Oleh: Paulinus Sukur, S.Pd
Kepala
SMAN 1 Waikabubak, Sumba Barat
Tulisan
ini saya awali dengan menyapa, salam sejahtera dan salam sehat buat kita semua.
Semoga kita senantiasa dilindungi Yang Maha Kuasa dan tidak kurang apapun.
Beberapa
hari terakhir pasca-kunjungan kerja Presiden Joko Widodo di dua kabupaten di
Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu Kabupaten Sumba Tengah dan Kabupaten Sikka
pada tanggal 23/02/2021, berseliweran komentar atau pendapat dan bahkan ocehan
di beranda Facebook, Instagram, Twitter dan bahkan media cetak yang intinya
menyoroti "kerumunan" pada kunjungan tersebut. Tidak sedikit komentar
bernada miring dan sinis, misalnya kunjungan tersebut tidak melaksanakan atau
menaati protokol kesehatan (prokes). Lebih jauh lagi mereka membandingkan
kejadian tersebut dengan peristiwa di Petamburan-Jakarta dan Megamendung-Bogor
yang berujung pada pencopotan dua Kapolres (Jakarta Pusat dan Bogor) serta
penonaktifan dua Kapolda yaitu Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jawa Barat.
Kelompok ini melihat dari sisi keadilan sehinggga terhadap Kapolda NTT dan dua
Kapolres di dua kabupaten tersebut harus dilakukan hal yang sama.
Namun
banyak juga komentar yang intinya tidak melihat kejadian itu sebagai peristiwa
yang melanggar prokes dengan alasan bahwa hal tersebut merupakan bukti
kerinduan rakyat yang besar terhadap pemimpin negaranya yang terus berjuang
bersama rakyat dengan tekat agar segera keluar dari garis kemiskinan. Lalu
bagaimana fakta yang terjadi sesungguhnya?
Selasa,
23/02/2021 Pesawat Kepresidenan RI 1 yang mengangkut Presiden dan rombongan take off dari Halim Perdanakusuma dan
mendarat dengan selamat di bandara Tambolaka Kabupaten Sumba Barat Daya. Alam
sandelwood rupanya sungguh bersahabat dengan jam kedatangan sang Presiden pagi
itu. Cuaca cerah sedikit dibaluti awan putih, Presiden turun dan sebagaimana
kebiasaan protokoler kenegaraan, beliau disambut Gubernur NTT, Pangdam IX
Udayana, Kapolda NTT serta sejumlah pejabat provinsi dan kabupaten terutama di
Sumba.
Setelah
disampaikan ucapan selamat datang oleh tuan rumah, rombongan RI 1 selanjutnya
bergerak menuju lokasi yang dituju dengan menggunakan mobil plat merah RI 1 dan
sejumlah kendaraan iring-iringan Presiden. Rupanya kedatangan orang nomor 1 di
Indonesia ini sudah diketahui oleh masyarakat Sumba khususnya Sumba Barat Daya,
Sumba Barat dan Sumba Tengah. Buktinya, sekeluarnya dari bandara Tambolaka,
masyarakat tumpah ruah di sepanjang jalan negara (Waitabula-Anakalang) berdiri
di kiri kanan jalan untuk melihat Sang Presiden dari jarak dekat. Maklum,
sebelumnya hanya melihat Presiden melalui layar televisi. Alhasil, sepanjang
jalan, konvoi sang RI 1 tidak mulus oleh karena diminta oleh masyarakat untuk
berhenti hanya mau melihat wajah Presiden dari dekat dan mau swafoto.
Niatan
itu tidak kesampaian karena Presiden dan Paspampres sungguh menyadari kalau
pandemi covid-19 sedang melanda bangsa sehingga harus tetap jaga jarak. Imbauan
untuk menjaga jarak rupanya tidak digubris oleh masyarakat, hanya satu yang ada
dalam benak mereka yaitu kerinduan untuk bertemu sang Presiden yang selama ini
sangat dirindukan dan bisa jadi tidak datang lagi sampai akhir masa
kepemimpinannya di tahun 2024.
