MASIH PERLUKAH ANAK NTT KE SEKOLAH?
(Dunia Pendidikan Jelang New
Normal)
Oleh : Gusty Rikarno, S.Fil
Jurnalis Media Pendidikan
Cakrawala NTT
Saya baru selesai berbicara.
Pegawai perusahaan telkomsel (indihome) khususnya dari bagian marketing memberi
kabar. Permintaanku untuk memasang perangkat wife di rumah dikabulkan dengan
syarat. Pertama, saya harus bersabar. Di masa pandemi begini, petugas lapangan
keteteran melayani banyaknya permintaaan yang sama dari masyarakat. Waktunya
belum pasti. Intinya, saya diminta bersabar entah sampai kapan. Kedua, saya
diminta untuk “mengerti”. Orang lapangan butuh sedikit pengertian dari
kelebihan keringat yang mereka keluarkan. “Sebagai orang lapangan, saya sangat
yakin Pak Gusty mengerti dengan mereka. Silahkan komunikasi dan atur sedikit
uang rokok dan sirih pinang mereka. Mereka tidak tentukan angkanya. Silahkan
kakak atur sesuai kemampuan”, pinta Adelia, marketing indihome itu datar.
Saya orang lapangan dan tidak
mengerti dengan hal begitu. Namun untuk sebuah nilai kebutuhan (kepentingan),
maka saya menyangupinya. Tanpa sadar saya bertanya lagi, kira-kira kapan tiang
kabel itu diantar dan ditanam. Sekali lagi, Adelia mengulangi syarat di nomor
satu itu. Memintaku bersabar. Saya segera memotong pembicaannya saat hendak
mengulangi lagi syarat nomor dua. Begitulah saya di akhir-akhir ini. Selalu
saja bertemu dan berinteraksi dengan orang yang tidak biasa yang kadang tidak
rasional dan profesional. Tidak lama berselang saat hendak meraih handuk menuju
kamar mandi, handphon-ku kembali berdering. Untuk sesaat kubiarkan saja.
Bayangan wajah dan suara Adelia masih membekas. Bisa saja ia ingin menegaskan
kembali syarat point nomor dua. Untuk kedua kalinya, handphon android bermerek
oppo itu bordering. Pada layarnya tertulis jelas nama seseorang dari stasiun
TVRI Kupang. Ia menanyakan kabarku sebelum mengutarakan maksudnya. Mungkin
sekadar memastikan saya sehat dan belum terserang virus corona. Ia memintaku
untuk berbicara di TVRI sebagai pemerhati pendidikan. Katanya, Kadis Pendidikan
Provinsi NTT juga turut diundang. Temanya tunggal. Dunia Pendidikan Jelang “new
Normal”.
Saya langsung meng-iyakanya.
Hitung-hitung untuk mengubur rasa kecewa dengan dua syarat dari marketing
indihome itu. Benar. Di masa pandemi covid 19 ini, kebutuhan terhadap informasi
sangat terasa. Jujur, saya jenuh dan sedikit alergi dengan pemberitaan dari
berbagai chanel televisi. Semuanya menyiarkan kabar yang membuat batin
tersiksa. Padahala sudah lama saya menunggu ada pemberitaan atau semacam
testimoni mantan pasien corona untuk berbagi kisah perjuangan hingga akhirnya
dinyatakan sembuh. Yah, masyarakat butuh rasa nyaman dan optimis. Bayangkan.
Pemberitaan tentang lubang kubur yang digali melebihi jumlah pasien corona yang
sementara dirawat. Serem kan? Seakan ada kepastian bahwa pasien corona itu
meninggal dan menunggu giliran untuk kita yang lain. Sudahlah. Lebih baik, saya
membaca kisah inspiratif atau menonton film yang memberi rasa bangga dan
optimism. Namun semua itu hanya bisa didapat melalui jaringan internet (wife).
Saat ini, jika mau hemat gunakan indihome. Hemat, efektif dan memuaskan.
