Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

Fakultas Filsafat Unwira Kupang Gelar Seminar Nasional Terkait Politik Identitas

 

(Suasana Seminar Nasional terkait Politik Identitas yang diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat Unwira)


Kupang, CAKRAWALANTT.COM - Fakultas Filsafat Universias Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang menyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk “Politik Identitas dalam Proses Berdemokrasi di Indonesia”, Sabtu (13/5/2023), di Ballroom St. Hendrikus, Gedung Rektorat, Kampus Penfui.

 

Seminar Nasional tersebut menghadirkan 3 Narasumber, yakni Dr. Bonifasius Hargens, Dr. Budhy Munawar-Rachman, dan Dr. Norbertus Jegalus, serta dimoderatori oleh Dosen Fakultas Filsafat Unwira, Pater Peter Tan, SVD., M.Fil.


Baca juga: Diskusi tentang Politik Identitas, Unwira Hadirkan Dr. Boni Hargens, Dr. Budhy Munawar-Rachman,dan Dr. Nobertus Jegalus  


Seminar tersebut dihadiri oleh Rektor Unwira Kupang, Pater Dr. Philipus Tule, SVD., Dekan Fakultas Filsafat Unwira, Rm. Drs. Yohanes Subani, Pr., Lic., para Dosen Fakultas Filsafat Unwira, Mahasiswa/i Fakultas Filsafat dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unwira, Alumni Fakultas Filsafat, serta beberapa Mahasiswa/i dari Perguruan Tinggi (PT) di Lingkungan LLDIKTI Wilayah XV.



Dalam sambutan pembukanya, Rektor Unwira Kupang, Pater Dr. Philipus Tule, SVD., mengucapkan terima kasih kepada Panitia Seminar Nasional Filsafat yang telah memilih tema yang sangat menarik dan relevan dengan situasi di ambang persiapan Pemilu 2024.

 

“Ada begitu banyak tema filsafat, tapi lebih menarik ketika kita berfilsafat tentang identitas diri, politik, politik identitas, dan identitas politik, tentang demokrasi sebagai ‘Indonesia’. Oleh karena itu, pada kesempatan istimewa ini, saya mengajak kita sekalian untuk lebih sungguh berfilsafat tentang politik identitas. Prof. Dr. M. Arskal Salim, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menyebutkan politik identitas dalam Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora sebagai kendaraan yang membawa aspirasi, tuntutan kepentingan politik, dan ideologi politik,” ungkap Pater Philipus.

 

Menurutnya, ada beberapa contoh fenomena politik identitas di seluruh dunia, antara lain gerakan sosial politik di dalam maupun luar negeri, seperti Gerakan Afro-Amerika yang mengklaim persamaan ras, Gerakan Emansipasi Gender yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan dalam ketenagakerjaan, Gerakan Sunni Minoritas di Iraq dan Syria bersatu menjadi ISIS, Gerakan Syi’ah Minoritas di beberapa Negara Islam bersatu dalam Gerakan Islam Radikalis, Gerakan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang memperjuangkan hak pengelolaan tanah ulayat di Indonesia, Gerakan Kelompok Sayyid dan Habib yang memperjuangkan pengakuan yang lebih tinggi akan martabat mereka sebagai keturunan Nabi, dan yang lainnya.

 

“Semoga Seminar Nasional ini membawa pencerahan bagi semua masyarakat Indonesia untuk mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang pluralis. Oleh karena itu, Seminar ini harus dimanfaatkan secara positif agar berguna untuk kegiatan akademik di Universitas dan masyarakat kita,” ujar Pater Philipus.



Antara Politik Identitas dan Politisasi Identitas

 

Sebagai Narasumber pertama, Dr. Budhy Munawar Rachman membawakan materi berjudul “Politik Islam, Islam Politik, serta Politik Islam dan Demokrasi Indonesia”. Dosen STF Driyarkara tersebut berbicara tentang pertumbuhan dan perkembangan Islam bersamaan dengan pertumbuhan dan perkembangan sistem politik yang diilhaminya. Setelah itu, ia juga berbicara tentang Islam Politik dan Demokrasi di Indonesia.


