Oleh : Dorothea Trilubu Fretis, S.Pd.
(Guru SMP Negeri Oenenu, TTU)
CAKRAWALANTT.COM - Dewasa ini, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi menuntut setiap orang untuk mampu berpikir kreatif,
analitis, dan kritis guna menanggapi setiap fenomena yang terjadi.
Masing-masing orang harus mampu melihat fenomena, membaca peluang, dan
menyelesaikan persoalan dengan terobosan yang inovatif. Salah satu kemampuan
yang dapat mengakomodir situasi tersebut adalah numerasi.
Numerasi sendiri dipandang sebagai kecakapan
dalam menggunakan berbagai angka dan simbol yang terkait dengan matematika
dasar untuk memecahkan masalah praktis dalam berbagai macam konteks kehidupan
sehari-hari. Hal itu pun berkaitan erat dengan konsep matematika dasar sebagai
acuan dalam mempelajari dan mendalami angka atau simbol beserta proses perhitungannya.
Menurut Waminto (2011 : 428), matematika
merupakan salah satu cabang ilmu yang dapat meningkatkan kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) dan juga menjadi faktor pendukung dalam laju perkembangan serta
persaingan di berbagai bidang. Dengan kata lain, secara sederhana, matematika
bisa diartikan sebagai bahasa simbolis yang membantu proses berpikir dan
memahami untuk memecahkan masalah sehari-hari.
Dalam dunia pendidikan, matematika
menjadi salah satu topik pembelajaran yang termuat dalam kurikulum. Di dalamnya
terdapat beragam pembahasan materi dan salah satunya adalah pola bilangan. Pola bilangan merupakan
susunan bilangan yang memiliki keteraturan (Aksin, 2017). Sebagai materi
pembelajaran, pola bilangan dapat membantu siswa untuk memecahkan masalah
matematis dalam kehidupan sehari-hari.
Proses pembelajaran matematika sedianya
menjadi bekal bagi siswa agar dapat berpikir logis, analitis, kritis, dan kreatif.
Untuk itu, siswa diharapkan mampu memahami dan mendalami materi pembelajaran,
khususnya pola bilangan, secara baik.
Di setiap kegiatan belajar dan mengajar,
siswa harus dapat bersikap interaktif, aktif menyelesaikan persoalan, dan
pastinya bisa menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan bersama guru.
Dalam praktik pembelajaran matematika,
harapan atau tujuan pembelajaran kadang tidak tercapai sebagaimana mestinya. Di
SMP Negeri Oenenu misalnya, khususnya di kelas VIII, masih terdapat beberapa siswa
yang belum mampu menguasai materi pola bilangan matematika dengan baik. Selain
itu, tingkat keaktifan di dalam kelas pun belum menunjukkan tren yang positif.
Kondisi tersebut juga didukung oleh
pencapaian hasil belajar yang belum maksimal, dimana dari 75 orang siswa, hanya
12 orang yang berhasil memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM). Hal ini
menjadi akibat dari kurangnya pemahaman dan keaktifan siswa selama proses
pembelajaran berlangsung.
Setelah melakukan pengamatan dan
refleksi, Penulis, selaku guru pengampu mata pelajaran matematika di SMP Negeri
Oenenu, menyadari bahwa terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan
ketidakmampuan siswa dalam memahami materi pola bilangan matematika.
Pertama,
stereotip terhadap matematika sebagai pelajaran yang rumit. Kedua, model pembelajaran yang
dikembangkan di dalam kelas tidak sesuai dengan kondisi siswa. Ketiga, minimnya penggunaan media
pembelajaran yang variatif dan menarik selama kegiatan belajar dan mengajar.
Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut,
Penulis menerapkan model pembelajaran discovery
based learning dalam pembelajaran matematika. Model ini merupakan model
pembelajaran yang menekankan pada pengalaman langsung dan pentingnya pemahaman
struktur atau ide-ide terhadap suatu disiplin ilmu melalui keterlibatan siswa
secara aktif.
Menurut Sardiman, dalam penerapan model discovery based learning, guru berperan
sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk lebih aktif
dan interaktif. Guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa
sesuai dengan tujuan pembelajaran (Kemendikbud, 2013).
Penerapan model discovery based learning bertujuan untuk mengubah kondisi belajar siswa
dari pasif menjadi lebih aktif dan kreatif. Proses pembelajaran pun lebih
terpusat kepada siswa dimana mereka akan didorong untuk menemukan informasi
terkait materi pelajaran secara mandiri.
Untuk mengimplementasikan model discovery based learning dalam
pembelajaran matematika, terkhususnya pada materi pola bilangan, Penulis
menggunakan media Lembar Kerja Siswa (LKS). LKS sendiri merupakan bahan ajar
cetak berupa lembar kertas yang berisi materi, ringkasan, dan petunjuk tugas
pembelajaran.
