Minggu sore (3/3) sekitar pukul 16.30, suasana
rumah Gusty Richarno sebagai tempat dihelatnya acara Diskusi Secangkir Kopi, di
seputaran pemancar cabang Tilong, masih lengang. Sesuai rencana, diskusi yang
mengusung tema “Kaum Milenial dalam Arus Literasi Digital” ini, akan dimulai
tepat pukul 17.00.
Teras pondok tersebut sudah rapi dengan deretan kursi. Ada
sebuah terpal berukuran sedang membentang di depannya, hal itu dimaksudkan
untuk bisa menampung semua peserta diskusi yang diperkirakan tidak akan cukup
bila mangandalkan teras saja. Di bawah terpal itu juga tersedia banyak kursi.
Saat itu, peserta yang hadir hanya Isko selaku Ketua OMK Paroki St. Simon
Petrus Tarus. Dia sedang asyik berbincang dengan sang empunya pondok, Gusty,
lalu ada juga narasumber utama, Maksimus
Masan Kian. Tidak lama kemudian tiba juga narasumber tambahan, Saverinus Suhardin. Menyusul Suster Lenchy
dari Biara Osiloa dan rekan-rekan OMK lainnya.
Sekitar pukul 18.00, molor satu jam dari yang
ditetapkan, acara yang diprakarsai oleh pengurus OMK Wilayah VII, St. Agustinus
Paroki St. Simon Petrus Tarus-Kupang dan didukung sepenuhnya oleh orang tua atau umat KUB setempat, akhirnya bisa
dimulai juga.
Gusty, selaku tuan rumah dan tim penggagas
kegiatan, dipercayakan juga sebagai pemandu acara diskusi sore itu. Dalam
pengantar acaranya, Gusty memaparkan
berbagai realitas tentang perkembangan terknologi informasi dan komunikasi (TIK)
saat ini yang begitu masif. Kaum muda Katolik yang tergabung dalam wadah OMK,
juga dikategorikan sebagai milenial, kalau tidak dibekali informasi atau
pengetahuan tentang literasi digital, bisa-bisa ikut terjerumus dalam aktivitas
negatif. Karena alasan itulah, acara sore itu penting dilaksanakan. Demi masa
depan generasi bangsa dan gereja.
Maksi sebagai narasumber utama diberi
kesempatan pertama menyampaikan pengalaman baiknya tentang literasi digital
selama ini. Sebelum berkisah lebih jauh,
Maksi memperkenalkan diri terlebih dahulu.
Nama lengkapnya Maksimus Masan Kian. Dia
berprofesi sebagai guru biologi di salah satu SMP di Larantuka-Flotim. Selain
mengajar di sekolah, guru yang akrab disapa
Maksi itu aktif bergelut di berbagai organisasi. Salah satunya yang
paling banyak dikenal orang karena konsistensi mereka dalam menjalankan gerekan
literasi adalah wadah Agupena cabang Flotim. Sampai saat ini, bapak tiga anak itu masih
dipercayakan sebagai ketua untuk periode pengurusan jilid 2.
Kehadiran Maksi sebagai pembicara dalam forum
diskusi OMK Tarus ini memang tidak diundang secara khusus. Beberapa hari
sebelumnya, masih ada kaitannya dengan gerakan literasi, Maksi diundang oleh Charis Intenational School yang berlokasi
di Malang-Jawa Timur, mengikuti berbagai workshop di sekolah bertaraf internasiol
tersebut, sekaligus meluncurkan buku tulisannya yang berjudul: “Ujung Pena Guru
Kampung II (Sepekan di Charis National Academy).”
Cerita latar belakang singkat itu menunjukkan
kapasitasnya sangat tepat menjadi narasumber utama dalam diskusi sore menjelang
malam itu. Maksi memulainya dengan menyamakan persepsi tentang definisi kaum
milenial dan literasi digital. Selanjutnya, Maksi meminta beberapa peserta
tampil di muka, kemudian diminta mengecek kembali tulisan terakhir di akun FB
masing-masing. Tiga peserta mengaku sebagai pengguna aktif FB, dan biasa
menuliskan buah pikirannya di sana. Salah seorang peserta mengaku tidak begitu
suka menulis di FB, baginya hal itu tidak berguna.
Maksi tidak membuat penilaian mana yang benar,
mana yang salah atau mana yang baik, mana yang buruk. Semua diapresiasi.
Selanjutnya Maksi meminta pendapat tambahan Gusty sebagai salah salah satu pengguna
FB paling aktif selama ini.
Menurut Gusty, menulis di FB selama ini cukup
membantunya dalam menyebarkan informasi atau meyakinkan banyak orang tentang
impian “Generasi Emas NTT Tahun 2050 dengan Mengakarkan Gerakan Literasi.”
Maksi kemudian melanjutkan dengan berbagai
pengalaman nyata yang dialaminya selama ini. Maksi rutin menuliskan berbagai
persoalan di tempat tinggalnya, kemudian tulisan itu “mengganggu” pihak yang
berwajib menyelesaikan persoalan itu. Misalnya, saat melihat jalan yang rusak,
Maksi akan memfotonya, kemudian menuliskan pendapat pribadinya tentang jalan
tersebut. Tidak lama berselang, pemerintah daerah langsung mengambil tindakkan
cepat memperbaikinya.
Masih banyak contoh lainnya yang dipaparkan
oleh Maksi, termasuk yang paling terkini, ia diundang secara khusus ke Malang, salah satunya
berkat aktivitas positif yang dilakukannya dengan memanfaatkan media sosial.
