(Suasana diskusi publik dengan tema Merdeka Belajar, Merdeka Masa Depan) |
Kota Kupang, CAKRAWALANTT.COM - Pada tahun (2023) ini, Republik Indonesia (RI) memasuki
usianya yang ke-78. Usia itu bukanlah rentang waktu yang singkat bagi sebuah
siklus kehidupan. Jika manusia akan tergolong renta pada usia 78 tahun, maka
sebuah bangsa akan memasuki fase kematangan pada usia tersebut. Begitulah
kiranya bangsa ini, yang bersatu dengan rasa nusantara dan hidup bersama dengan visi kenegaraannya.
Dalam berbagai referensi sejarah, kemerdekaan bangsa
ini dari penjajahan bangsa lain tidak diperoleh dengan mudah. Ada masa
persatuan atas dasar kemanusiaan, bergerak untuk terbebas dari kekejaman
penjajah, berjuang meraih kemerdekaan, hingga berhasil memproklamirkan
kemerdekaannya tatkala negara-negara lain sedang berkecamuk dengan perang
dunia.
Ketika bangsa ini sudah merdeka dan berani mendirikan
sebuah negara independen, maka Bapak Proklamasi kala itu, Soekarno, dengan
tegas mengatakan bahwa Indonesia harus bebas, mandiri, dan berdaulat atas
dirinya sendiri. Indonesia dengan semboyan bhineka
tunggal ika harus bisa menentukan pilihannya dan menata hidup secara
merdeka.
Seiring berjalannya waktu, label kemerdekaan itu mulai
diusik. Ada begitu banyak tantangan,
pergolakan, dan perlawanan yang mengancam kemerdekaan itu. Akhirnya, di
buku-buku sejarah tertulis sebuah masa khusus, yakni masa mempertahankan kemerdekaan.
Sampai pada saat ini, setelah era reformasi yang entah
akan bertransformasi menjadi apa, masa mempertahankan kemerdekaan itu masih
terus berlanjut. Jika dahulu bangsa ini berjuang mempertahankan kemerdekaan dari
gangguan penjajah, maka saat ini, bangsa Indonesia terus berkutat dengan
perkembangan zaman, globalisasi, dan kemajuan iptek.
Kemerdekaannya kini diuji bukan dari terpaan senapan
penjajah, tetapi tantangan pembangunan dan kondisi sumber dayanya.
Merayakan Kemerdekaan
Refleksi tentang kemerdekaan Indonesia tentunya ramai
diperbincangkan, apalagi dengan keragaman sudut pandang. Kemerdekaan itu harus dirayakan. Susan B. Anthony, Aktivis Amerika era
1820, pernah berujar, “Independence is happiness (Kemerdekaan adalah
kebahagiaan)”. Untuk itu, refleksi tentang kemerdekaan memang harus dirayakan
sebab itulah sumber kebahagiaan.
Di sudut Kota Kupang, tepat pada 16 Agustus 2023,
sehari sebelum peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-78 RI, Cakrawala NTT dan
Sekolah Alam Manusak menggelar sebuah diskusi publik untuk menyambut hari
kemerdekaan. Merdeka Belajar, Merdeka
Masa Depan, begitulah tema yang diusung sebagai bahan diskusi.
Bersama beberapa figur dengan latar belakang yang
berbeda, kebijakan Merdeka Belajar yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek)
mulai dipandang, digali, dikupas, dan diulas dengan berbagai sudut pandang. Ada
guru, praktisi pendidikan, penggiat literasi, dosen, dan beberapa lainnya yang
hadir pada momen tersebut.
Bertempat di Bapote Coffee and Steak dan tersambung secara
online melalui zoom meeting, diskusi
tersebut dipandu oleh Neni Toispay, serta diisi dengan beberapa pembicara,
yakni Kepala Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) Provinsi NTT, Herdiana,
S.T., MBA., Dosen Filsafat Unwira, Pater Peter Tan, SVD., Owner dan Pendiri Sekolah Alam Manusak, Yahya Ado, Direktur
Cakrawala NTT, Gusty Rikarno, dan Sartika Kale dari PGPAUD Undana.
Semua hal yang didiskusikan tentunya merujuk pada
tujuan utama yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kebijakan Merdeka Belajar dan berbagai aspek yang
melekat padanya semestinya tidak saja berdampak untuk jenjang pendidikan, tetapi
juga berguna bagi terwujudnya sumber daya manusia yang unggul dan masa depan
yang diharapkan.
