Gambar: www.google.com |
Hidup
Ini adalah tentang seni menikmati. Di pukul dua dini hari begini, duduklah
sebentar. Mungkin seperti begini. Ambil laptop-mu dan mulailah menulis. Rasakan
saja. Di luar rumah angin terdengar bertiup kencang dan sesekali datang
menyentuh hatimu. Nikmati saja. Ada seribu suara yang datang dan pergi. Dari
kejauhan terdengar deru bunyi kendaraan bermotor, suara jangkrik di sudut rumah
dan detakan jarum jam dinding dalam nada dan irama. Ada kesunyian semesta yang
menyadarkan kita tentang hidup dan kehidupan.
Di
sore tadi, ada tetangga datang berkunjung. Kami selalu memilih teras rumah,
untuk bercerita tentang banyak hal. Topik utama akhirnya tentang kami,
kehidupan bertetangga dan fakta sosial. Ada ruas jalan sempit yang harus
dilebarkan. Butuh sedikit waktu, energi dan strategi mendekati tetangga yang
belum rela memberikan sejengkal tanahnya untuk jalan umum. Bunyi-bunyian
sejenis musik yang harus dikecilkan karena ada yang lebih senang sendiri dalam
diam ketimbang mendengar lagu-lagu cinta. Ada kata maaf dan permisi yang harus
disampaikan di bawah empat mata. Ada canda yang harus dibatasi. Begitulah
seterusnya hingga semuanya terasa nikmat.
Ia
(sang tetangga) bercerita tentang kejadian yang baru saja terjadi. Dua kelompok
/perkumpulan perguruan bela diri saling menyerang. Sedih. Ada yang meninggal
dan beberapa orang lainnya menderita luka-luka. Tidak tahu siapa yang mulai
bermain api. Saya banyak mendengar. Katanya, kelompok ini selalu begitu. Saling
menyerang sebagai bentuk balas dendam. Tidak seperti dalam film kunfu Cina,
mereka beradu fisik secara langsung dan saling menguji ketangkasan dari
kemampuan bela diri yang mereka pelajari bertahun-tahun. Tidak untuk kedua
kelompok perguruan bela diri ini. Mereka justru mengunakan panah dan saling
menyerang mengunakan kayu dan batu. Kami terkekeh bersama ketika tahu, ia belum
pernah ke Tempat Kejadian Perkara (TKP) dan mengetahui baik titik persoalannya.
Saya tersenyum dan diam walau mengetahui banyak dari yang ia cerita. Jujur,
saya tidak tertarik meliput dan menulis peristiwa berdarah ini. Terkadang bodoh
harus dirayakan dengan cara demikian.
Satu
tema yang masih menggantung dan belum selesai dibahas adalah tentang “ayam
kampus”. Istilah “ayam kampus” adalah fakta sosial. Di sini, di Kota Kupang
ini. Ada perempuan yang menjalani peran sebagai tunasusila (pelacur) berstatus
mahasiswi. Resah dan gelisah adalah bagian dari cara kita menikmati hidup. Ada
angin yang mengempas bahkan memporak-porandakan nurani kita sebagai pendidik,
orang tua dan insan beriman (beragama). Fakta sosial yang miris bahkan jauh
lebih tragis dari cerita “saling serang” dua kelompok perguruan bela diri itu.
..............................................................
Kota
Kupang di malam minggu selalu begitu. Jika ingin bertahan dan mengamati lebih
dari sepuluh menit kamu bakal melihat belasan bahkan puluhan motor yang
melintas, lebih banyak pasangan muda. Ada jenis pelukkan yang mengyakini kita,
jika hubungan itu tidak dalam konteks saudara dan saudari. Jenis pelukan yang
erat (menempel) seperti itu, hanya untuk konteks dua insan yang sedang saling
merindu dan mencintai. Jika kamu tidak sedang berdiri dan mengamati dalam konteks menikmati peristiwa, bakal kamu
merasa terganggu dan sedikit “cemburu”. Ada satu sisi, kita merasa itu biasa-biasa
saja. Namanya anak muda bersama zamannya. Namun kamu bakal terperanjat jika
menghubungkan fakta lain dari cara peluk yang melengket dan tidak biasa itu.
