Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

CERITA LOKAL (TOMBO TURUK/ NUNDUK) DAN UPAYA PENINGKATAN LITERASI BUDAYA


 

Oleh : Damasus Pitriarka Karuniawan Turut

(Guru SD Katolik Coal)



CAKRAWALANTT.COM - Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 telah mengantar sekolah memasuki konteks pendidikan abad 21 dengan tiga fokus kecakapan, yakni literasi, kompetensi dan karakter. Paradigma pendidikan Indonesia menjadi lebih terbuka terhadap dinamika perubahan. Dalam implementasinya, ada gerakan literasi yang sudah berjalan lebih dari lima tahun dengan giat aktivitas 6 komponen literasi dasar, yakni kemampuan baca-tulis, berhitung, sains, teknologi informasi dan komunikasi, keuangan, budaya dan kewarganegaraan. Ekspetasi dari  gerakan tersebut tentunya bertujuan untuk membentuk individu berkualitas dalam berbagai dimensi kehidupan secara komprehensif.

 

Tidak dapat dipungkiri, peserta didik sekarang menjadi bagian dari generasi digital native karena telah mengenal fitur digital sejak dini (Kemendikbud, 2016:9). Di sisi lain, akses pemahaman terhadap konsep literasi tetap perlu dikontrol. Di tengah upaya membangun keutuhan paradigma literasi, berbagai fenomena tampak mengkhawatirkan dan membuat resah ekosistem sekolah. Penulis melihat potret faktual bagaimana peserta didik terjebak dalam satu konsep semu literasi. Pengaruh “medan magnet digital” telah menarik peserta didik ke pengalaman yang sangat luas, bahkan di luar konteks pembelajaran.  

 

Fenomena ini dapat saja dimaknai sebagai sebuah upaya adaptasi terhadap perubahan zaman. Namun, bagaimana melihat aktualisasi literasi yang seimbang di antara keenam komponen yang ada? Apakah literasi budaya juga digiatkan selain teknologi dan informasi?  Menyebut contoh, apakah peserta didik memiliki pengetahuan tentang tombo turuk/ nunduk (dongeng) Manggarai?

 

Peserta didik memiliki kecenderungan mengabaikan kekayaan budaya lokal dan asyik menyelam dalam dunia teknologi digital. Dengan kata lain, tidak mengherankan bila topik tentang free fire, menjadi wujud ‘dongeng milenial’ yang banyak dibicarakan. Jika kembali bercermin pada ketiga fokus kecakapan di atas, maka sangatlah urgen untuk menyeimbangkan implementasi semua komponen literasi.

 

Masalah ini juga penulis temukan di kelas V SD Katolik Coal melalui observasi terbuka, dimana peserta didik lebih cenderung menceritakan pengalaman maya. Misalnya, peserta didik laki-laki asyik bercerita tentang konten game dan peserta didik wanita bercerita tentang isi sinema elektronik. Fakta ini hampir terjadi setiap hari di saat jeda pembelajaran.  

 

Jerome Bruner menekankan adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif bila guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang dijumpai dalam kehidupannya melalui contoh-contoh konkret yang menggambarkan aturan sebagai sumbernya (Dirman & Juarsih, 2014: 23).

 

Memahami budaya menjadi bagian dari desain pembelajaran wajib bagi peserta didik di era globalisasi sekarang ini. Literasi budaya adalah kemampuan untuk mengetahui budaya yang dimiliki bangsa baik kearifan lokal maupun nasional serta kemampuan dan keinginan untuk melestarikan serta mengembangkan kebudayaan tersebut (Jendela Pendidikan dan Kebudayaan, 2016:7).

 

Melihat Indonesia yang strategis karena memiliki kekayaan budaya berupa ragam suku, adat istiadat, bahasa, kebiasaan, dan komunitas sosial, maka dengan berliterasi budaya peserta didik dapat mengambil bagian mencegah lunturnya budaya nasional dari ekspansi budaya global yang kuat.

 

Dalam aktivitas pembelajaran, penulis bersama peserta didik mencoba menggali kembali satu unsur kearifan lokal dalam konteks budaya Manggarai.  Unsur kearifan lokal yang dimaksud adalah dongeng (tombo turuk/nunduk) atau cerita-cerita rakyat. Cerita yang biasa dilisankan tersebut secara operasional dihidupkan dalam nuansa pembelajaran di sekolah. Dongeng memiliki kekuatan membelajarkan peserta didik tentang makna, nilai, perilaku, karakter, serta fenomena sosial yang bercermin pada kisah dan tokoh.

 

Menginternalisasi makna-makna tersebut membantu peserta didik sukses dalam hidup dan menghindarkan mereka dari perilaku menyimpang seperti licik, pengecut, menipu, dan sebagainya (Terrell A. Young, dkk., 2010:15). Dongeng-dongeng Manggarai pun demikian, kaya makna budaya dan mudah dipahami nilainya.