Merdeka Belajar dan Pandangan yang
Melihatnya
Proses diskusi pun dimulai pada pukul 15.00
Wita. Dosen Filsafat Unwira, Pater Peter Tan, SVD., mulai membuka diskusi
dengan pandangannya terhadap kebjiakan Merdeka Belajar. Peter memberikan
apresiasi atas terobosan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
(Mendikbudristek), Nadiem Makariem, tersebut.
“Saya tentunya memberikan apresiasi bagi Merdeka
Belajar yang dikeluarkan oleh Nadiem dimana anak-anak didik atau mahasiswa bisa
belajar di luar bidangnya,” ujarnya.
Namun, Peter melihat adanya kecenderungan dominasi
kepentingan ekonomi dalam kebijakan itu. Menurutnya, pendidikan masa kini hanya
membentuk individu menjadi pekerja industri, padahal ada begitu banyak
ketimpangan sosial yang mesti diselesaikan melalui dunia pendidikan.
“Saya kritik Merdeka Belajar karena cenderung
melanggengkan meritokrasi. Pendidikan seolah melayani kepentingan ekonomi. Lembaga
pendidikan, terutama kampus, seakan hanya menjadi penyedia pekerja untuk
industri. Padahal, bicara soal pendidikan sangat luas cakupannya. Dunia pendidikan
harus menjadi agen dari pembebasan sosial,” ungkap Peter.
Peter juga memaparkan bagaimana kondisi pendidikan,
terutama perguruan tinggi, yang hanya membuat seseorang lebih mementingkan
prestasi individual ketimbang kepentingan sosial. Siswa maupun mahasiswa,
tandasnya, terkesan didorong untuk menjadi ahli di satu bidang dan menutup diri
dengan persoalan-persoalan di bidang yang lain.
Sementara itu, Dosen PGPAUD Undana, Sartika Kale,
membagikan pengalamannya terkait kebijakan Merdeka Belajar. Menurutnya, para
guru sering mengalami kesulitan dalam mengimplementasikan Kurikulum Merdeka
Belajar, sehingga dalam praktiknya kadang tidak berjalan dengan optimal.
Ia juga mengatakan bahwa Merdeka Belajar harus bisa
mendukung perkembangan anak. Untuk itu, diperlukan kolaborasi antara guru dan
orang tua anak didik. Namun, di sisi lain, menurutnya, perlu juga dibuat
batasan dan penegasan tentang peran guru dan orang tua.
Lebih lanjut, Direktur Cakrawala NTT, Gusty Rikarno,
menilai arah kebijakan Merdeka Belajar sebenarnya menyasar para guru selaku
pengajar dan pendidik. Merdeka belajar, terangnya, harus dibarengi dengan
kemerdekaan berpikir. Artinya, sambung Gusty, perlu adanya pola berpikir yang
baik dan itu adalah tugas guru.
Guru, tandas Gusty, haruslah merdeka. Guru harus bisa
berkembang dan maju sesuai dengan tuntutan kompetensinya, yakni pedagogik,
kepribadian, sosial, dan profesional.
Namun, pada kenyataannya, guru masih berada pada
lingkaran konvensional yang mengedepankan dirinya sebagai pusat belajar,
padahal ada berbagai sumber belajar. Akibatnya, guru cenderung monoton dan
tidak bisa menjalankan pembelajaran dengan variasi metode. Untuk itu, Gusty
menekankan pentingnya peningkatan literasi di kalangan guru.
“Sebenarnya yang harus dimerdekakan adalah guru sebab
Merdeka Belajar akan bermuara pada guru. Perlu sekali peningkatan literasi di
kalangan guru dalam konteks NTT, sebab kita saat ini berada pada kondisi
a-literasi,” jelasnya.
Merdeka Belajar, Merdeka Masa Depan
Diskusi pun terus berlanjut hingga menunjukkan pukul
17.00 Wita. Salah seorang peserta diskusi, Ino Loe, yang juga berprofesi
sebagai guru di salah satu sekolah swasta di Kota Kupang, menuturkan Merdeka
Belajar sebenarnya memberikan ruang dan kesempatan bagi semua orang untuk
menjadi agen perubahan dengan kreativitas dan inovasinya.
“Merdeka Belajar sebenarnya mendorong semua orang,
terutama pendidik, untuk berani memulai pembelajaran dengan kreativitas dan
inovasi guna menciptakan iklim belajar yang baik. Tugas utama kita sebagai
pendidik adalah bagaimana menerjemahkan kurikulum ke dalam praktiknya,” ungkap
Ino yang pernah menjadi Guru Inspiratif
Indonesia versi TVRI.
