Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

SENDRATARI LIKURAI & SEKOLAH KEMATIAN


Refleksi Ringan dari Novel “Likurai untuk Sang Mempelai”



Rian Seong, S. Pd., MM.

Presiden Komunitas Secangkir Kopi (KSK) Kupang

 

“Noy, kita akan segera mendirikan Sekolah Kehidupan itu. Sekolah Kehidupan Likurai. Sekolah bagi anak-anak Malaka.”

 

Saya mempunyai hobi yang aneh. Selalu menonton film kesukaan minimal dua kali. Kebanyakan orang satu kali saja. Itu mereka sudah paham. Atau lekas paham. Atau paksa untuk paham. Hobi yang aneh ini juga berlaku untuk kesukaan-kesukaan lainnya. Semisal membaca buku, entah novel, puisi, cerita, majalah, koran, dan lain sebagainya. Ini juga tentunya berlaku untuk kesukaan mendengarkan lagu. Tentunya ini bukan berlaku untuk saya saja. Semua kita yang sempat membaca tulisan ini tentunya sepaham dan sependapat. Mengapa? Tentunya itu akan membawa banyak manfaat. Selain sebagai media hiburan, lagu juga punya banyak pesan yang bisa menginterpretasi setiap kebutuhan kita, baik kebutuhan social, politik, ekonomi, sampai pada kebutuhan (keutuhan) spiritual.

 

Selepas petang hari ini, ketika membaca kembali novel “Likurai Untuk Sang Mempelai” (dan “Seperti Benenai, Cintaku Terus Mengalir Untukmu”) karya Robert Fahik, sastrawan ‘’A Minor” yang selalu bergerak dalam kesunyian itu, saya menemukan kembali beberapa interpretasi untuk mencoba mulai “mengaransemen” kembali refleksi saya tentang novel ini. Hal ini pun tidak sama dengan kesukaan-kesukaan saya di atas tadi. Ketika kesukaan saya mengaransemen sebuah lagu, saya tidak akan pernah suka pada aransemen yang sudah dibuat. Walau kata orang itu bagus, indah, haru, keren, mantap, apalah, entahlah.

 

Sendratari Likurai & Sekolah Kematian

 

Tidak pernah terlintas tentunya, orang-orang, pemerintah, masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh politik, saya, anda, kamu, kita, untuk mempunyai ide menamakan sebuah lembaga pendidikan dengan nama Sekolah Kematian A misalnya. Atau Sekolah Kematian C. Atau sekolah Kematian Pisang. Atau pun lainnya. Secara rasa, pasti kita “geli” berbicara kematian, apalagi merencanakannya, atau pun merindukannya.


 

Dalam novel yang “merdu” ini, R. Fahik mencoba menjadi seorang Produser Sendratari yang memilih frasa Likurai sebagai judul “karya pementasannya”. Sebuah karya yang sukses menyuguhkan durasi pementasan sepanjang 115 halaman. Berusaha membisik kuat ke segala hati untuk segera melihat pementasan yang berlatar sawah, sungai, laut, hutan, langit, air, mata air, air mata, dan juga budaya estetik Malaka. Indah. Merdu. Lirih. Tenang. Senang.

 

Sebuah suguhan Sendaratari tentunya bukan main proses pengerjannya. Seorang produser harus jeli melihat pesan apa di balik karyanya. Ia mesti menggarap naskahnya, tentunya dengan membaca berbagai literatur atau sumber sejarah, budaya, alam, geografi, hingga kebudayaannya. Setelah membaca, ia mesti berani melakukan satu interpretasi baru yang tentunya tidak akan hilang pemaknaan aslinya. Ia juga berani menjadi koreografer, sekurang-kurangnya memilih para koreografer yang paham budaya dan adat istiadat setempat. Ia mesti memahami tiap karakter para penari, agar dapat memberi masukan kepada koreografer, ataupun evaluasi akhir setelah latihan bahkan pementasan. Ia juga mesti pandai merancang suasana musik apa yang mesti dibunyikan untuk menemani proses pementasan karya tersebut. Musik, tari, panggung, lampoon property yang juga harus “mampu berdialog” sesuai amanat sebuah sajian Sendaratari.

 

Sebagian proses di atas telah dilalui oleh R. Fahik. Ia memilih judul pementasannya, “Likurai”. Sebuah karya seni dan budaya Malaka, dalam wujud tarian mistik dengan bunyian Biblikiu, ditemani denting ritme bunyi musik “homofon” yang mungkin berasal dari nyanyian para leluhur di Uma Kakaluk yang tentunya selalu menawarkan musik-musik mistik penuh kedamaian. Dentingan ritme itu sesungguhnya yang menjadi pemimpin dalam tarian Likurai itu, yakni bagaimana para penari satu rasa dalam Solfegio; yakni mendengar, memahami, dan memadukan bunyi-bunyian dengan kompak.

