Cerpen
Ricko W.
Peminat Sastra tinggal
di Ledalero-Maumere
“Sewaktu-waktu
kita juga perlu berdiri dan berteriak di hadapan Tuhan atas kemalangan yang
kita alami. Kita tidak harus selalu berlutut dan menunduk di hadapan-Nya. Kita
perlu menggugat.”
Paul
berdiri di hadapan Tuan Pastor yang dari tadi menasihati mereka untuk selalu
berdoa dan berpasrah pada kehendak Tuhan.
Tuan
pastor itu tercengang. Kata-kata Paul membuat suasana katekese malam itu
menjadi tegang. Paul seolah ingin menantang Tuan Pastor berargumentasi. Tetapi
tidak.Tuan Pastor
tenang dan berusaha memahami kata-kata Paul. “Kenapa bapak katakan demikian,
mungkin bapak punya pengalaman yang bisa diceritakan?”
Wajahnya
memerah, tiba-tiba saja air mata menetes di pipinya. Dengan suaranya yang
terserak-serak ia memulai.
Apabila Tuhan mencintai saya, kenapa
dia harus memisahkan saya dari orang-orang yang
saya cintai. Dia mengambil Maria setelah ia
melahirkan anak pertama saya. Kemudian saya menikah lagi dan dalam sebuah
perjalanan menuju sebuah kota, istri kedua saya yang juga sedang mengandung,
mengalami kecelakaan dan pergi untuk selamanya bersama janin di dalam rahimnya.
Terkutukkah saya sehingga setiap orang
yang saya cintai harus pergi? Sekarang semua orang di kampung termasuk keluarga
saya sendiri menganggap saya pembawa sial; dan tak ada yang mendekati saya.
Lihat malam ini. Mereka menatap saya dengan penuh hina. Ada jijik di mata
mereka. Tatapan itu untuk seorang penjahat. Dan saya buka penjahat.
Saya
tidak punya siapa-siapa lagi. Bahkan Tuhan sekalipun.
Suara Paul terserak-serak
menenggelamkan kata-kata yang ingin diucapkannya. Kesedihannya yang luar biasa
sekarang merambat dalam hati Tuan Pastor dan seluruh umat yang hadir.
Tuan
pastor mendekati Paul dan menenangkannya. “Sekarang apa yang kamu mau perbuat,
Paul?”
“Sekarang?”, ia menatap tajam wajah
Tuan Pastor.
“Sekarang.... saya harus berbuat
apa. Saya sekarang harus mencintai.”
Tuan pastor mengerutkan dahinya.
Beberapa orang umat yang hadir juga tampak keheranan. Ia mengencangkan ototnya,
dikancingkan giginya sehingga makin melebarkan rahangnya. Tatapan matanya tajam
ke bawah. Wajahnya yang memerah berubah jadi pucat. Tampak otot-otot tubuhnya
menjalar hingga ke jari-jari tangannya yang dikepalkannya. Badannya mulai meriang.
Tarikkan napasnya yang tersengal-sengal terdengar dalam hening. Ia sedang dalam
amarah, mungkin.
Tuan
pastor mencoba memahami. Ia tahu Paul sudah lama bercerai.
Ia
sudah lama bercerai dengan Tuhan.
Dia
yang dulunya rajin ke gereja
setiap hari, kini sudah bertahun-tahun tak menampakkan batang hidungnya di pojok
gereja, tempat
kesukaannya.
Menurut
orang sekampung, sejak kematian istri keduanya itu ia sering menghilang dan
lari ke hutan. Berbulan-bulan ia di hutan dan sesekali baru ia masuk kampung
hanya untuk sekedar memastikan kalau kerabat-kerabatnya masih menganggapnya
sebagai orang waras. Tetapi percuma, dengan penampilannya yang lusuh, berewok
tebal, dan rambut yang urak-urakan ditambah emosinya yang tak terkontrol, ia
masih dianggap tak waras.
Tuan
Pastor tahu tentang
semua itu.
“Tuan Pastor, bisakah saya
mencintai?” Suaranya nyaris tak terdengar lagi. Sambil mengangguk senyum Tuan
Pastor kembali mendekatinya.
“Kau dicintai Tuhan dan kau pun
berhak untuk mencintai siapa saja di bumi ini.”
Sedetik
kemudian.
Paul
memelototi Tuan Pastor seperti ingin menghajarnya dengan kepalan tangannya.
Umat yang hadir semakin panik, mereka panik kalau-kalau ia benar-benar
menyentuh Tuan Pastor mereka.
Tuan
Pastor tetap tenang.
“Saya masih dicintai Tuhan? Ha, saya
dicintai. Ini mustahil. Saya dicintai! Hai, dengar saya dicintai.” Paul
setengah berteriak, menambah panik semua yang hadir.
“Kalau begitu buktikan, Tuan Pastor.
Buktikan kalau saya benar-banar dicintai.”
Ia
meradang. Ia tak
percaya dengan cinta.
“Buktikan. Ayo!”
Tuan
pastor masih diam.
Tidak
bisa. Ha...Tuan tidak bisa buktikan kalau saya dicintai Tuhan? Tidak bisa?
Kalau bisa buktikan, kalau tidak bisa biar saya yang membuktikannya.
“Kau masih hidup, nak. Itulah bukti
kau dicintai. Dan kami di sini juga bukti kalau kau dicintai Tuhan.”
“Sesederhana itukah mencintai.
Begitu mudahnya. Berarti istri saya tidak dicintai Tuhan sehingga mereka harus
mati dengan tragis. Apakah Tuhan ingin kami bercerai? Tentu, itu bukan
urusan-Nya.”
Tuan
pastor berusaha menjelaskan tetapi segera dicegatnya. Ia melangkahkan kakinya
menuju pintu, dan sejurus kemudian menoleh,
“Saya ingin mencintai Tuhan sama
seperti saya mencintai istri saya, supaya kalau Dia juga mati, timbul kepercayaan
dalam diri saya.
Dia ada dan saya percaya, “katanya
sambil menepuk-nepukan kepalan tangannya di
dada,”
Melalui
pintu, Paul keluar.
Dan
sebulan kemudian ia masuk dalam wujud yang lain.
Di
hadapan wujud yang lain itu, Tuan Pastor berkotbah: karena
cinta kita bercerai dan karena cinta pula kita dipersatukan.
Ledalero, 2014
Sumber: Majalah
Cakrawala NTT edisi 45
0 Comments