Di
kota ini ada puluhan bahkan ratusan tempat Pijat Tradisional (Pitrad). Hanya
kamu bernaluri investigasi bakal tahu jika pekerja pitrad adalah wanita yang
sudah hampir tua dan atau anak muda yang putus sekolah. Mereka kadang berdandan
dan tampak cantik. Beberapa lainnya, tampil sangat profesional. Menyampaikan
standar harga dan minyak/cream yang digunakan. Mereka bekerja (pitrad) sesuai
batas waktu yang ditetapkan pemerintah. Tutup jam sepuluh malam. Mereka patuhi
itu. Ceritanya bakal berbeda saat kamu masuk dalam kamar (room). Ada jenis
pijat yang tidak biasa. Menekan dan menyentuh tempat-tempat yang mungkin tidak
seharusnya disentuh. Ada canda vulgar dan tatapan manja yang membingungkan. Di
akhir semua itu, ada tawaran yang menohok. Jika imanmu berkurang sesenti saja,
bakal kamu berdiam diri dan perlahan mengangguk setuju.
Kamu
tahu? Di tempat-tempat begini, ada perempuan muda yang putus sekolah. Anak-anak
kita di NTT ini. Mereka tidak trampil dalam hal memijat. Datang ke tempat
pitrad ini motivasinya satu. Mendapatkan uang. Itu saja. Tidak heran jika ia
langsung menawar. “Bagaimana kak, pijat atau tidur bareng. Kalau mau tidur
bareng, bayarannya Rp 400.000,- Tapi Kalau kaka ada bawa Rp 300.000, na tidak
apa-apa ju. Saya harus bayar kamar ju. Ada mami di depan yang selalu cek. Kami
harus beritahu, pijat atau tidur bareng. Kalau pijat Rp 150.000,-. Saya hanya
dapat Rp 50.000, sisanya untuk bayar kamar”. Seperti pos jaga, mereka
bergantian duduk di ruang tamu berukuran sedang itu. Ada semacam kesepakatan
untuk bergiliran agar tamu tidak dimonopoli oleh satu orang. Kamu tahu? Dari
bahasa tubuhnya, mereka sangat kecewa dan sedikit kesal jika hanya datang untuk
pijat tanpa adegan plus. Rupanya, mereka dapat bonus besar dari adegan di luar
ijin usaha yang diberikan pemerintah Kota Kupang.
Bercerita
begini, tetanggaku terlihat kaget. Dari sorot matanya ia berimajinasi liar.
Terkadang saya berpikir, apakah ia baru mendengar atau menegaskan apa yang
pernah dialaminya? Satu hal yang pasti, cerita ini masih berlanjut. Miris dan
tragis melampaui cerita saling serang dua kelompok perguruan bela diri itu.
Mari kembali bercerita tentang anak muda dalam zamanya yang berpeluk erat dan
menempel di atas kendaraan bermotor. Di sudut timur kota Kupang, berdiri
beberapa hotel yang nampak biasa. Ada pernjaga (satpam) dan resepsionis.
Sesekali sang satpam bekerja ganda sebagai resepsionis. Bercerita santai dan
bertanya sekenanya adalah caraku ber-investigasi. Ada cara pendekatan yang
harus dilalui. Ada rahasia yang bakal terbongkar begitu saja, saat menikmati
rokok dan bercanda santai. Pukul sembilan malam. Hotel itu nampak sepi. Ada
beberapa kamar dengan lampu bernyala namun tidak ada tanda ada penghuni di
dalamnya.
Seorang
lelaki muda datang mendekat. Ia tersenyum ramah. Ia memegang sebatang rokok dan
memintaku petek (korek api). Ia membiarkan asap rokonya mengepul sambil menebak
maksud kehadiranku di sudut halaman hotel ini. Kami bercerita sekenanya saja
sambil saling “menyelidiki”. “Kaka nginap di sini ko? Hotel ini begitu kaka.
Kadang sepi, kadang rame. Tapi di sini kita bisa dapat apa saja yang kita mau.