 

Langkah awal yang dilakukan penulis adalah menyepakati dan menetapkan bersama bahwa mendongeng merupakan jejaring muatan mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Sosial Budaya Daerah (PLSBD). Mendongeng memiliki standar kompetensi khusus dalam mata pelajaran tersebut. Proses pelaksanaannya dilakukan dengan menyisipkan kegiatan bercerita pada akhir sesi pembelajaran.

 

Lebih lanjut, ditentukan hari saat kegiatan itu dilakukan. Bercerita dilakukan dengan membaca buku yang sudah disiapkan atau dengan alternatif lain, yakni memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bercerita. Peserta didik mengambil peran aktif karena dalam kegiatan ini mereka tidak hanya menjadi penyimak. Mereka lebih didorong menjadi pencerita.

 

Desain selanjutnya, peserta didik menulis satu contoh dongeng dan kemudian menceritakannya kepada yang lain. Kegiatan ini dilakukan dengan melibatkan orang tua dalam proses menggali cerita-cerita rakyat yang secara lisan masih bertahan di lingkungan tempat tinggal (beo). Penulis yakin bahwa banyak cerita yang masih ‘tersembunyi’ dan perlu ada orang yang mencarinya.

 

Pelibatan orang tua menjadi bagian penting sebagai wujud praksis kolaborasi pendidikan. Orang tua membantu peserta didik untuk menyusun cerita lisan dan dituangkan dalam bentuk tulisan bahasa daerah yang tepat. Proses ini membutuhkan skenario tenggat penyusunan yang disepakati. Dalam rentang waktu tersebut, penulis bertugas memfasilitasi proses penulisan dongeng. Artinya penulis berkewajiban memantau seluruh tulisan yang dibuat melalui koreksi alur, konfirmasi isi, dan latihan mendongeng cerita.

 

Agar menjadi lebih efektif, proses fasilitasi dibagi dalam dua kelompok besar berdasarkan asal kampung. Hal ini dilakukan agar cerita menjadi produk pembelajaran budaya yang baik, memiliki makna atau nilai, serta berasal dari sumber yang jelas.

 


Pada tahap akhir, hasil kegiatan cerita ini ditunjukan sesi mendongeng. Mendongeng dilakukan dengan konsep kultur Manggarai, sehingga beberapa hal yang berkaitan dengan itu disepakati, misalnya kostum atau pakaian yang dikenakan, desain dan etika presentasi. Ketekunan dalam menyelesaikan berbagai unsur kegiatan cerita mampu ditunjukan oleh setiap peserta didik. Terlihat bahwa saat mendongeng mereka mampu menunjukkan beragam potensi yang dimiliki.

 

Selanjutnya, penilaian atas kegiatan ini dilakukan pada setiap langkah yang meliputi tahap persiapan, proses pengerjaan dan pelaporan dengan beberapa subunsur di dalamnya. Penulis lebih memilih penilaian kualitatif dan menulis catatan-catatan (jurnal) tentang perkembangan yang ditunjukan oleh peserta didik dalam menyelesaikan kegiatannya.

 

Hal tersebut dilakukan mengingat tujuan awal dari kegiatan ini adalah literasi budaya. Artinya peserta didik difasilitasi untuk memiliki kemampuan dalam memahami dan bersikap terhadap kebudayaan daerah sebagai bagian dari upaya memperkokoh identitasi kebudayaan Indonesia.

 

Kegiatan berkonteks literasi seperti ini mendorong peserta didik untuk peduli pada identitas budaya karena peserta didik memiliki kemampuan untuk berpikir dan bertutur tentang budaya. Kepedulian pada budaya menjadi kecambah bagi tumbuhnya ‘pohon’ literasi budaya yang kuat.

 

Dapat dibayangkan, bila bentuk-bentuk entitas budaya seperti nunduk tidak dijaga, maka pengikisan eksistensi pada generasi milenial tidak terbendung. Lantas, apa yang akan dibanggakan dari generasi berlabel Manggarai. Oleh karena itu, mendukung gerakan literasi untuk mengakar secara menyeluruh sekolah perlu menjadi jembatan yang menjaga kesinambungan hidupnya budaya dan proses pendidikan.

 

Tentu tidak hanya bertumpu pada unsur dongeng saja, apalagi kecenderungan untuk memprioritaskan satu unsur budaya. Untuk sebuah dinamika proses pendidikan yang berkarakter, semua unsur dalam paradigma budaya perlu digali. Gerakan literasi merupakan aktivitas partisipatif yang melibatkan banyak orang, sehingga untuk menggali lebih dalam tentang budaya, sekolah sebaiknya berkolaborasi secara intens dengan orang tua, komunitas adat, dan stakeholder lainnya. Sekolah bisa menjaga identitas budaya.

 

Editor : Takim/MDj (red)


Post a Comment

0 Comments