Katarina Kewa Sabon Lamablawa
|
Hari ini, 29 Mei 2015, tepat empat tahun aku menjalin hubungan dengannya, seorang gadis bernama Anaya. Aku sendiri tak ingat lagi kapan pertama kali kami bertemu, yang jelas aku mengenal Anaya saat aku berlibur di rumah sahabatku, Antonius yang tinggal di Waiwerang, Adonara Timur. Saat itu, di suatu sore yang cerah, Antonius mengajakku berjalan-jalan mengelilingi lingkungan tempat tinggalnya. Saat itulah kami berpapasan dengan Anaya, yang ternyata adalah teman Antonius.
Kesan pertama yang kudapatkan saat aku melihat Anaya
adalah sebuah kekaguman. Anaya sungguh cantik, dalam balutan kemeja berwarna
kuning yang menambah kesan ayu pada raut wajahnya nan lugu. Bicaranya sangat
sopan, tata bahasanya tertata dengan sangat rapi. Senyumannya sangat indah,
laksana sekuntum mawar merah yang sedang mekar. Matanya sangat memikat,
membuatku seakan meleleh ketika aku menatapnya. Oh, Anaya, ia bak seorang
bidadari yang jatuh dari surga. Anaya, aku jatuh cinta padanya.
Tak butuh waktu lama bagi seorang spesialis cinta sepertiku
untuk merebut hati seorang Anaya. Berbekal pengalaman 7 kali pacaran sejak SMP,
aku yakin, aku pasti bisa meluluhkan hati Anaya. Empat hari. Ya, hanya empat
hari. Bagiku, empat hari sudah terlalu cukup untuk membuka lembaran-lembaran
perkenalan. Akhirnya, aku pun memberanikan diri untuk mengutarakan isi hatiku
yang semakin hari semakin menggelora. Senja itu, di ujung dermaga Waiwerang,
aku dan Anaya saling mengikatkan diri dalam sebuah hubungan spesial.
Tak lama kami bersama, akhirnya aku pun harus pamit diri,
kembali ke rumah pendidikanku di sebuah lembah nan dingin yang disebut Seminari
Menengah. Aku meninggalkan Anaya untuk sementara dengan tetap menggenggam
cintanya. Anaya melambaikan tangan melepaskan kepergianku di dermaga cinta
kami, saat aku melangkahkan kaki mengarungi selat yang terbentang antara
Adonara dan Larantuka.
“Sampai jumpa Anaya, kekasihku,” gumamku dalam hati.
* * *
Handphoneku tiba-tiba berbunyi, membuyarkan serangkaian
acara lamunanku pagi ini. Aku segera meraihnya dan menerima sebuah panggilan
dari Anaya. Kami bicara panjang lebar, banyak bercerita, menuangkan segala
kerinduan yang terbatasi oleh jarak kami, antara Kota Misionaris dan Kota
Karang. Kini, aku tengah belajar di Seminari Tinggi, untuk mempersiapkan diri
dalam meniti masa depanku, cita-citaku sejak kecil, menjadi seorang Imam,
sementara Anaya di sana sedang mencari pundi-pundi ilmu di sebuah Perguruan
Tinggi di Kota Kupang.
"Hati-hati ya sayang," ucapnya mengakhiri
percakapan singkat kami di penghujung Bulan Maria itu.
Aku menatap ke arah luar jendela, tapi pikiranku jauh
melayang, membayangkan apa yang akan terjadi nantinya antara aku dan Anaya.
Sangat tidak mungkin bagiku untuk memilihnya, sementara aku sendiri tengah
berjuang demi mewartakan tentang kasih Yesus di tengah dunia ini. Tapi
sejujurnya, berat bagiku untuk melepaskan Anaya, meskipun aku tahu, aku tak
akan pernah memilikinya seutuhnya.
Pertengahan Juli, aku mendapatkan kesempatan untuk
liburan. Kesempatan emas itu tak kusia-siakan. Aku memutuskan untuk terbang ke
Kota Karang, menengok kekasih hatiku yang sedang berjuang di sana. Aku sengaja
tak memberitahukan hal itu pada Anaya, karena aku ingin memberikan sebuah
kejutan baginya. Jantungku berdetak kencang tatkala hatiku merangkai
potongan-potongan imajinasi, membayangkan kisah pertemuanku dengan Anaya yang
akan terjadi nanti. Tak sabar aku mendekap hangat cintanya dalam pelukanku yang
sudah lama haus akan pertemuan kami. Ah, Anaya, sungguh aku tak bisa berhenti
memikirkanmu.
