Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

SEKOLAH LITERASI : PIJAKAN AWAL MENUJU KOTA LITERASI

 



Oleh: Yohanes Joni Liwu, S.Pd

(Guru SMP Negeri 13 Kota Kupang)


Dewasa ini, literasi telah bertransformasi menjadi sebuah kecakapan baru di era abad 21 ini. Literasi dipandang sebagai hal mutlak yang harus dimiliki dan dikuasai oleh semua orang tanpa terkecuali. Literasi menjadi pelabuhan baru di tengah derasnya arus globalisasi, dimana semua orang bisa menetap dan mengembangkan dirinya secara baik. Secara sederhana, literasi merupakan kemampuan pengembangan diri secara integral, sehingga mampu mengaplikasikan semua keterampilan, pikiran, imajinasi, dan tindakan untuk memecahkan sebuah persoalan di dalam kehidupannya sehari-hari.

 

Sebagai sebuah kecakapan baru di abad 21, konsep literasi kemudian dijabarkan ke dalam enam bentuk literasi dasar, yakni; literasi baca-tulis, literasi numerasi, literasi media (digital), literasi budaya, dan literasi sains. Dengan demikian, literasi dapat dipahami sebagai wadah transformasi diri untuk membentuk individu menjadi pribadi yang kritis, kreatif, inovatif, dan peka terhadap lingkungan sekitar. 

 

Realitas Literasi Dasar di Indonesia

 

Perkembangan literasi di Indonesia masih mengalami dinamika fluktuasi (turun-naik) yang tidak menentu. Melalui survei yang dilakukan oleh Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, Indonesia menempati ranking ke-62 dari 70 negara berkaitan dengan tingkat literasi atau berada pada posisi 10 negara terbawah yang memiliki tingkat literasi rendah secara internasional. Hal tersebut tentu memberikan sinyal negatif bagi Indonesia, sehingga memilki daya saing yang rendah.

 

Selain itu, rendah indeks pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), inovasi, pendapatan (income) per kapita, hingga rendahnya rasio gizi menjadi pengaruh langsung yang menyebabkan minimnya kualitas literasi di Indonesia. Semua hal tersebut akan bermuara pada rendahnya indeks kebahagiaan warga Indonesia itu sendiri.

 

Kemampuan literasi dasar pada umumnya berawal dari kemampuan membaca dan menulis. Pengenalan dan penguasaan aksara menjadi keterampilan awal sebelum menguasai bentuk literasi dasar lainnya. Literasi baca-tulis juga dipahami sebagai melek aksara. Literasi baca-tulis adalah pengetahuan dan kecakapan untuk membaca, menulis, mencari, menelusuri, mengolah dan memahami informasi untuk menganalisis, menanggapi, serta menggunakan teks tertulis guna mencapai tujuan, mengembangkan pemahaman dan potensi, dan berpartisipasi di dalam lingkungan sosial.

 

Dengan kemampuan literasi baca-tulis yang memadai dan mumpuni, seorang individu tidak akan mudah terpengaruh oleh berbagai informasi yang diperoleh karena adanya katalis yang menyaring segala konten informasi di dalam pikirannya (http://ditsmp.kemdikbud.go.id). 

 

Kegiatan membaca sangat penting dalam meningkatkan kemampuan literasi. Berdasarkan standar yang dikeluarkan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), setiap orang sekurang-kurangnya wajib membaca tiga buku baru setiap tahunnya.

 

Namun, hal tersebut berbanding terbalik dengan kondisi yang terjadi di Indonesia. Total jumlah bahan bacaan dengan total jumlah penduduk Indonesia memiliki rasio nasional 0.09. Artinya, satu buku yang dibaca akan ditunggu oleh 90 orang setiap tahunnya. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa Indonesia memiliki tingkat Indeks Kegemaran Membaca yang sangat rendah.

 

Dalam skala regional, terutama di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), kemampuan literasi dasar peserta didik pada jenjang Sekolah Dasar (SD) masih tergolong rendah karena hampir 81 % peserta didik tidak lulus dalam tes kemampuan dasar literasi. Artinya, tingkat literasi dasar Provinsi NTT masih berada jauh di bawah Provinsi NTB, Kalimantan Utara dan Jawa Timur yang merupakan sekolah mitra inovasi (Rikarno, 2021. Hanya Pikiran Yang Tidak Pernah Tua).


Indeks Alibaca Provinsi NTT juga masih tergolong rendah karena berada di kisaran 20.1 – 40.0 Selain itu, menurut Survei Aktivitas Literasi Baca yang dilakukan oleh Kemendikbud pada tahun 2019, Provinsi NTT berada pada urutan keempat dari bawah dengan poin 29.83 atau lebih sedikit di atas Provinsi Kalimantan Barat (28.63), Papua Barat (28.25) dan Papua (19.9) (https://databoks.katadata.co.id/).

