Oleh
: Mario Djegho
(Bergiat
di Akademi Cakrawala NTT)
CAKRAWALANTT.COM - Mengimajinasikan sebuah kondisi
masyarakat yang ideal tentunya adalah hal yang menarik. Kondisi ideal tersebut
bisa terlihat dari kenyamanan dan keamanan rutinitas masyarakat, alotnya proses
interaksi sosial yang berlangsung, serta kuatnya kompetisi, adaptasi, dan
inovasi yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Semua itu bisa
berjalan secara baik dan regulatif apabila setiap anggota masyarakat mampu
meng-upgrade diri menjadi lebih
literat.
Menjadi literat berarti mampu bersikap
dan bertindak secara kritis, kreatif, inovatif, serta mampu menjawabi segala
tantangan zaman sambil mencerdaskan peradaban. Untuk sampai pada kondisi
tersebut, maka salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan meningkatkan
kapasitas literasi.
Definisi terkait literasi sangat luas
dan kontekstual. Elizabeth Sulzby, seorang Professor Pendidikan dari University of Michigan yang menggagas
konsep emergent literacy (literasi
usia dini), mendefinisikan literasi secara sederhana sebagai kemampuan
berbahasa yang dimiliki oleh seseorang dalam berkomunikasi. Kemampuan tersebut
terdiri atas kegiatan membaca, berbicara, menyimak dan menulis.
(Foto: Arsip cakrawalantt.com) |
Dengan demikian, ketika tingkat literasi
di sebuah masyarakat tergolong rendah, maka secara tidak langsung proses
pembangunan manusia belum bisa berjalan sebagaimana mestinya karena minimnya kemampuan
dan keterampilan menulis, berbicara, menghitung, dan mungkin tidak mampu
memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu. Hal itu tentunya akan
berpengaruh pada proses pembangunan, baik secara fisik (infrastruktur) maupun Sumber
Daya Manusia (SDM).
Namun,
peningkatan kapasitas literasi bukanlah hal yang mudah. Dilansir dari https://www.kemenkopmk.go.id/, persoalan literasi masih
menjadi hal yang harus dibenahi di Indonesia. Berdasarkan survei yang dilakukan
Program for International Student
Assessment (PISA) yang dirilis Organization
for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, Indonesia menempati
peringkat ke 62 dari 70 negara atau merupakan 10 negara terbawah yang memiliki
tingkat literasi rendah.
Selain data
tersebut, masih banyak lagi persoalan-persoalan pelik di masyarakat yang
berkaitan erat dengan kemampuan literasi. Untuk itu, Kementerian Koordinator
Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) merancang “Peta Jalan
Pembudayaan Literasi Nasional” pada Kamis, 18 November 2021, guna memandu
kerja-kerja literasi yang bisa mewujudkan tujuan bersama.
(Foto: Edukasi Kompas) |
Dalam praktiknya,
literasi harus diadaptasi menjadi sebuah budaya atau habitus baru dalam
kehidupan masyarakat. Secara umum, literasi dasar mencakup literasi
membaca dan menulis, literasi sains, literasi numerasi, literasi budaya dan
keluarga, serta literasi media atau digital. Kelima bentuk literasi tersebut
merupakan salah satu komponen penting yang harus dikuatkan bersama karakter dan
kompetensi guna mewujudkan SDM yang mumpuni menjelang Indonesia Emas pada tahun
2045 mendatang.
Untuk itu, ada tiga unsur utama yang
harus saling berkolaborasi dalam konteks penguatan literasi, yakni keluarga,
sekolah, dan masyarakat. Ketiganya harus bekerja sama layaknya sebuah tungku
api. Literasi keluarga berguna untuk membentuk karakter seseorang, literasi
sekolah berfungsi untuk membentuk kecakapan intelektual sebagai peserta didik,
dan literasi masyarakat bertujuan untuk mempersiapkan seseorang dalam proses
pembinaan menuju pribadi sosial yang berbudaya.
Apabila ketiganya berjalan dalam
sinergisitas dan kolaborasi, maka visi utama untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa akan terealisasi secara nyata. Dengan melek literasi, maka generasi
Indonesia bisa meningkatkan kualitas diri secara baik. Oleh sebab itu, semua pihak
harus mampu membangun kolaborasi untuk mewujudkan generasi Indonesia yang melek
literasi, berkarakter, dan kompeten. (red)
0 Comments