Aman kaka. Banyak orang dari Timor Leste dan Flores datang ke sini. Tapi
kebanyakan mereka tidak menginap. Mereka langsung pulang”, katanya santai tanpa
beban. Feeling-ku benar. Inilah orang tempatku menggali informasi. Saya duduk
mendekat. Menanyakan tentang gadis perempuan yang bisa “dipakai”. Ia tersenyum.
Memandangku sebentar dan berkata dalam bisik. “Kaka mau perempuan yang mana. Di
sini ada yang sudah putus sekolah dan ada juga “ayam kampus kaka”. Kalau yang
putus sekolah itu, biasanya Rp 250-300 ribu, satu kali “main”. Semua ada nomor
di saya. Saya biasa kontak sekarang dan mereka langsung datang. Ada satu yang
cantik sekali. Tapi ia tetapkan tarif 400 ribu kaka’.
Saya
mengambil rokok Sampoerna yang sudah disiapkan. Berdiri seakan sedang
menimbang-nimbang sambil menarik sebatang rokok. Kami terdiam sesaat dan
menikmati rokok dalam sunyi. Jam 10 malam. Sunyi. Saya menanyakan nama, asal
dan pekerjaanya. Akhirnya saya tahu, keseharianya bekerja sebagai ojek. Ia
selalu menghabiskan malamnya di tempat ini. Bernegosiasi untuk mendapatkan
bonus 50 ribu hingga seratus ribu dari tamu hotel. Begitulah ia mencari uang
walau megorbankan waktu istrahatnya. Ia tampak kurus dalam posisi badan “tidak
terurus baik”. Mungkin melihat masa pertimanganku terlalu lama, ia menawarkan
lagi. “Atau mngkin kaka mau “ayam kampus”. Mereka memang sedikit mahal kaka.
Mereka biasnya minta 400 – 500 ribu. Tapi bagus kaka. Mereka lebih senang di
kos saja. Jadi kalau kaka mau, saya hubungi dan saya antar sampe depan kos.
Nanti dia jemput. Yah ... anggap saja kaka seperti teman kampus atau
keluarganya. Biar teman kos yang lain tidak curiga to kaka. Biasanya mereka
pindah-pindah kos kaka. Tapi mereka tidak pernah ganti nomor sehingga mudah
saya kontak. Biasanya mereka tidak mau langsung “main” kaka. Ajak mereka
jalan-jalan dengan motor dulu. Jalan saja. Nanti di atas motor baru disepakati
mau di hotel atau di kos saja. Tapi mereka lebih senang di kos. Lebih aman.
Kalau sudah lihat teman kos yang lain sudah masuk kamar, baru bisa masuk”.
.....................................................
Hidup
ini begitu. Ada harapan dan kerinduan orangtua yang akhirnya hilang begitu
saja. Ada luka yang harus diobati dan ada tanggisan yang dibalut dalam canda.
Cerita ini adalah kisah kehidupan kota kasih. Kota berlatar belakang ajaran
iman Kristiani. Isu dan fakta berbaur menjadi satu. Hitam dan putih sulit
dibedakan lagi. Tugas kita adalah menikmati sambil memilah dan memilih. Kita
dituntut menjadi tuan atas diri sendiri. Awasan awal untuk orangtua, pemimpin
agama dan pemerintah.
Di
teras rumah, kami sama-sama terdiam. Ada hati yang perih untuk kami nikmati
bersama. Pernah saya menulis “Jangan Munafik” (mencerna Narasi Jerry Manafe
Tentang HIV/AIDS). Adakah ada kaitannya? Kasus HIV/AIDS selalu meningkat dari
waktu ke waktu. Kota ini adalah teras rumah kita. Menulis kisah ini adalah
caraku merawat kota yang nampak indah secara kasat mata tetapi sebenarnya
jorok, berbau amis. Jika tidak mampu menjadi pelita, jadilah sebatang lilin.
Hal pertama dan utama yakni terangi diri, pikiran dan hati nuranimu. Salam
Cakrawala, salam Literasi
Gusty
Rikarno, S.Fil - Jurnalis Media Pendidikan Cakrawala NTT
0 Comments