 

Pada hakikatnya, membaca adalah salah satu bentuk literasi dasar. Dengan literasi dasar tersebut, seseorang dapat mengoptimalkan dan meningkatkan kemampuannya dalam menulis, berbicara dan mendengarkan. Dalam hal ini, lembaga pendidikan harus terlibat dan berperan penting dalam meningkatan kemampuan literasi masyarakat, terutama literasi baca-tulis, literasi numerasi, literasi media (digital), literasi budaya, dan literasi sains.

 

Memperkuat Gerakan Literasi Sekolah

 

Membangun budaya literasi di dalam lingkungan pendidikan sebenarnya senada dengan gerakan literasi yang digelorakan oleh pemerintah. Sejak tahun 2016, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menggiatkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) sebagai bagian dari implementasi terhadap Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.

 

Kemendikbud kemudian membentuk kelompok kerja GLN untuk mengoordinasikan berbagai kegiatan literasi yang dikelola oleh unit-unit kerja terkait. Bersamaan dengan itu, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Ditjen Dikdasmen) mengembangkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) untuk meningkatkan daya baca peserta didik.

 

Selaras dengan itu, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menggerakkan program literasi bangsa dengan menerbitkan buku-buku pendukung yang berbasis pada kearifan lokal bagi peserta didik. Kemudian pada tahun 2017, Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK) menggagas Gerakan Satu Guru Satu Buku untuk meningkatkan kompetensi dan kinerja guru dalam pembelajaran baca dan tulis (https://gln.kemdikbud.go.id).

 

Namun dalam kenyataannya, GLS belum dilakukan secara maksimal. Sekolah pada umumnya hanya menerapkan pola membaca 15 menit sebelum memulai kegiatan belajar dan mengajar (KBM). Pola tersebut hanya menjadi sebuah tuntutan yang harus dipenuhi secara formal tanpa adanya estimasi dan penilaian jangka panjang. Peserta didik hanya diminta untuk membaca dan menuliskan apa yang telah dibacanya melalui ringkasan (resume) atau resensi singkat.

 

Sedangkan, guru hanya bertindak sebagai pengawas dan bukan sebagai pendamping. Pada konteks ini, guru seharusnya mengambil peran penting sebagai pendamping yang mampu membimbing, memberikan motivasi, mendorong semangat peserta didik, serta memberikan teladan yang tepat. Oleh sebab itu, dalam menunjang program GLS yang berkesinambungan, pihak sekolah seharusnya memiliki standar atau indikator penilaian tertentu yang bisa mengukur tingkat perkembangan literasi di lingkungan pendidikan sekolah.

 

Dalam mendukung proses peningkatan budaya literasi di lingkungan sekolah, eksistensi Tim Literasi Sekolah (TLS) tentunya sangat dibutuhkan. TLS akan berperan sebagai perencana, pelaksana, pelapor, serta penilai asesmen yang bisa mengevaluasi proses pengimplementasian GLS. Dalam melaksanakan tugasnya, TLS akan membangun koordinasi timbal balik bersama dewan guru dan wali kelas untuk mendapatkan gambaran atau hasil dari setiap kegiatan literasi pada masing-masing rombongan belajar (rombel).

 

Di sisi lain, TLS juga berfungsi untuk menciptakan ekosistem membaca yang kondusif di lingkungan sekolah. Ekosistem membaca bisa terwujud dengan baik apabila TLS mampu menyediakan wadah membaca, seperti; majalah dinding (mading), majalah, buku bacaan, dan pojok-pojok baca yang memungkinkan peserta didik untuk bebas dan nyaman dalam melakukan kegiatan membaca. Hal tersebut tentunya akan sangat berpengaruh pada pembagian waktu membaca di sekolah, seperti; adanya hari khusus literasi atau pemberlakuan minimal satu jam membaca dalam sehari. 

 

Selain itu, dalam memacu minat dan motivasi peserta didik untuk membaca, TLS harus intens menyelenggarakan festival literasi di lingkungan sekolah dan menerbitkan buku karya peserta didik serta guru secara berkala. Festival atau penerbitan buku karya peserta didik dan guru tersebut akan menjadi pendorong semangat untuk membaca sekaligus menulis karena adanya apresiasi karya dari pihak sekolah. Dengan demikian, kehadiran TLS di lingkungan sekolah bisa membentuk semua warga sekolah, baik guru maupun peserta didik untuk berkembang menjadi pribadi yang literatif, kreatif, inovatif, dan produktif. 

 

Keberhasilan TLS juga dirasakan oleh lembaga pendidikan SMP Negeri 13 Kota Kupang. Pada SMP Negeri 13 Kota Kupang, TLS telah membuat dan menyepakati petunjuk praktis pelaksanaan program membaca di tingkat sekolah. Dengan kerja keras TLS, SMP Negeri 13 mampu menjadikan kegiatan membaca sebagai sebuah kebiasaan dan habitus baru yang harus diterapkan.