Tidak hanya berkisah tentang dirinya, Maksi
juga memberi kesaksian beberapa tokoh lain yang dianggap sukses dalam kegiatan
hariannya berkat memanfaatkan media sosial. Maksi menyebut nama Dicky Senda
yang mengelola Lakoat.Kujawas di Mollo, TTS; Josef Lo, pemilik usaha kopi
Leworook; Kamilus Tupen Jumat, seorang mantap TKI yang kini sukses menjadi
petani di kampungnya, dan masih banyak lagi.
Berdasarkan cerita-cerita tersebut, Maksi
sangat merekomendasikan anak-anak muda yang tergabung dalam OMK Tarus, bisa
juga memanfaatkan beragam media sosial yang ada untuk kepentingan pengembangan diri. Gunakan media
sosial secara bijak; gunakan untuk menebar kebaikan; gunakan secara positif.
Saat narasumber kedua, Saverinus Suhardin,
hendak mulai berbicara, tibalah salah seorang narasumber dadakan yang disambut
gembira oleh semua peserta diskusi. Awalnya tidak pernah terpikirkan bahwa ia akan hadir.
Ternyata, ia
mengaku tahu informasinya di Facebook, dan merasa tertarik ikut gabung berdiskusi. Adalah Pius Rengka,
dikenal sebagai salah satu penulis kondang di NTT. Saat ini ia juga sedang mengelolah
sebuah media online yang sudah dikenal baik oleh masyarakat.
Saverinus yang sempat terjeda sebentar,
kemudian melanjutkan cerita pengalamannya menggunakan media sosial selama ini. Penulis
buku “Pada Jalan Pagi yang Sehat, Terdapat Inspirasi yang Kuat” itu biasa
bangun pagi sekitar pukul 04.00, lalu berdoa sebentar, minum air secukupnya,
kemudian dilanjutkan dengan aktivitas membaca atau menulis. Sekitar pukul
05.30, keluar rumah untuk melakukan olahraga ringan (jogging). Aktivitasnya itu diberi nama khusus: Jalan Pagi.
Selama Jalan Pagi, Saverinus mengaku
seringkali mendapat banyak inspirasi sebagai bahan tulisan. Sebagian idenya
ditulis rapi dan berhasil terbit di beberapa media cetak. Selebihnya, ide-ide
itu ditulis di halaman FB dengan menggunakan tagar khusus: #JalanPagi.
Khusus tulisan-tulisan yang terbit di media
massa, beberapa kali Saverinus mendapatkan reward
berupa uang. Memang, bukan itu tujuan awalnya dia menulis. Tapi, ketika
mendapat hal lain yang lebih bermanfaat, bapak satu anak itu merasa sangat
bersyukur bisa memanfaatkan media sosial untuk keperluan yang positif.
Pada bagian lain, Saverinus juga bercerita
kalau media sosial juga berpontesi menjerumuskan orang pada kegiatan negatif.
Beberapa contoh yang sering terjadi selama ini misalnya, penyebaran hoaks yang
bergitu masif, kabar tentang prostitusi online
di Kota Kupang, dan masih banyak contoh lainnya. Media sosial itu bisa
bermanfaat sekaligus juga menjadi malapetaka, bergantung pemakainya. Orang Muda
Katolik (OMK) Tarus tentunya diharapkan memilih memanfaatkan media sosial hanya
untuk hal-hal positif saja.
Suasana diskusi makin seru tatkala Pius Rengka
ikut berbagai pengalaman membaca dan menulisnya. Guyonan segar yang diselipkan
penulis andal itu dalam ceritanya berhasil mengocok perut peserta diskusi.
Meski begitu, di balik semuanya itu, ada banyak sekali pelajaran yang sangat
berguna bagi peserta diskusi.
Pius Rengka mengisahkan bagaimana awal dirinya
memutuskan berlatih menulis. Situasi ekonomi yang sulit selama kuliah di Jogja,
memaksa dirinya belajar keras menulis untuk surat kabar. Usahanya tidak
sia-sia. Tulisannya terbit di sebuah koran besar di kota pelajar itu. Honornya
lumayan besar, bisa dipakai buat biaya makan beberapa bulan kemudian. Semenjak
itu, Pius terus tekun membaca dan menulis, sehingga saat ini sudah dikenal
banyak orang sebagai penulis.
Menurutnya, menulis harus dimulai saja. Mulai
dengan apa saja yang terbersit dalam pikiran. Selanjutnya, supaya tulisan makin
baik, setiap (calon) penulis mesti diimbangi dengan kebiasaan membaca yang
rutin. Semua upaya itu harus konsisten, waktu akan membuktikan upaya kita
berhasil dengan baik.
Saat sesi diskusi dimulai, beberapa anggota
OMK mengedarkan minuman (kopi dan teh) disertai penganan lokal, pisang rebus
yang dilengkapi dengan sambal goreng yang nikmat. Ada secangkir kopi dan teh di
hadapan semua peserta, suasana diskusi terasa makin nikmat.
Peserta diskusi sangat antusias bertanya dan
berbagi pengalaman atau keresahan mereka dalam menggunakan media sosial. Setiap
pertanyaan itu dijawab atau direspons bersama oleh para narasumber. Pada akhir
acara, peserta diskusi yang dinilai terlibat secara aktif, mendapat hadiah
buku.
Saat acara penutupan, perwakilan orang tua
yang terus mendampingi OMK, mengaku sangat senang dengan proses diskusi yang
telah berjalan dengan baik. Menurut mereka, kegiatan serupa mesti terus
dijalankan, tidak saja di tempat itu, tapi juga menyebar ke wilayah lain.
Selain itu, kegiatan diskusi malam itu hendaknya tidak berakhir begitu saja,
tapi ada tindak lanjut yang bisa dievaluasi perkembangannya. Sebagai orang tua,
mereka sangat mendukung kegiatan-kegiatan positif selanjutnya. (*/RZ)
0 Comments