RP. Ovan Setu, O.Carm |
Ini cerita tentangku.
Perkenalkan namaku, Juan. Aku anak seorang pedagang kaki
lima di ibu kota.
Barangkali, teman-teman tak ingin mendengarkan ceritaku.
Bolehlah, tak jadi soal bagiku. Intinya, ini kisahku. Cerita tentang diriku.
Tentang mengapa aku tetap berdiri di bawah patung Garuda itu. Begini ceritanya.
***
Suatu ketika, pada hari Senin minggu pertama bulan Mei.
Ketika banyak teman sebayaku yang berusia sekitar dua belas-an tahun berhamburan di lapangan sekolah. Aku lupa,
mengingatkan Ria, teman perempuanku bahwa hari itu, aku harus pergi membantu
ayahku menjual barang dagangannya di ibu kota. Mengingat ibuku telah dua minggu
tertidur sakit di kamar tidur dan belum sempat diantar Ayah ke rumah sakit.
Maklum, kami berasal dari keluarga dengan pendapatan yang pas-passan.
Ria itu anak perempuan satu-satunya dalam keluarganya.
Ayahya adalah seorang Guru Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan di kompleks kami,
tinggal aku dan Ria saja yang masih duduk di bangku putih biru. Sedangkan yang
lainnya sudah pada kuliah, kerja bahkan nganggur
begitu saja di rumahnya masing-masing.
Selama menjajakan barang dagangan di ruas-ruas jalan
negara. Ayahku selalu berpesan jika ada patroli dari pihak berwajib, jangan
lupa untuk segera menyiapkan aba-aba dan lari. Lari yang yang kencang dan
sekuat-kuatnya. Jangan biarkan mereka menangkap kita. Apalagi kamu, Juan. Pesan
ayahku, berulang kali.
Di sekolah, sedang ramai sekaligus syahdu, pastinya. Hari
ini, 10 di antara ratusan teman dikumpulkan dalam satu hasrat agar dipilih dan terpilih
menjadi petugas penggerek bendera. Ya, sebelumnya seperti biasa dalam rutinitas
kalenderium sekolah kami: hari Senin, minggu pertama dalam bulan selalu ada
upacara bendera.
Katanya sih, agar kami (peserta didik) tetap diingatkan
pada perjuangan para pahlawan yang telah berjuang hingga darah penghabisan demi
membelah Ibu pertiwi ini. Itulah alasan yang saban hari dijelaskan oleh Pak
Anton selaku Guru Pendidikan Kewarganegaraan kami sekaligus menjadi Wakil
Kepala Sekolah bagian Kesiswaan (OSIS), pada suatu pagi minggu pertama kami
menjalankan Masa Orientasi Siswa (MOS) pada bulan Juli tahun lalu.
Setiap kali ada pembeli yang datang baik memesan dan
langsung menyatap menu dagangan ayahku. Setiap kali itu juga, pikiranku
melampui keadaan, di mana mata, hati dan perasaanku berada. “Ayah, hari ini aku
pun sebenarnya memiliki ingin untuk menjadi salah satu bagian dari penggerek bendera. Sekalipun itu hanya menjadi pembawa doa,” batinku.
Sebenarnya begini, ketika beberapa hari yang lalu Pak
Karel mengumumkan bahwa pada hari Senin mendatang akan dipilih beberapa dari kelas
VIII untuk menjadi penggerek bendera pada hari Senin tanggal 1 Juni, bulan
depan. Saat itu, saya sebenarnya telah memikirkan alasan agar tidak hadir pada
hari tersebut. Dan semuanya terjadi. Saat ini pun saya sedang tidak berada di
lapangan sekolah. Namun, pikiran dan keinginan saya tetap tinggal dalam seluruh
acara pemilihan itu, yang nantinya pasti saya tidak tahu siapa-siapa saja yang
akan terpilih di antara 10 itu.
Kita semua pasti tahu, mengapa ada upacara pada tanggal 1
Juni, bulan depan. Akh, sebenarnya saya tak harus tanya, toh kita semua pasti
paham. Alih-alih semua paham, maka satu dari perayaan hari itu menjadi alasan
bagi saya untuk hari ini tidak berada di antara ratusan teman-teman saya yang
memiliki hasrat agar terpilih. Sekalipun saya juga memiliki hasrat untuk itu.
