Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

MERAYAKAN “KE-GILA-AN”

 (Ber-literasi A’la Penghuni Bukit Sandar Matahari Ledalero)


Oleh : Gusty Rikarno, S.Fil

(Jurnalis Media Pendidikan Cakrawala NTT)



Prolog

 

Pagi yang sunyi. Damai dan abadi. Lonceng gereja itu “meraung” bersahutan. Ada nama, kenangan dan mimpi setengah sadar yang pernah terpahat. Ledalero, bukit sandar matahari. Di sini dan di tempat ini, saya pernah ada. Mengecap sebagian besar rahasia Ilahi dalam nama yang juga tidak biasa.

 

Biarawan misionaris Serikat Sabda Allah. Benar, kami disebut sebagai calon imam misionaris SVD. Dari ratusan yang ada, saya adalah salah satunya. Suka dan duka dijalankan begitu saja. Ada di satu puncak, saya merasa berada hampir dekat dengan tangga terakhir Surga abadi tetapi akan tiba saatnya saya tertunduk hingga merasa berada di tangga pertama menuju neraka.

 

Yah, merasa sangat tidak berdaya dan rapuh di hadapan cahaya matahari. Begitulah seterusnya hingga keajaiban itu terjadi. Tuhan menuntunku kembali pada tempat dan situasi berbeda. Anggota serikat awam SVD. Walau demikian, saya masih seperti dulu. Merindu untuk selalu mengecap rahasia Ilahi dalam keadaan tidak berjubah. Saya ingin tetap berada sebagai bagian dari tim misionaris SVD. Hingga keajaiban itu terjadi. Di saat ini, saya dan sebagian sahabat lainnya lainnya disebut (disapa) sebagai misionaris awam SVD.

 

 Saya seorang SVD? Benar. Saya seorang misionaris yang terus mengembara. Bukit sandar matahari ini adalah saksi bisu yang bakal menegaskan itu. Di awal bulan kedua tahun 2020 ini, saya kembali hadir. Mereguk suasana yang pernah ada. Sunyi, damai dan abadi. Ada lonceng geraja yang “meraung” gembira, menyambutku sebagai saudara dalam senyum. Ada sapaan manja dan tawa ria sama saudaraku.

 

Mereka masih setia di meja makan dan kapela yang sama. Beraktifitas dengan rutinitas yang sama. Membaca, berdoa dan menulis. Nyawa dari seluruh gerakan literasiku saat ini sebenarnya ada di sini. Tidak percaya, perhatikan saja. Ada ratusan bahkan ribuan judul buku yang dimiliki para misionaris ini di kamarnya. Mengagumkan.

 

Kamar mereka dipeduhi buku. Bukan baju atau sepatu dalam segala merek. Bukan pula disesaki oleh barang mewah seperti televise, kulkas atau AC. Mereka tetap seperti itu. Sederhana, rendah hati dan bertekun dalam doa. Tetap setiap membaca, membaca dan menulis.

 

Hari hampir malam. Kami diundang datang dan menikmati makan malam sebagai bagian dari ritus kehidupan di bukit ini. Bagi mereka (kami), makan bersama adalah cara untuk merayakan kehidupan, persaudaran dan juga bagian dari doa. Di meja makan yang sama, tidak ada dikotomi atau semacam sebuatan senior-junior. Tidak ada. Silahkan mengambil makanan yang ada tanpa merasa mendahui atau di-kemudian-kan.

 

Meja makan adalah bagian dari altar kehidupan yang mendapat bagian yang sama. Baru hadir kembali di sini, banyak pastor senior mengira bila saya adalah bagian dari para imam misonaris luar negeri yang datang berlibur. Saya tersenyum dan mengangguk setuju tanpa harus membantah bila ada yang “memaksa” demikian. Toh, saya memang seorang misonaris. He….e…..e…. Kami terkekeh bersama setelah beberapa yang lain memperkenalkanku. Mantan frater dan mahasiswa yang sudah memilih dan berada di jalan lain menuju Roma.