 

“Noy, kita akan segera mendirikan Sekolah Kehidupan itu. Sekolah Kehidupan Likurai. Sekolah bagi anak-anak Malaka.”

 

Dalam pesan reflektif yang tersirat atau pun tersurat dalam novel ini, jelas membentuk satu sudut runcing, bahwa R. Fahik, Aku, Noy, Nahak, Akeu, Seran, Bakri, Paulus, Intan, saya, kau, kamu, kita, mereka, dan pemerintah, dan politisi, dan pastor, dan pendeta, dan ustad, tentu akan sepaham dan sepakat bahwa sebuah Sekolah Kehidupan mesti harus ada di tengah masyarakat. Sekolah Kehidupan yang tanpa atap, tanpa dinding, tanpa meja, tanpa papan tulis, tanpa bendera, yang ada hanyalah keindahan, kebaikan – bonum commune, keceriaan, kecintaan, dan ketulusan untuk membangun tujuan bersama.

 

Sekolah Kehidupan Likurai yang didambakan oleh tokoh Aku dan Noy ternyata menimbulkan tantangan di kemudian hari. Hal ini pun senada dengan kisah-kisah intimidasi yang dialami tokoh Aku, bahwa tak perlu gagah-gagahan ke sana kemari untuk bikin kebaikan. Toh calon pemimpin Malaka sudah ada. Untuk apa sibuk atau mau cari sensasi?

 

Alur kisah intimidasi ini senada dengan pengalaman saya ketika dalam satu kesempatan, bersama Komunitas Secangkir Kopi Kupang melakukan tour literasi pendidikan ke salah satu daerah di Malaka, Oevetnai. Saat itu ada kasus pemerintah daerah ingin menutup sebuah sekolah yang ketahuan seorang guru SM3-T mengunggah foto anak-anak SD memperbaiki atap sekolah mereka yang bocor dengan daun Gewang. Dan kami saat itu, anggota komunitas ingin melakukan perjalanan Sekolah Kehidupan. Apa yang kami dapat? Intimidasi, intervensi, dan nyaris nyawa taruhannya apabila kami melawan atau ada yang “menunggangi kami”. Dan akhirnya kami bermalam di sebuah Pos Polsek yang katanya mau mengamankan kami. Padahal itu masih bagian dari intimidasi dan intervensi.

 

“Kabar anginnya”, mereka-mereka itu, orang-orang yang lakukan intimidasi adalah suruhan orang-orang tertentu yang katanya adalah penguasa daerah itu. Entah penguasa itu pemerintah, atau kah pemain proyek, atau kah lawan politik, kami pun tidak tahu, dan tidak mau tau.

 

Ketika terus seperti ini, Sendratari Likurai dalam perjalanan Sekolah Kehidupan Likurai yang didambakan tokoh Aku dalam Novel ini tidak mungkin bisa “didirikan”. Bahkan, pilunya, sekolah-sekolah kehidupan itu akan berganti nama menjadi Sekolah Kematian Nurani. Gelap. Pilu. Sepi. Hitam.

 

Akhirnya, novel ini (dan dua novel lainnya) sebaiknya dibaca oleh pemimpin-pemimpin Malaka saat ini. Apalagi rakyat berhasil “mengalahkan” partai politik dalam PILKADA kemarin, dimana pemimpin baru telah lahir untuk Malaka; yang mungkin akan kembali menggunakan Badut Malaka untuk menerangi tiap kuburan kehidupan yang mati akibat Sekolah Kematian Nurani.

 

R. Fahik telah menawarkan segalanya dalam novel ini. Karya ini adalah sebuah sajian Sendratari yang mesti dipentaskan di tengah-tengah masyarakat Malaka, juga masyarakat lainnya di NTT, atau pun di daerah lain di Indonesia. Para pemimpin semisal di Manggarai, Ngada, Maumere, Lembata, Bandung, Jakarta, Pontianak, atau pun di daerah lainnya bisa mengambil strategi membangun daerah dari perspektif novel ini. 


Akhirnya, tak ada yang kebetulan di atas muka bumi ini. Mari kita terus berjuang bersama, sampai puisi kehilangan bunyi dan musik kehilangan kata. 


Foto: Dokumentasi Redaksi

Editor: R. Fahik/ red

Post a Comment

1 Comments