Begini, teman-teman. Ketika Pak Karel mengumumkan perihal
hari Senin ini, beberapa hari yang lalu. Ibu Marta, seorang guru senior di
sekolah kami, dulu pun sempat menjadi wali kelas saya saat berada di kelas VII.
Selepas pulang sekolah, hari Kamis kemarin. Kebetulan saja, kami berpapasan saat
ingin pulang.
“Juan, hari Senin ini nantikan, akan ada pemilihan dari
kalian kelas VIII untuk menjadi penggerek bendera pada tanggal 1 Juni, bulan
depan. Kau pasti ingin menjadi salah satu di antaranya, bukan. Tapi ingat, ada
satu atau dua hal yang seharusnya kau dan kalian semua paham. Hari Senin nanti,
Pak Anton selaku kaur kesiswaan tidak saja memilih kalian begitu saja. Ada
syarat yang mesti dipenuhi oleh kalian semua,” ucap Ibu
Marta, guru Bahasa Indonesia kami.
“Makasih bu. Kalau boleh tahu, bagaimana syaratnya, bu?
Mungkin saya bisa mempersiapkan diri untuk itu,” tanyaku.
“Satu saja syaratnya. Kau dan teman-temanmu akan disuruh
untuk melafalkan lima sila pancasila. Dan yang harus kau ingat juga bahwa
kalian semua harus paham betul segala unsur dari simbol-simbol yang berada di
gambar burung garuda itu, apalagi arti kalimat yang berada di bawah kaki burung
garuda yang setiap saat kau dan teman-temanmu tonton secara telanjang di depan
kelasmu.”
***
Mendengar Ibu Marta, menyampaikan syarat-syarat dalam
proses pemilihan penggerek bendera itu, saya semakin kalang kabut meski saya
berkeinginan untuk menghafal pancasila itu. Toh saya ingin dipilih di antara
yang terpilih nanti. Cukup untuk membanggakan kedua orang tua saya sebenarnya.
Hanya saja, di rumah saya tidak memiliki buku paket Pendidikan Kewarganegaraan
yang di beberapa halamannya ada penjelasan mengenai Pancasila serta isi dari
pancasila itu. Ya, kemarin, Pak Anton pernah mengatakan bahwa Pancasila itu,
ideologi bangsa kita ini. Akh, aku kurang paham apa itu ideologi?
Bahkan buku tulis saja, sejak berada di bangku Sekolah
Dasar hingga berada di bangku Sekolah Menengah Pertama ini, hanya ada satu buku
tulis yang kugunakan setiap kali pelajaran. Di dalamnya pun tak ada satu atau
dua tulisan yang benar-benar kutulis. Semuaya, hanya sekadar coretan-coretan
panjang yang berliku-liku. Bagaimana cara menghafal pancasila?
Saya ingin bertanya kepada Ayah, namun mengingat ayah selalu
pulang larut malam dan masih harus mengurus ibu yang sedang sakit. Akhirnya
saya mengurung keinginan saya itu. Akh, bagaimana cara menghafalnya?
Ketika keinginan itu membuncah saya tak benar-benar tahu
bahwa saya sedang mencoba menghafalnya. Ketika radio Ayah saya, sekaligus
menjadi barang elektronik satu-satunya yang keluarga kami miliki itu diputar
oleh Ayah terdengar suara sumbang dari seberang. Dan saat itu, penyiar radio
menyiarkan berita tentang memaknai hari pancasila.
Satu-dua kalimat keluar dalam lafalnya yang juga mulai
menyebut satu per satu sila di dalam pancasila. Saat itu, secara tersirat
pikiran saya menghafalnya. Satu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dua, Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab. Tiga, Persatuan Indonesia. Empat, Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Lima, Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Semuanya mengalir, semuanya deras keluar, semuanya jatuh
begitu juga air mata ayah pun ibu. Terdengar isak dari dalam kamar ayah dan
ibu.