 

Mutiara Literasi dari Ledalero

 

Mari kita melangkah lebih jauh, bagaimana cara mereka (kami) ada dan menikmati hidup di puncak bukit sandar matahari ini. Jika tidak biasa, maka dugaan awal bakal muncul. Ada segerombol orang yang sudah berpikir gila walau tetap konsisten bertindak waras. Sejumlah lelaki perkasa yang datang dari berbagai belahan wilayah dan bersepakat (bersumpah) untuk hidup bersama sebagai sebuah komunitas persaudaraan.

 

Mereka meninggalkan sekian banyak warisan kekayaan keluarga dan hasrat untuk menikahi seorang perempuan untuk membangun kehidupan berkeluarga. Mereka sedang merayakan “kegilaan” akut yang bakal tidak bisa dimaafkan oleh cara berpikir masyarakat awam. Memberi diri secara total hingga tuntas pada Dia yang disebutnya Sahabat, Guru dan Tuhan. Tiga kaul dihidupi hingga hembusan nafas terakhir.

 

Kaul kemurnian, kemiskinan dan ketaatan pada kaki Tuhan yang mengorbankan dirinya di kayu salib. Yesus Kristus, namanya. Anak tukang kayu yang pernah ada dan hidup di Nasaret, sebuah desa kecil di wilayah Timur Tengah. Mereka mengangumi kehidupan Yesus dan merasa bagian dari jalan atau visi hidupnya. Allah Tritunggal yang diimaninya datang dan memanggilnya secara ajaib. “Ketahuilah, barangsiapa yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memanggul salib dan mengikuti aku”. Begitulah cara mereka mengimani dan merayakan “ke-gila-an”.

 

Mereka sudah “gila” kawan. Sudah begitu, mereka merayakannya lagi. Bagi mereka (kami), merayakan “ke-gila-an” adalah jalan menuju kekudusaan. Sang pendiri SVD, St. Arnoldus Jansen juga pernah dituduh oleh para sahabat dan orang dekatnya sebagai orang gila. “Dia ini orang gila atau orang kudus”. Benar, mereka gila dalam hal berpikir tetapi tetap konsisten untuk bertindak waras bahkan melampaui definisi kewarasan itu sendiri.

 

Mereka bekerja dan berdoa untuk kemuliaan Tuhan dan kebahagiaan sesama. Kini, “ke-gila-an” mereka bagai virus corona yang mampu menyerang siapa saja. Saya adalah salah satu korbannya. Walau tidak berjubah dan berbaju awam, kegilaan itu tetap ada dan membekas hingga raga ini tak bernyawa.

 

Ledalero itu adalah tentang berpikir. Begitulah filsafat itu. Bepikir tentang bagaimana seharusnya berpikir. Kita tiba di titik itu. Ada yang salah dalam cara kita berpikir, bila menyamakan filsafat itu dengan berbagai bidang ilmu lain yang sifatnya lebih spesifik. Benar bahwa filsafat itu adalah ibu segala ilmu. Membahas tentang politik, sosiologi, budaya dan sebagainya bermula (berdasar) pada ilmu filsafat manusia.

 

Atau dengan kata lain, filsafat memampukan kita mengetahui banyak hal tentang mamnusia dengan seluruh dinamika dan kemampuannya berpikir. Bukit sandar matahari telah menghadirkan sekian banyak pemikir yang berpikir tentang bagaimana seharusnya berpikir. Ada semacam telaga ilmu yang bakal ditimba saat kita memberi diri dan mencintai kebenaran apa adanya.

 

Pernahkah kita mengerti tentang seorang Pilatus yang bertanya, apa itu kebenaraan? Mengapa ia bertanya demikian? Jawabannya sederhana, karena Pilatus belum mampu berpikir malampui dirinya sendiri. Kebenaran itu adalah tentang bagaimana kita mencintai kebijaksaan yang diperoleh dari narasi yang dihidupkan dalam aksi. Narasi itu adalah kata. Kata (sabda) yang bakal mendaging bila diimplementasikan dalam satu bentuk.