Senada dengan Ino, Kepala BPMP Provinsi NTT, Herdiana,
S.T., MBA., mengatakan kebijakan Merdeka Belajar merupakan langkah untuk
mentransformasi pendidikan demi terwujudnya sumber daya manusia unggul
Indonesia yang memiliki profil pelajar Pancasila.
Merdeka Belajar, sambung Herdiana, terdiri atas
dimensi kualitas dan keadilan. Kedua dimensi tersebut, ujarnya, harus dicapai
dan terwujud dalam praktik atau pengimplementasian Merdeka Belajar.
“Dimensi kualitas itu memastikan semua anak
mendapatkan pengalaman belajar, hasil belajar, kompetensi, dan karakter yang
baik. Sedangkan, dimensi keadilan berarti semua itu harus dialami dan diperoleh
semua anak didik tanpa terkecuali. Artinya, semua berjalan secara merata,”
tambah Herdiana.
Herdiana pun mengafirmasi bahwa kurikulum harus
disesuaikan dengan kondisi siswa dan bukan sebaliknya, sehingga dapat
mewujudkan kemerdekaan berpikir di kalangan anak didik.
Sejalan dengan itu, Owner dan Pendiri Sekolah Alam Manusak, Yahya Ado, melihat Merdeka
Belajar sebagai jembatan menuju masa depan. Sebagaimana tema diskusi yang
diangkat, Yahya turut menggambarkan situasi terkini dan tantangan yang akan
dihadapi di masa depan.
“Saya melihat Merdeka Belajar ini sebagai jembatan di
masa depan. Yang menjadi persoalan masa kini dan masa depan adalah globalisasi.
Masa depan akan menawarkan kemajuan yang lebih canggih dan tentunya kehidupan
akan berlangsung dalam mode persaingan. Untuk itu, generasi muda kita harus
siap sehingga tidak kesulitan nantinya,” terang Yahya.
Bagi Yahya, Merdeka Belajar sebenarnya mengajak dan
mendorong semua pihak untuk belajar menumbuhkan inspirasi, berpikir kritis,
kreatif, berinovasi, dan berkolaborasi. Hal itu, tegasnya, disebabkan oleh
kondisi anak-anak didik yang berbeda-beda dengan keunikannya masing-masing.
Anak-anak didik, lanjutnya, harus diarahkan untuk
berpikir secara lebih bebas dalam menentukan masa depannya. Hal tersebut, ujar
Yahya, juga wajib didukung oleh keteladanan (role model). Oleh sebab itu, Yahya menekankan pentingnya belajar
sepanjang hayat (long life education)
sebagaimana diarahkan oleh kebijakan Merdeka Belajar.
Merayakan Kemerdekaan, Menata Masa Depan
Tidak terasa, waktu menunjukan pukul 18.45 Wita. Hampir
empat jam berjalan. Diskusi pun berakhir dengan pernyataan penutup dari Owner dan Pendiri Sekolah Alam Manusak
serta Direktur Cakrawala NTT selaku inisiator penyelenggaraan diskusi.
Hasil diskusi publik tersebut ingin mendorong dan mewujudkan
kebijakan Merdeka Belajar sebagai inspirasi dan semangat pergerakkan pendidikan,
bukan semata pedoman administratif. Merdeka Belajar harus menjadi fundamen penataan
masa depan yang lebih baik, apalagi di tengah kemajuan iptek yang kian hari
tidak terbendung.
Memang benar pernyataan Pater Peter sebelumnya bahwa
dunia pendidikan harus menjadi agen pembebasan sosial, sebab kemerdekaan
merujuk pada kebebasan, kemandirian, dan kedaulatan sebagaimana ucapan Soekarno
dulu. Bangsa yang merdeka adalah bangsa yang bisa menentukan, menata, dan
menjamin masa depannya sendiri.
Memang masih terdapat berbagai persoalan di tengah
kemerdekaan bangsa ini, seperti angka kemiskinan yang tinggi, pengangguran dan
minimnya lapangan kerja, stunting,
angka buta huruf yang tinggi, hingga keberhasilan belajar yang selalu diukur
dengan kemampuan menghafal, tetapi optimisme perubahan harus selalu ada.
Optimisme itu bisa tercapai dengan proses pembangunan
manusia yang baik. Kita (manusia) harus menentukan sejarah secara merdeka,
produktif secara ekonomi, dan efektif secara sosial.
Jika paradigma pembangunan manusia menekankan
peningkatan kemampuan atau kapasitas, maka kebijakan Merdeka Belajar memberikan
ruang belajar untuk memanfaatkan kemampuan dan kapasitas itu guna menciptakan
masa depan yang lebih baik. Merdeka! (MDj/red)
0 Comments