“Ayah, anak kita Juan mungkin saja ingin menjadi salah
satu dari para penggerek bendera pada hari pancasila nanti,” ucap ibuku
kepada ayah.
Ibuku tahu tentang hal ini. Sebab, sudah menjadi
kebiasaan tahunan bahwa sekolah kami akan menyeleksi para siswanya untuk menjadi
penggerek bendera dalam rangka perayaan tanggal 1 Juni nanti. Tidak itu saja
bahkan untuk upacara-upacara kenegaraan lainnya. Itulah makanya ketika Ibu
mendengarkan saya menghafalkan pancasila secara berulang-ulang kali. Ibu paham
apa yang terjadi di sekolah.
“Iya Ma. Kemarin ayah bertemu dengan Ibu Wathy wali kelas
Juan di ruas jalan saat berjualan. Katanya hari Senin mendatang, Juan dan
teman-temannya akan diseleksi untuk itu,” jawab ayahku.
Saat ayahku menjawab pertanyaan ibu. Sebenarnya saya
sedang meloi dari kain pintu kamar
ayah dan ibu. Air mataku jatuh, melihat seluruh situasi saat itu, apalagi mendengarkan
percakapan ayah dan ibu. Semuanya menyatu dan membuncah dalam ingin. Dan
semuanya berubah hingga hancur.
Malam itu, terakhir kalinya ibu berbicara pada ayah dan
bukan pada saya secara langsung. Malam itu, ketika semuanya berubah. Malam itu
ibuku benar-benar diam dalam nafasnya. Sekarat dalam kondisinya.
“Nak, jangan tangisi Ibu, ya, Ibu baik-baik saja. Ayah
yakin Ibu juga akan sehat seperti biasanya.”
***
Hari itu, sebenarya semuanya telah menjadi sia-sia.
Pelafalan yang gagah dan lantang berakhir. Tak ada hasrat, suara yang menggelegar
dan membuncah keluar berhamburan itu, tidak lagi bergairah. Mati dan terkubur
dalam bayangan mentari pagi. Mikrofon yang bergema di depan sana, riak-riak syahdu
– tangis.
Beberapa tahun yang lalu semuanya lebih bergairah,
semuanya terasa hidup, beberapa puluh tahun yang lalu, semuanya tampak gelap,
awan turut berduka, anak-anak tak lagi berkeliaran di lapangan senja. Mentari
yang nampak bersembunyi di balik banteng-benteng gagah. Dan hanya sebagian dari
pemuda yang berkeliaran dalam darah yang mendidih. Tahun-tahun itu ketika, aku
seperti kalian tak tahu bagaimana caranya belajar, apalagi menghafal pancasila.
Toh saat itu, itulah yang sedang diperbincangkan di meja BPUPKI hingga PKI.
***
Begitulah cerita Opa Yan, yang sedang dicerita kembali
oleh Juan untuk menyelesaikan karya tulis ilmiah sebagai penganti ujian
semester PKN kali ini. Ria, teman-teman masih ingat dia. Dialah yang memecahkan
kebingungan dari air mata Juan.
“Juan mengapa kamu menangis, memangnya apa yang
dipercakapkan ayah dan ibu saat itu?”
“Ria, ayah dan ibu saat itu sedang membicarakan caraku
menghafal dan Ibuku berkata dalam kondisinya itu kepada ayahku, ‘Aku Tak
Ingin Mati Sebelum Menghafal Pancasila.’ Saat aku menghafal pancasila dari radio saat itu di
dalam kamar, ayah sedang membantu ibu melafalkan pancasila dan ketika sila
kelima selesai diucapkan ibu saat itu ibuku benar-benar tak bisa lagi
berbicara.”
Akh, ternyata Ayahku sempat bercerita bahwa Ibu kita
sedang pincang dan strok di dalam
hari-harinya.
RP.
Ovan Setu, O.Carm
Seorang Imam Karmelit dan Kepala SMPK Alvarez Paga. Saat
ini menetap di Rumah Rertet Nabi Elia Mageria – Mauloo–Maumere.
0 Comments