 

Rasul Paulus berujar, iman tanpa perbuatan adalah mati. Demikian teks (kata) yang tidak mampu diimplementasikan dalam konteks hidup harian bakal mati. Artinya, kata (narasi) harus berbentuk dalam satu aksi yang jelas dan terarah pada kebahagiaan sesama dan kemuliaan Allah. Pilatus tidak mengerti tentang kebenaran karena narasi yang dibicarakannya tentang keadilan tidak diwujudkan. Ia akhirnya mencuci tangan dan membiarkan Yesus disalibkan karena ketidakmampuan mengkonkritkan kata (narasi) keadilan itu sendiri.

 

Penghuni Ledalero diarahkan, dididik, ditempa bahkan dibakar bagai logam untuk dimurnikan. Hal pertama yang harus dimurnikan adalah tentang motivasi. Mengapa ia ingin belajar tentang dan untuk kebijaksanaan itu. Apa itu kebijaksanaan? Motivasi yang sudah dimurnikan bakal menjadi titik api yang menggerakan (membangkitkan) seluruh imajinasi dan aksi seorang untuk memberi diri pada kebenaran itu. “Diligite lumen sapientiae” (Cintailah terang kebijaksanaan).

 

Pertanyaan tersisa, dimanakah jalan menuju kebijaksaan dan kebenaran itu? Jawabannya ada pada aktifitas membaca. Membaca buku dan membaca tanda-tanda zaman. Aktifitas membaca bakal membuka seluruh pikiran, perasaan dan imajinasi untuk tetap merasa tidak mengetahu apa-apa. Sokrates, pernah berujar, “saya tidak tahu. Satu hal yang saya tahu bahwa saya tidak tahu”. Hanya dengan merasa tidak tahu, kita mau untuk terus membaca, belajar dan menimba kebijaksaan Ilahi dan semesta.

 

Pernahkah mendengar kisah pertobatan St. Agustinus? Seorang asing yang pernah disebutkan bahwa malaikat menyuruhnya dengan satu kalimat biasa tetapi penuh magis. “Ambil dan bacalah”. Salah satu literasi dasar adalah aktifitas membaca. Menuliskan judul “Merayakan Ke-gila-an” ini berawal dari caraku membaca pengalaman hidup dan situasi di bukit sandar matahari ini. 

 

Epilog

 

Ledalero masih seperti dulu dan akan tetap begini hingga nanti. Perubahan zaman boleh berganti tetapi kerinduan untuk mencintai kebijaksanaan dan kebenaran tetap sama. Pada pelipit bukit ini, matahari itu tetap setia bersinar. Menyingkap tabir kebenaran dalam satu cara merasa dan berpikir. “Saya tidak tahu. Satu hal yang diketahui bahwa saya (kita) tidak tahu”. Mencari tahu adalah aktifitas manusia hingga keabadian. Manusia adalah pengembara yang melintasi aneka situasi serba tidak pasti.

 

Hanya ada satu yang pasti bahwa kita ada dan berpikir. Rene Descartes berujar, “Saya berpikir maka saya ada”. Dengan demikian, hanya pikiran yang tidak pernah mati. Satu cara untuk menyelamatkan wajah hanyalah dengan berpikir. Literasi dan Ledalero adalah bagian dari cara berpikir itu sendiri.

 

Yah, berpikir tentang bagaimana berpikir. Aktifitas membaca adalah keniscayaan. Membaca adalah jalan pulang atau menuju kebijaksanaan dan kebenaran itu sendiri. Jika semuanya terasa cukup, ikutilah ajakan Sang Guru Ilahi, “Mari kita pergi ke lembah”. Lembah adalah arena karya. Waktu dan tempat yang tepat untuk mengkonkritkan seluruh aktifitas membaca di bukit sandar matahari ini. Salam hangat dari bukit sandar matahari Ledalero. Salam Cakrawala, Salam Literasi. (MDj/red)


Post a Comment

0 Comments