Lanjut
cerita, sampai di Waikabubak, rombongan Presiden terpaksa terhenti, lagi-lagi
karena kerinduan rakyat Sumba Barat melihat wajah putih bersahaja Sang Presiden
(pengakuan salah satu warga Sumba Barat). Tampak Bapak Joko Widodo melambaikan
tangan dari dalam mobilnya sembari melemparkan senyuman walau tertutup masker.
Tak lama setelah itu, iring-iringan Presiden melanjutkan konvoi menuju Kabupaten
Sumba Tengah untuk meresmikan lahan Food
Estate di kabupaten tersebut.
Hujan
lebat menyambutnya di sana. Tak lama berselang, seremoni pun dilakukan. Di
tengah guyuran hujan, Presiden dengan berpayung, meninjau hamparan Food Estate di lokasi tersebut dan para
petani rela kehujanan hanya karena ingin bertemu dan menghampiri Presiden meski
dihalau oleh Paspampres. Ada kisah menarik di tempat ini, dimana salah satu
anggota TNI tertinggal sepasang sepatunya dalam lumpur sawah saat mengamankan
kunjungan Bapak Presiden. Setelah meresmikan lokasi Food Estate ini, Presiden melanjutkan kunjungan kerja ke Maumere, Sikka
melalui bandara Tambolaka untuk meresmikan bendungan Napun Gete.
Dari
rangkaian peristiwa di atas, sebagian
orang hanya menyoroti soal kerumunan. Substansinya tidak lihat secara jujur dan
komperhensif. Kunjungan kerja Presiden Joko Widodo di NTT adalah bukti
keseriusan beliau untuk memastikan semua program kerjanya tersampai dan
terserap di masyarakat. Tidak hanya mendengar berita atau informasi dari para
menterinya. Pertanyaannya, siapa yang disalahkan terkait kerumunan di sana? Presiden?
Gubernur? Bupati? Polisi? Hemat penulis, tidak.
Lalu
kenapa dibandingkan dengan kejadian di Petamburan dan Megamendung. Di sana,
masyarakat diundang dan sengaja dikumpulkan. Sedangkan di NTT, timbul dari
niatan tulus warga. Begitu rindunya warga terhadap seorang Joko Widodo yang
identik dengan kesederhanaan. Beliau
adalah figur yang sangat merakyat dan berasal dari rakyat jelata.
Intinya soal perasaan hati yang harus diekspresikan dan puas bila bertemu.
Kehadiran
Bapak Presiden, seperti merindukan air di tengah padang pasir. Saking besarnya
keinginan untuk melihat Presiden dari dekat, sepeda motor Paspampres dan satu
anggota Paspampres jatuh akibat berdesakan untuk bertemu (bisa jadi ini
kejadian pertama sepeda motor dan Paspampres jatuh didorong massa). Apa mereka
salah? Sekali lagi tidak! Mereka mau menjawab kerinduannya. Bagi mereka, Jokowi
adalah NTT dan NTT adalah Jokowi. Bagaimana tidak, selama 7 tahun memimpin
Indonesia, sudah berulang kali beliau menyambangi NTT. Artinya, begitu besar
perhatiannya terhadap Nusa Tenggara Timur dengan berbagai kebijakan anggaran
yang fantastis.
Rasa
syukur rakyat NTT sangat besar sehingga begitu beliau mengunjungi belahan bumi
Flobamora, antusiasme itu datang dengan sendirinya. Program-program Presiden
yang diarahkan ke NTT yang nota bene adalah provinsi yang lama diabaikan dan
kini diperhatikan secara serius. Jadi, kunjungan kerja Presiden ke NTT dan
disambut oleh rakyatnya ibarat oase di tengah padang gurun.
Foto:
Dokumetasi Redaksi
Editor: R. Fahik/red
0 Comments