RP. Ovan, O.Carm Kepala SMPK Alvarez Paga |
Ibuku, seorang penenun. Suatu sore, senja sedang menari
riang di barat. “Siapa namamu?” Tanya seorang lelaki kepada tubunya yang sedang
bermain di bawah siluet senja. Aku tak ingin menjawab pertanyaanmu. Satu dari
sekian banyak alasannya ialah karena kau telah mengganggu kebahagiaanku.
“Tidak-kah kau lihat, betapa tawaku bercinta dengan senja
dan oleh karena tanyamu, kau mencurinya dari kegirangan yang baru saja ingin
menghapus berbagai penat dari segala rasa yang jatuh – luluh – lantak – dikibar aroma keringat dan daki pada kerak-kerak
bajuku,” kata anak
itu.
Ibuku seorang penenun. Di teras, lonceng yang saban hari bertalu semenjak ayahku
mengenakan bolpoin dan buku-buku tulis yang kakekku pernah bercanda tentangnya
bahwa lonceng itu telah uban persis seusia kakekmu ini, Nak. Aku mengelak,
canda kakekku.
Kataku, “Tidak
kek, lonceng itu baru seusiaku.” Bukankah, aku tahu lonceng itu bernama lonceng
ketika seluruh tubuhku menyadari bahwa itu lonceng dan hal itu terjadi ketika
aku mulai mengenakan seragam merah – putih ini.
“Nak, bangun. Sudah jam enam pagi. Jangan sampai kamu
telat ke sekolah,” panggil
ibuku dari depan pintu kamarku yang berukuran sekitar dua kali tiga dengan
lapisan-lapisan halar pada dinding yang mulai diraup rayap-rayap nakal nun
centil.
Seperti biasa dengan bercerita pada rutinitasku, aku
membasuh seperlunya tubuhku, mengenakan pakaian kebanggaanku, mengambil satu
dua buku yang tak tahu berisi catatan-catatan ngawur, kupoles sedikit tubuhku biar terlihat lebih keren dan gaul.
Mengucapkan selamat pagi pada ibu sambil berjabatan tangan memberi salam,
sebelum berangkat ke sekolah. “Bu, saya berangkat ke sekolah dulu,” ucapnya
dengan lembut.
Hari ini, hari Senin. Merah - putih membungkus tubuhku. Dipadukan dengan warna hitam
pada alas kakiku dengan putih yang membungkus hangat jemari-jemari kakiku
hingga tumit pun jadi riang diselimuti kaus kaki. Pak Thomas, seorang pegawai
sekolah kami. Terlihat sedang mengamati satu per satu jarum jam di tangannya.
Menghitung maju dengan besi yang berukuran 5 cm di genggam tangannya. Lima,
empat, tiga, dua dan teng…teng…teng…teng…
jawaban manis yang bertalu itu berhamburan memadati halaman sekolah yang
luas bak lapangan sepak bola di ibu kota kecamatan kami, hehehehe…..
Ibuku seorang penenun. Pada teriknya senduh, di bawah tiang tinggi, ratusan anak
mengamati mimpinya yang diterjang angin mengibar bendera merah putih dengan
sigap memberi hormat, dengan siap tunduk mengheningkan cipta. Ibuku sedang
menggantungkan benangnya pada jarum-jarum kecil, berhenti menyulam satu per
satu helai baju yang ingin dan akan ditambal sambil memberi hormat yang sama
dari depan teras rumah kami.
Ibuku seorang penenun. Tat kala, dua kali kaki dari ratusan tubuh yang
berjingkrak naik – turun tangan sambil yang lain berdiam menatap sejarah yang
berkibar, yang lainnya berlari tanpa beban. Dan aku, dari ruangan kelasku
menatap tiang bendera itu tajam, berkhayal dalam cerita-cerita sejarah yang
bersinar di dada, membusungkan dada menggantungkan harapan dengan harapan cita-cita
itu terpenuhi dalam tekun.
