Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

ORANG-ORANG KEPUNYAAN TUHAN

(Catatan Kenangan untuk Ayah Bernadus Jega dan Sr. Anggela Rosa, SSpS)

  



Oleh : Gusty Rikarno

(Sahabat Kecil Tuang Guru Nadus dan Sr. Anggela Rosa, SSpS)



CAKRAWALANTT.COM - Angin bertiup lembut. Meliuk-liuk menembus pori-pori tubuh dan sesekali mengigit tulang dengan manja. Beginilah Bulan Juni dan Juli di tahun ini. Seperti tidak biasanya, bulan ini seperti Desember dan Januari. Ada perubahan iklim yang amat terasa. Ada nada dan rasa yang hadir bersamaan hingga Natal dan Tahun baru sulit dibedakan lagi. Begitulah sekarang. Situasi menjelang liburan dan masuk sekolah hampir sama. Semuanya ingin bersukacita dan bergembira dengan caranya sendiri. Saya adalah saksi dari semua suasana yang memang sengaja diciptakan dan yang datang apa adanya.

 

Ada kabar menarik yang datang dari Utara Manggarai tahun ini. Ada desa yang pernah abadi dalam sejarah tentang kediaman seorang Dalu. Rego namanya. Di kampung ini, ragam narasi dibaca dan didengar. Legenda Watu Timbang Raung dan Nisi Ketek adalah dua contoh dari sekian banyak yang ada tentang desa yang tak ingin hilang dan tenggelam begitu saja. Kamu bakal tahu “gaibnya” kampung ini. Sekali saja kamu mneginjakkan kaki dan menikmati setetes air dari dapur masyarakat kampung ini, maka tidak akan terlintas niatmu untuk segera meninggalkan atau melupakan kampung ini.

 

Ada suara dan warna yang hadir begitu saja dan memaksa kamu datang kembali. Memandang wajah masyarakat di kampung ini, kamu seperti sedang berada di taman safari yang menyuguhkan aneka warna bunga yang memanjakan mata. Mereka diam dalam wajah cemberut saja sudah bikin kamu geli dalam rasa panasaran. Apalagi kalau mereka tersenyum dan tertawa lepas. Bikin nyaman. Itulah Rego, kampung sejuta ceria dan rasa yang selalu bergetar.

 

***

 

Kabar tentang jalan raya yang baru selesai di-hotmix dan PLN yang bakal masuk di kampung ini adalah cerita tua yang terasa biasa walau ada sedikit rasa bangga dan haru. Beberapa yang lain menilai bahwa Desa Rego baru diperhatikan negara dan kini baru bergerak menuju gerbang “kemerdekaan”.  Namun sesungguhnya, kampung ini (Desa Rego) dikenal dan dikenang justru bukan karena infrastruktur fisiknya. Kampung ini dikenal (terkenal) karena infrastruktur berpikir masyarakatnya. Masyarakat Desa Rego dan sekitarnya seperti serpihan masyarakat Israel yang abadi kerena “pikiran” masyarakatnya.

 

Puluhan tahun tidak diperhatikan pemerintah dari sisi infrastruktur fisik, seperti jalan, listrik, air minum dan sebagainya tetapi mereka tampak “enjoy”, betah, dan asyik menikmati situasi itu. Tidak ada demonstrasi, sikap apatis terhadap kewajiban yang diberikan negara dan atau beragam sikap protes (pembangkangan) lainnya. Masyarakat di desa ini tahu bahwa mengeluh bukanlah solusi. Maka jalan cerdas dan elegan yang mereka lakukan adalah memperkuat infrastruktur berpikirnya. Jalan untuk “meng-hotmix” pikiran hanyalah lewat pendidikan. Haram hukumnya untuk tidak sekolah. Semua orang tua mewajibkan anak-anaknya untuk sekolah minimal SLTA. Sangatlah rasional bila kemudian kita bertanya, siapa sajakah sosok di balik pembangunan infastruktur berpikir masyararakat Desa Rego? Pertanyaan ini penting dan substansial.

 

Angin bertiup lagi membawa kabar tentang akhir Juni yang basah dan aneka kecambah kenangan akan sosok seorang Bernadus Jega, seorang guru, pemikir dan penerobos pembangun pendidikan Desa Rego. Ia adalah tanda sekaligus simbol yang bisa dijadikan contoh tentang arti kata perjuangan, pengorbanan, dan pengabdian tanda pamrih. Ia dipanggil Tuhan dalam satu sapaan yang masih sama. Tuang Guru Nadus. Ia menghadap Sang Khalik dalam nafas, niat, dan semangat yang sama, yakni mencerdaskan generasi bangsa. Acara kenduri atau kelah untuknya seturut adat Manggarai dilaksanakan di akhir Juni yang cerah. Ia (Tuang guru Bernadus Jega) akan dilepas-pergikan.