Menurut Prastowo (2014), LKS dapat menuntun
siswa untuk mengerjakan/menyelesaikan tugas pembelajaran, baik yang bersifat
teoritis maupun praktik, yang mengacu pada Kompetensi Dasar (KD) yang harus
dicapai. Penggunaan LKS pun dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa.
Dalam praktiknya, Penulis menggunakan
LKS berbasis tenun Timor. Penggunaan LKS tersebut tentunya merujuk pada konsep etnomatematika
yang mengaitkan hubungan antara matematika dan budaya.
LKS berbasis tenun Timor memuat gambar
motif-motif tenun Timor, seperti motif Buna,
motif Lote Buna, dan motif Ma’Pauf. Motif-motif tersebut memiliki
desain yang mengandung bangun datar, seperti persegi dan belah ketupat, dengan
variasi warna yang membentuk pola tertentu.
Setiap kain tenun dengan bangun datar
terdapat variasi dua warna, tiga warna, dan seterusnya. Barisan warna tersebut
dapat dijadikan barisan bilangan untuk menentukan pola barisan dan deret yang
dicari sesuai dengan tujuan pembelajaran pada materi pola bilangan, yaitu
menentukan suku selanjutnya dan jumlah suku selanjutnya pada baris bilangan.
Adapun langkah-langkah penggunaan LKS
berbasis tenun Timor dalam model discovery
based learning adalah sebagai berikut.
Pertama,
Penulis menyiapkan alat peraga tutup botol sebanyak 60 buah sebagai alat peraga
pola bilangan. Tutup botol disusun berpola dan digunakan sebagai media untuk
memahami materi pola konfigurasi objek (menentukan
bentuk umum pola konfigurasi objek, barisan, dan deret pola konfigurasi objek).
Kedua,
Penulis mencari dan mendokumentasikan tenun Timor yang berpola. Tenun Timor
berpola yang dimaksud adalah tenun-tenun yang mempunyai bentuk ataupun warna
yang bervariasi, yakni motif Buna,
motif Lote Buna, dan motif Ma’Pauf, untuk digunakan dalam
menentukan warna selanjutnya dan jumlah warna selanjutnya.
Ketiga,
Penulis membuat LKS berbasis pola tenun Timor sebanyak dua model LKS yang
berbeda. Penulis menentukan tujuan yang ingin dicapai dalam LKS 1 dan LKS 2. Setelah
itu, Penulis menyusun soal sesuai dengan pola tenun yang tersedia dan soal
lainnya sesuai pedoman pada buku ajar. Selain menyusun soal pola bilangan
berbasis pola tenun Timor, Penulis juga menyusun soal tambahan yang berkaitan
dengan tujuan pembelajaran.
Keempat,
Penulis mulai melaksanakan kegiatan pembelajaran menggunakan LKS 1 dan alat
peraga. Pada tahap ini, Penulis membagi siswa ke dalam 4 kelompok dan mulai
mengerjakan LKS sesuai arahan. Penulis juga menyimulasikan alat peraga,
sehingga siswa dapat mengerjakan soal pada LKS menggunakan alat peraga yang
disediakan.
Kelima,
Penulis mulai melaksanakan kegiatan pembelajaran menggunakan LKS 2. Pada tahap
ini, Penulis membagi siswa ke dalam 4 kelompok dan mulai mengerjakan LKS sesuai
arahan. Setelah semua soal LKS dikerjakan, Penulis akan memilih perwakilan dari
tiap kelompok secara acak untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya.
Keenam,
Penulis melakukan evaluasi untuk mengukur pemahaman siswa terhadap materi pola
bilangan. Hasil evaluasi akan menjadi acuan Penulis untuk menganalisis hasil
belajar atau nilai kerja siswa.
Penerapan model discovery based learning dengan LKS berbasis tenun Timor tentunya
sangat bermanfaat bagi siswa. Di kelas, suasana pembelajaran menjadi lebih
menyenangkan. Para siswa pun menjadi lebih dominan dalam proses pembelajaran,
mampu memahami dan menggali informasi secara mandiri, serta menjadi lebih
aktif.
Selain itu, penggunaan LKS berbasis
tenun Timor juga dapat mendorong siswa untuk mempelajari kehidupan sekitarnya
melalui matematika dan budaya.
Untuk itu, dapat disimpulkan bahwa
penggunaan media dan model pembelajaran yang tepat dapat mendorong terwujudkan
tujuan pembelajaran yang diharapkan. Kreativitas dalam menerapkan media dan
model pembelajaran pun sangat dibutuhkan. Dengan kata lain, guru sebagai
fasilitator pembelajaran harus bisa menuangkan kreativitas dan inovasinya
secara baik untuk menciptakan pembelajaran yang diharapkan. (MDj/red)
0 Comments