dipangkunya
Anak Domba yang tak bernyawa.
Pada guratan
wajah-Nya ia mendapati
rupa-rupa masa
lalu yang gugur:
ketulusan memang tak selamanya
menyisakan
klimaks yang indah (Senja di Bukit
Golgota)
Puisi-puisi ini menawarkan cahaya kandil
sepanjang jalan pragmatis yang sangar, gersang dan mematikan. Golgota
adalah bukit yamg membentang peristiwa paling antagon dalam kisah kehidupan
Yesus. Salib yang terbuat dari dosa manusia. Penyaliban Yesus adalah penyedotan
dosa hingga siapapun yang “berarak pulang dengan nyanyian kemenangan, tulis
Nandi. Puisi-puisi Nandi beraroma mawar nirwana. Pengalaman religius begitu
lengket dalam hampir setiap puisi. Jika ia menulis tentang cinta, bukan sekadar
lendir libido, melainkan menyiramkan partikel sura profetik tadi. Simak penggalan
pusi Hikayat Malam Edan berikut:
Setelah gerbang
suci kita singkapkan,
kita mengeja dan
perlahan membaca
rambu-rambu malam
dengan cinta.
Kautiupkan ruah di
gerbang mulutku
sementara aku
meraba-raba pintu
memasuki
lorong-lorong rahasia
pada tubuhmu.
Di antara kita,
semua menjelma nikmat.
Kularungkan
sebatang pena tajam
dan kulukiskan
semesta edan
pada lingkaran
yang tulus kauberi.
Perjumpaan
antara Petrus Nandi, seorang calon Pastor yang kini masih suntuk kuliah di Ledalero (Maumere, Flores) dan Yustinus
Harris, seorang PNS di Jombang adalah juga “ jalan”. Dalam puisi dua
penyair ini kita akan kepergok semacam lagak liteter yang memukau. Hidup terasa karatan,
romantisme mulai susut, memori tak lagi tumbuh di buku album, gelak-tawa
menjadi begitu artifisial. Anthony Smith (baca Simiers, 2009) mengeluh, “...
bahwa dunia secara keseluruhan tidak dapat menawari kita memori, mitos, dan
simbol yang kita butuhkan sebagai makhluk manusia.” The Other Voice atau The Other Face.
Semakin dalam kita
bergumul dengan puisi Harris dan Nandi, semakin tak selesai bacaan kita
terhadap puisi-puisi. Ini mungkin bentuk cicilan kenikmatan yang menyiksa itu.
Dengan kata lain, semakin suntuk kita membaca puisi Harris dan Nandi semakin
banyak yang tertinggal atau yang tak terbacakan. Rene Wellek dan Austin Warren
pernah mewanti ... pada setiap
pembacaan puisi selalu muncul unsur-unsur yang melebihi puisi itu sendiri. Harris dan Nandi
menuruni lereng realitas. Merekam dengan radar teologis (teologi sosial), atau pengamatan-pengamatan
batiniah setajam mata elang dan dieksegese secara estetik melalui puisi. Hasil pertengkaran menyimpulkan kesadaran estetis
tidaklah diderivasi dari pengalaman sosial, tetapi merupakan suatu konstruksi
refleksif profetis yang berdasarkan pada
realitas.
Jika saya memilih masing-masing tiga puisi dari kedua penyair ini,
sungguh tergantung pada selera saya sebagai pembaca. Sengaja saya mengutip puisi agak panjang karena
sistem pemaknaan yang utuh. Nyaris tak ada baris yang berdaulat penuh atas maknanya
tanpa ditautkan dengan baris sebelum atau sesudahnya.
Tak berlebihan
puisi-puisi ini semacam perhentian tempat minum air selama melakukan
perjalanan. Puisi-puisi ini diperlukansebagai refleksi pada masa perhentian manusia menunggu penderitaan masa
depan yang hidup tanpa Tuhan di gereja. Tetapi Tuhan tak tahan hidup di antara
kita. Hidup bukan lagi jalan, tetapi
sebuah kontainer yang penuh sesak dengan perkakas, dan manusia menjadi salah
satu suku cadang perkakas itu. Harris dan Nandi menyaksikan keadaan itu dari “Puncak Scalabrini.” Tempat teramat agung untuk
memandang gemuruh dan galau perjalanan manusia di antara kontainer perkakas dan
libidonya. Dan barangkali, di Puncak Scalabrin, Harris dan Nandi meminjam mata
batin kepada pembaca untuk menyaksikan panorama sering terlantar atau kesurupan
karena perbuatan dan tingkah-tingkahnya merabunkan dan menghapuskan alamat pelabuhan untuk pulang. Puisi-puisi ini mirip kandil kerlap-kerlip di sisi lorong remang.
Entalah! Tetapi, puisi-puisi Harris dan Nandi memang bercahaya.
*Tulisan ini
merupakan prolog dalam buku DARI BANE OF SISYPHUS SAMPAI VIA DOLOROSA (antologi
puisi) karya Petrus Nandi dan Yustinus Harris
0 Comments