 

Menurut P. Dr. Aleks Jebadu, SVD yang berada dalam garis keturunan yang sama dengan Tuang Guru Nadus, upacara pesta kenduri kematian berkaitan erat dengan pandangan manusia tentang kematian badan dan kepercayaan akan hidup baru sesudah kematian badan. Menurut agama asli orang Manggarai dan suku-suku lain di Flores maupun di dunia pada umumnya, manusia terdiri atas badan dan jiwa. Selama manusia masih hidup di dunia, badan dan jiwa begitu menyatu sehingga sulit dibedakan atau diidentifikasi mana badan dan mana jiwa. Ketika seseorang meninggal roh-nya perlahan-lahan meninggalkan dunia orang hidup dan pergi ke alam baka. Pada saat itulah, sanak-saudaranya yang masih hidup di dunia melepaskan dia dan mengucapkan selamat jalan kepadanya. Upacara pelepasan roh orang meninggal untuk berangkat secara definitif ke alam baka ini yang kemudian disebut upacara pesta kenduri kematian atau kelah.



Tuang guru Bernadus Jega “pergi” di akhir Juni. Bulan yang cerah dan ceria setelah melewati Januari hingga Mei yang penuh pergumulan, perjuangan, dan air mata. Sekian banyak generasi dan pemikir-pemikir muda datang dari Rego. Mereka berkarya sampai ke jauh dan penjaga tungku api peradaban itu masih setia berdiri sampai akhirnya menyerah pada waktu dan bergegas menuju Surga Abadi. Jejak-jejak perjuangan, keringat, dan air matanya tidak diabadikan dalam gedung yang mewah, tetapi jalan pikiran masyarakat yang di-hotmix dan terang benderang. Dia adalah guru yang berani meleburkan diri hingga tuntas di jalan pendidikan. Dia layak disebut pahlawan pendidikan manusia Rego.

 

Sebentar lagi Juli segera tiba. Adiknya, Sr. Anggela Rosa, SSpS bakal merayakan 50 tahun hidup membiara. Sr. Angela (sapaannya) merayakan pesta emas hidup membiara di awal Juli yang belia. Beribu narasi tentang sang kakak Bernadus Jega yang dilepas-pergikan di akhir Juni akhirnya mendapat bentuk yang nyata dan hidup dari diri sang yubilaris. Kesetiaan untuk menghidupi kaul-kaul kebiaraan selama 50 tahun tentunya tidak terlepas dari sosok pahlawan pendidikan itu. Walau dilahirkan dari rahim yang berbeda, tetapi mereka datang dari ayah yang sama, Yosep Ansek.

 

Keduanya (bernadus dan Sr. Angela) dididik dengan cara yang keras, rasional, dan “professional” dari sang ayah yang bergelar “Watu Api” (batu api). Batu pendirian yang keras tetapi bernyala (mencahayai). Api itu sungguh membakar imajinasi mereka untuk menjadi diri yang setia dan rela melebur untuk kemuliaan Tuhan dan kebahagiaan sesama. Keduanya adalah orang-orang kepunyaan Tuhan.

 

Di titik ini, Pesta Kenduri dan Pesta Emas menyatu dalam narasi yang sama dan hidup. Kampung Rego telah mendesain dua momen waktu yang indah. Sang kakak dilepas-pergikan dengan lembut dan menyambut sang adik dengan manis. Bernadus Jega dan Sr. Angela, SSpS membawa nuansa rasa yang sangat simbolik tetapi sarat makna. Di titik ini, masa lalu dan masa depan, tangisan dan senyuman, Natal dan tahun baru, Tabor dan Golgota berada pada satu titik yang sama. Maka genaplah Mazmur 118: 1 yang berbunyi, “Bersyukurlah kepada Tuhan, sebab ia baik, bahwasannya untuk selama-lamanya kesih setia-Nya”.



***

 

Angin yang meniup itu tetap sama. Roh yang sama telah membuat hati bergetar dan pikiran menerobos hingga ke celah-celah cadas yang keras. Merasa dan berpikir adalah dua hal yang selalu saling mengandaikan. Jika kemudian kamu harus berpikir keras ketika berhadapan dengan dirimu sendiri, maka gunakan hatimu saat berhadapan dengan orang lain. Begitulah si “watu api” untuk mendidik putra dan putrinya. Kecerdasan itu ternyata seperti air. Mengalir dari ketinggian tertinggi hingga kerendahan yang terendah, menerobos setiap belantara kehidupan dan menghidupkan. Walau suatu titik dia berhenti dan menguap untuk kembali pada langit, tetapi ada sekian banyak jejak yang tertinggal dan membekas abadi.

 

Akhir Juni yang lembut dan awal Juli yang manis. Kita bertemu di Rego. Kampung yang selalu menghadirkan sejuta inspirasi dan kenangan. Ada nama yang bakal tertulis abadi. Selamat Jalan Ayah Bernadus Jega. Bahagialah engkau di Surga. Ada namamu tetapi abadi di sini. Di hati ini. Ijinkan kami untuk menyambut adikmu Sr. Angela Rosa, SSpS dalam tarian syukur yang membahana. Merayakan 50 tahun kesetiaannya menghidupi kaul-kaul kebiaraan. Kalian adalah kami yang selalu ingin ada dan mengalir seperti air. Orang-orang kepunyaan Tuhan yang abdi di jatung generasi dan semesta. (MDj/red)


Post a Comment

0 Comments