Komplit. Hmmm, mengertilah kita mengapa saya harus rela meng-iyakan syarat
nomor dua dari Adelia, si marketing itu.
---------------------------------------------
Tidak bermaksud membuat kalian
iri, hadir dan berbicara di studio TVRI, untuk saya bukanlah hal baru. Toh,
biasa saja. Duduk dengan santai, tatap host-nya dan jangan lupa mengangkat muka
melihat kamera yang memang disediakan khusus untukmu. Itu saja. Berbicaralah
dan jangan terkesan kaku dan tidak mengerti persoalan. Satu hal lagi. Usahakan
untuk menghidari perdebatan sesama narasumber. Beda ceritanya, jika memang
diundang ke studio untuk berdebat.
Ruangan studio TVRI sangat
sederhana jika tidak mau dibilang memprihatinkan, Disebelahnya berdiri megah
gedung berlantai tiga, tempat pimpinan dan stafnya bekerja. Gambar dan suara
yang muncul di layar hanyalah permainan warna dan cahaya. Aslinya, studio itu
sangatlah sederhana. Tidak ada yang mampu mengenakkan mata jika berada di
dalamnya. Kita (narasumber) sedikit dihibur dengan kehadiran beberapa orang
staf perempuan yang cantik, manis dan seksi. Jika kemudian mereka juga merasa
dan menilai pematerinya kaku, tidak menguasai materi dan (maaf) muka buruk,
saya sangat yakin mereka juga tidak ingin berlama-lama berada di studio itu.
Begini dan begitulah yang terjadi.
Hmmmm, syukurlah saat ini tema
yang diusung cukup segar dan aktual. Dunia pendidikan jelang “new normal”. Saya
sangat antusias. Pihak dinas pendidikan dihadiri oleh seorang Adelino Soares
yang hemat saya, mampu membahasakan teks pada konteks (situasi) siaran langsung
begini. Beberapa lembar teks dipegang hanya sebagai rujukan untuk berbicara.
Dalam hal ini, ia sungguh menguasai persoalan dan mengerti apa solusi terbaik
yang ditawarkan. Semisal bagaimana langkah strategis pemerintah yang dalam hal
ini dinas pendidikan Provinsi NTT di saat new normal di sekolah. Ada beberapa
protokol kesehatan yang sudah dirancang pihak dinas mulai dari protokol
kesehatan saat anak menuju ke sekolah, saat tiba di sekolah, saat berada di
sekolah dan saat meninggalkan sekolah. Selain itu ada protokol sarana dan prasarana
kesehatan yang disiapkan pihak sekolah. Pointnya, dinas pendidikan sudah sangat
siap termasuk jam belajar anak dan strategi belajar yang dipakai. Akan ada
pemberlakuan pembelajaran shift dan silang. Dengan demikian, sebenarnya pihak
dinas pendidikan sudah, sedang dan akan meminimalisir resiko dan kecemasan
(keraguan) masyarakat khususnya orangtua murid.
Saya menarik nafas lebih dalam
saat hendak berbicara. Tugasku adalah menjawab pertanyaan dari host tentang
pandangan atau komentar saya selaku pemerhati pendidikan terhadap situasi ini.
Benarkan masyarakat dan pemerintah sudah siap menghadapi “new normal” di bidang
pendidikan? Ataukah situasi dan kondisi terkini NTT belum stabil dan tidak siap
menghadapinya? Jujur saya berbicara. Jika ditanya apakah siap, jawabanya
tunggal. NTT belum siap tetapi harus siap. Ada kondisi riil yang terjadi di
mana virus corona ini masih ada dan data menunjukan penambahan jumlah pasien
cukup signifikan. Tetapi apakah situasi itu membuat kita patah arang,
kehilangan kendali dan menyerah pada situasi? Tentu tidak. Kita butuh sedikit
energi lebih untuk menghadapi situasi ini. Ada sikap waspada, teliti dan
disiplin mengikuti protokol kesehatan tetapi tidak boleh takut atau cemas
berlebihan. Yah, masyarakat di ini NTT butuh alat pelindung diri sekaligus iman
yang membara dan imun yang stabil. Walau demikian, kondisi new normal ini,
janganlah diberlakukan untuk anak TK dan SD juga para guru yang sakit-sakitan
dan hendak pensiun. Mereka butuh sedikit waktu untuk menyesuaikan diri karena
keterbatan kemampuan berpikir dan stok imun yang kian menipis.