Motor ojekku telah tiba di depan kost Anaya. Setelah
kuberikan sejumlah uang sebagai ongkosnya, aku pun segera meluncur. Sebelum aku
tiba tepat di depan kamar kost Anaya, aku melihat sebuah Motor Vixion berdiri
di sana. Kupikir Anaya sedang menerima tamu di kamarnya yang terkunci rapat.
Segera kuketuk pintu kamarnya. Cukup lama aku menunggu, sekitar satu setengah
menit.
Anaya membuka pintunya. Ia tampak sangat terkejut
mendapatiku muncul di hadapannya. Aku mencoba menengok ke dalam, seorang pria
muda dengan telanjang dada dan bercelana pendek sedang tertidur di atas kasur
Anaya. Sementara Anaya sendiri tetap terpaku menatapku. Ia hanya mengenakan
sebuah kaos tanpa lengan dan sebuah celana pendek. Isi kamarnya sangat
berantakan, bahkan buku-buku berserakan tak karuan.
Aku menatap dalam mata Anaya. Sementara pikiranku sendiri
sudah melayang jauh, mencoba mencari-cari jawaban atas apa yang aku dapati saat
itu. Aku menghela napas. Kucoba mengumpulkan segenap kekuatanku.
"Ada apa Anaya?," suaraku memecah keheningan.
Mata Anaya tampak berkaca-kaca. Mendung nan dahsyat
pertanda akan adanya badai hebat tengah mengitari mata indahnya. Anaya terdiam.
Ia sama sekali berkutik, bahkan tak mempersilahkan aku untuk duduk atau pun
masuk ke dalam kamarnya.
"Sayang, siapa itu?," tanya pria yang tengah
tertidur itu.
"Sa.. Sayang?," tanyaku keheranan mencoba
menegaskan panggilan mesra pria itu.
"Anaya, apa yang terjadi di sini? Siapa pria itu?,"
suaraku bergetar.
Rupanya kehadiranku tengah mengusik ketenangan pria itu.
Segera ia bangun dan menghampiri kami.
"Siapa kau? Mau apa kau ke sini? Ada urusan apa kau
dengan pacarku?," tanya pria yang tak kukenal itu.
"Pacar?," aku terbelalak.
"Anaya, apa maksudnya?," aku memengang tangan
Anaya, tapi kemudian pria itu melepaskannya.
"Kau pasti Frater Ireneus kan? Mau apa kau ke sini?
Mengganggu Anaya lagi? Kau seharusnya sadar, kau itu tak bisa bersatu dengan
Anaya. Sekarang Anaya adalah milikku, bukan milikmu. Pergilah dari sini!
Enyahlah kau! Jangan pernah mengganggu Anaya lagi. Paham?"
Pria itu lalu menarik tangan Anaya dan membawanya masuk,
kemudian membanting pintu kamar Anaya. Aku membisu, tak bersuara, tapi hatiku
seolah menjerit dan menangis. Sungguh aku sama sekali tidak percaya,
penantianku selama ini telah berpanenkan kekecewaan. Aku sangat kecewa, sangat
marah. Kekecewaan bukan tak beralasan. Amarahku juga bukan tak bersebab. Aku
kecewa dan marah, bukan pada Anaya, tetapi pada diriku sendiri. Mengapa aku
harus mengenalnya? Mengapa aku harus mencintainya? Mengapa? Mengapa Tuhan?
* * *
Tiga tahun berlalu. Aku melupakan segalanya, termasuk
kisah cintaku dengan seorang gadis bernama Vinsensia Anaya Frederich, yang
entah ada dimana lagi. Setelah kejadian pahit itu, aku tak pernah lagi
berhubungan dengan Anaya, meskipun ia sendiri berkali-kali meneleponku, dan
mengirimkan sms permintaan maafnya. Aku tak pernah memberikan respon apapun
padanya. Benar apa yang pernah dikatakan oleh pacar Anaya itu, aku harus
menyadari siapa diriku. Aku adalah seorang calon Imam, aku bukan orang biasa
yang bisa memiliki cinta seorang gadis, apalagi gadis seperti Anaya, sungguh
aku tak pantas.
Kulalui hari-hariku dalam berbagai kegiatan rohani yang
terus membangun imanku akan Yesus. Aku benar-benar melupakan Anaya, beserta
segala kenangan yang sempat terlukiskan bersamanya. Aku benar-benar
menghapusnya dari rekaman memori budi dan hatiku. Aku benar-benar telah
memendam namanya jauh di antara tumpukan kertas masa laluku yang sudah tak
berarti lagi, entah untuk dikemanakan, aku tidak tahu.....
Kupang, 5 Juni 2016
0 Comments