****
Ibuku seorang penenun. Baru saja, ingin mengatakan siapa hari Senin nanti yang
menjadi pengibar bendera. Ruangan kelas jadi kacau – gadu – ribut – suara
teriak antara senang – sedih – haru – polos – dan tidak tahu apa-apa membiarkan
ribuan euforia terbentang dalam
pameran senyum-senyum gigi yang lupa disikat.
Ibu Marry, kepala sekolah Kami, mengumumkan dengan resmi
perihal liburan tanpa tanggal merah pun tanpa batasan hingga waktu yang belum ditentukan. Meskipun demikian, kegiatan belajar mengajar
tetap terjadi melalui online maupun
dengan berbagai cara seturut guru pelajaran masing-masing. Berbagai mulut
berkata dengan satu pertanyaan polos “Bu, mengapa kami diliburkan?”
Penjelasan panjang lebar keluar begitu saja dengan cepat,
lantang, padat dan jelas dari mulut berlipstik merah pada bibir si Ibu Merry.
Dan dari sekian banyak ucapannya itu dan atas keheninggan tanpa isyarat yang
teringat dalam otakku hanyalah satu kata Covid-19.
Beberapa waktu lalu, ibuku pernah bilang, “Nak, hati-hati
saat bermain di luar rumah pun di sekolah usahakan untuk tetap jaga jarak dan
usahakn untuk selalu mencuci tangan. Ibu hanya ingin kita berjaga-jaga dari
wabah Covid-19.” Dan untuk kesekian kalinya lagi kudengar kata itu berkeliaran
di telingaku.
Ibuku seorang penenun. “Bagaimana belajarmu hari ini, Nak,” tanya ibu.
“Ah ibu, aku pusing dengan kegiatan belajar seperti ini.
Tugas banyak dan banyak pula bahan yang perlu dipelajari tanpa penjelasan,” jawabku dengan nada sedikit manja.”
Ibuku dahulu hanya tamatan SMA. Meskipun demikian, bagiku ia termasuk
orang yang cerdas dan pandai. Dan dalam berbagai kebingunganku, ibuku selalu
menemaniku dalam menyelesaikan tugas melalui proses layaknya seorang guru
bergelar sarjana pendidikan. Kadang, ibuku selalu menasehati diriku untuk tidak
kelewatan waktu bermain, dan pada masa-masa seperti ini, ibuku lebih begitu, sering memberi arahan dan menemaniku dalam setiap tugas
dan permainan. Kehadiran ibu dari waktu ke waktu begitu syarat kerinduan yang
tak sempat dipikirkan. Bahkan ibu sering mengatakan, “Nak, ternyata kau sudah dewasa dan pintar. Ibu baru
sadar betapa dewasanya kamu saat ini.” Waktu itu aku baru duduk di bangku kelas V SD.
Kehadiran ibu dalam segala kesulitan memberi ruang proses
perkembangan pun ketekunan dan semangat atas niat ingin tahu semakin terasah.
Asa demi asa mulai muncul satu per satu. Beriringan tugas demi tugas satu per
satu mulai terselesaikan.
Ibuku seorang penenun. Kau tahu mengapa ibu seorang penenun? Sederhana saja,
karena ibuku adalah guru yang meramuh waktu, memintal kata dan menenun mimpi
agar sedapat mungkin membingkis puisi dalam doa indah. Kau tahu mengapa aku tak
menjawab pertanyaanmu “siapa namamu?”. Namaku adalah tiang bendera yang kau tatap setiap pagi dari
rumahmu.
Ibuku seorang penenun. Hari ini hari Senin dan kita memperingati Hari Pendidikan
Nasional. Lonceng Pak Thomas, mati dalam bendanya yang pasrah. Ia berdering,
diam – sunyi – hampa dan terdengar bekas-bekas pagi dalam desiran air embun
yang jatuh di atas atap rumah.
Selamat memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).
Covid-19 sebuah doa agar lekas hengkang dan pergi dengan damai.
Bukankah, kau rindu pada lonceng Pak Thomas pun pada
halaman tempat kita sigap memberi hormat. Ibuku seorang penenun dan kau tiang bendera itu.
0 Comments