Baca juga: Unwira Kupang Buka Penerimaan Mahasiswa Baru, Begini Prosedur Pendaftarannya  


Menurut Budhy, dengan mengutip pendapat dari Charles Taylor, demokrasi itu teologis dan merupakan upaya kolektif dengan tujuan mulia, yakni inklusi.

 

“Oleh karena itu, ketika agam dihadapkan pada demokrasi, kita berusaha menunjukkan agama yang inklusif. Kita perlu mentransformasi identitas dri eksklusif menjadi lebih inklusif, dari Politik Islam yang eksklusif (Politik Identitas) ke Politik Islam yang inklusif, Islam Nusantara yang berkemajuan, sehingga terbentuk keislaman, kemodernan, keindonesiaan, dan kemanusiaan,” jelasnya.



Sementara itu, Dr. Bonifasius Hargens, selaku Narasumber kedua, mengatakan esensi dari politik identitas ialah ketika dalam suatu struktur yang luas, kebutuhan-kebutuhan dari para pemilik identitas tertentu tidak terpenuhi, sehingga mereka pun pergi ke identitas mereka dan memperjuangkan kebutuhan mereka.

 

“Politik identitas adalah pendekatan politik dimana sekelompok orang tertentu mendasarkan pemikiran dan agenda politik mereka pada identitas tertentu, seperti agama, ras, suku, jenis kelamin, isu, dan faktor penentu lainnya. Dalam literatur ilmiah, istilah tersebut tetap menjadi konsep yang diperdebatkan. Ada yang memahami politik identitas sebagai gerakan sosial baru, sedangkan yang lain melihatnya sebagai ideologi yang muncul di masyarkat kontemporer,” terang Bonifasius.

 

Menurut Bonifasius, ketika Orang-orang Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Queer, dan lain-lain (LGBTQ+) sedang memperjuangkan identitas mereka, maka mereka sedang melakukan politik identitas dan ada militansi dari identitas itu.



“Hal yang dipersoalkan dari politik identitas saat ini ialah perilaku, sikap, dan tindakan dari pihak-pihak tertentu yang menggunakan politik identitas untuk menggapai kekuasaan. Namun, dalam sejarah politik Indonesia, partai-partai yang berbasis agama yang tidak pernah meraih suara melebihi 25%. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa negari kita ini sangat open minded dan sangat toleran,” ungkap Bonifasius.

 

Sedangkan, Dr. Nobertus Jegalus, selaku Penanggap untuk Dr. Bonifasius Hargens dan Dr. Budhy Munawar Rachman, mengatakan politik identitas itu tidak an sich, tetapi baik.


Baca juga: Mempersiapkan Lulusan yang Siap Kerja, Unwira Berkomitmen Melalui Program Inkubasi Persiapan Kerja  


“Dengan kata lain, politik identitas tidak per essentiam (tidak dari kodratnya) buruk, tetapi hanya per accidens (secara aksidental). Yang an sich itu ialah politisasi identitas. Politisasi identitas per essentiam memang buruk karena politisasi identitas adalah instrumentalisasi identitas tertentu, entah itu agama, suku, ras, jenis kelamin, dan golongan untuk mencapai suatu tujuan politik,” tuturnya.



Menurutnya, politik identitas itu baik bila berjuang melawan hal-hal yang tidak adil, kekerasan, perang, dan hal-hal destruktif lainnya.

 

“Namun, politik identitas itu buruk kalau hanya mempromosikan identitas tertentu untuk mendapatkan kekuasaan tertentu, sehingga itulah yang dinamakan politisasi identitas, yakni menginstrumentalisasi sentimen agama dan suku untuk mencapai suatu tujuan politik,” pungkas Nobertus. (MDj/red)


Post a Comment

0 Comments