Kami tersenyum saja, saat ada
yang menanyakan tentang ketidaksesuaian protokol kesehatan yang dirancang dinas
pendidikan dengan situasi riil yang ada di NTT. Semisal, belajar dalam jaringan
yang menuai kendala seperti kekurangan biaya membeli paket data, jaringan
internet yang “lelet”, ketiadaan fasilitas hp android dan sebagainya. Tiba-tiba
host memintaku menanggapinya. Begitulah kalau di depan layar. Host adalah
segalanya. Narasumber “diobok-obok” dan dianggap mengetahui semua hal.
Tiba-tiba saya mengingat sebuah narasi yang ditulis seorang sahabat sekaligus
guru di SMAN 4 Kupang. Dia adalah Riang Seong, S,Pd, MM. Menurutnya, belajar di
masa sulit ini adalah seni meramu kenyataan, narasi dan hasil yang diharapkan.
Di saat begini, penilaian untuk
seorang siswa, jangan lagi berpotak pada standar baku yang disiapkan. Utamakan
karakternya. Dengan demikian, kreatifitas, inovasi, daya juang, kemampuan
berkomunikasi dan sebagainya dinilai dan harus diprioritaskan. Semisal seorang
anak tidak ke sekolah tetapi ia menyibukkan diri untuk menyiram sayur,
membersihkan kandang babi dan belajar bermain gitar. Berilah point karena ia
sudah belajar bagimana nantinya ia berusaha untuk mendapatkan koin.
Masih banyak hal yang harus
dibiacarakan dan begitu banyak masyarakat yang mau bertanya. Begitulah di
studio televisi. Waktu sudah diatur sedemikian ketat. Ceritanya bakal beda,
kalau tema ini didiskusikan di pondokku. Bakal seru dan terkupas tuntas walau memakan
waktu berjam-jam. Pendidikan jelang “new normal” sungguh menelan energi. Ada
resiko atau situasi lain yang dipikirkan. Namun menurut saya, jauh lebih rumit
membayangkan syarat nomor dua pengusulan pemasangan tiang indihome itu.
Bayangkan, kita diminta untuk mengerti dan dengan “paksa” mempercayakan angka
atau nominal uang pengertian itu. Bagaimana kalau nominalnya berada di bawah
standar pengertian orang lapangan pemasang tiang itu? Jika itu yang terjadi,
untuk apa menyibukkan diri sekolah? Mari kita saling mengerti saja dan selesai.
Provinsi ini atau mungkin
Indonesia lazim mengadapi situasi dan manusia yang pikirannya sulit
diprediksi. Virus corona masih bisa dideteksi dengan rapit/swab test. Kalau
virus itu meracuni pikiran? Saya pastikan, masyarakat bekerja dengan berbagai
syarat bahkan ketidakpastian. Mungkin itulah alasan pentingnya pendidikan.
Tidak untuk serta-merta menghilang virus pikiran yang bisa disebut bodoh
(goblok), minimal menguranginya. Maka yang diharapkan untuk tetap hidup adalah
mereka yang masih bisa berpikir sendiri. Jika tidak, ia pasti tetap menanti
jaringan wife (indihome) agar menjawab seluruh pertanyaan sekaligus menutupi
kebodohannya oleh “om geogle”. So, selamat memasuki masa “new normal” untuk
para guru (dosen) dan siswa/i (mahasiswa) di ini NTT. Salam sehat untuk kita
semua.
Salam Cakrawala, Salam Literasi
…
0 Comments