 

Pihak sekolah juga menetapkan hari Kamis sebagai hari literasi dengan mengalokasikan waktu satu jam di hari tersebut untuk membaca. Selain itu, TLS juga harus intens melakukan survei sederhana untuk memetakan tema-tema bacaan yang menarik bagi peserta didik. Hasil survei tersebut akan menjadi rujukan dan rekomendasi bagi pihak sekolah untuk melakukan pengadaan buku bacaan yang berkualitas dan kontekstual.

 

Seiring berjalannya waktu, pihak sekolah mampu mendorong para peserta didik untuk menulis dan menerbitkan sebuah buku antologi cerita pendek (cerpen) karya peserta didik yang telah dikurasi secara baik. Hal tersebut bisa terwujud karena kegiatan literasi terus dipacu melalui mekanisme kerja TLS. Dengan demikian, jika menilik perannya yang cukup penting dalam menggerakan literasi di tingkat sekolah, maka pembentukan TLS dapat dijadikan sebuah pilihan yang tepat.

 

Menunjang Misi Kota Kupang Sebagai Kota Literasi

 

GLS tentunya bepengaruh besar bagi peningkatan literasi di lingkungan masyarakat. Salah satunya adalah menunjang misi Kota Kupang sebagai Kota Literasi. Konsep tersebut merupakan bagian besar dari proses pembangunan Kota Kupang menuju Kota Pintar (Smart City). Sebagai Kota Pintar, Kota Kupang harus terus berbenah dan menguatkan proses peningkatan kualitas SDM. Konsep kota pintar sendiri terdiri atas pemerintahan yang pintar (smart governance), mekanisme promosi daerah yang inovatif (smart branding), sistem perekonomian yang stabil (smart economy), kehidupan yang layak huni (smart living), dan ekosistem lingkungan yang seimbang (smart environment).

 

Semua indikator pencapaian tersebut tentunya membutuhkan sumber daya yang cakap dan berkualitas demi mewujudkan program kerja yang berkelanjutan. Pelaku pembangunan pun dituntut untuk memiliki kecerdasan yang matang dan seimbang dalam merumuskan konsep dan memecahkan persoalan secara tepat. Hal itu tentunya berkaitan erat dengan kemampuan dan kecakapan literasi masyarakat serta para pelaku pembangunan itu sendiri. Oleh sebab itu, misi perwujudan Kota Kupang sebagai kota literasi sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari visi jangka panjang untuk menjadikan Kota Kupang sebagai Kota Pintar.

 

Dalam sebuah penelitian yang berjudul Analisa Kesiapan Kota Pintar (Studi Kasus Pemerintah Kota Kupang), Ledoh (2019) mengemukakan bahwa dalam mewujudkan visi pembentukan Kota Kupang sebagai Kota Pintar (Smart City), terdapat beberapa faktor penghambat yang turut mempengaruhi program kerja Pemerintah Kota Kupang tersebut. Salah satunya adalah tingkat literasi masyarakat yang masih rendah.

 

Pada tahun 2017 misalnya, angka buta  huruf (aksara) di  Kota  Kupang mencapai presentase 1.02% di atas  rata-rata nasional. Selain itu, indeks minat baca dan kunjungan ke perpustakaan juga masih cukup rendah (www.jurnalinovkebijakan.com). Hal tersebut tentunya menjadi pekerjaan besar yang harus segera diselesaikan guna meningkatkan budaya literasi dasar di tengah masyarakat.

 

Dalam hal ini, para penggiat literasi di Kota Kupang harus bersinergi dalam mewujudkan kota pintar lewat budaya literasi. Para penggiat literasi harus mengambil peran positif dalam mewujudkan pembangunan di kota ini. Pemerintah Kota Kupang juga harus mampu mengakomodir dan menjalin kerja sama yang baik bersama para penggiat, penulis, praktisi, pengamat, komunitas, seniman, hingga guru yang literatif untuk mengaktualisasikan program penguatan literasi masyarakat. Oleh sebab itu, sinergitas dalam wujud kerja sama mesti terus digalakan, sehingga Kota Kupang bisa bertransformasi sebagai Kota Literasi di tengah gaung pembangunan kota pintar.

 

Dalam konteks GLS, Pemerintah Kota Kupang harus hadir dan mendukung setiap langkah sekolah untuk meningkatkan budaya literasi, baik secara internal maupun internal lembaga. Setiap lembaga pendidikan di kota ini pun memiliki peran yang sama dalam mewujudkan Kota Kupang sebagai Kota Literasi. Program literasi yang dilaksanakan di lingkungan sekolah merupakan bagian dari proses pencerdasan kehidupan bangsa di masa mendatang. Dengan langkah strategis, seperti; penerbitan buku karya peserta didik dan guru, maka GLS bisa menjadi pijakan awal menuju kota yang literatif.

 

Misalnya, apabila terdapat 20 SMP Negeri, 30 SMP Swasta, dan 143 SD di Kota Kupang yang berhasil menerbitkan buku pada setiap tahunnya, maka produk nyata dari proses peningkatan budaya literasi bisa terwujud. Maka dari itu, lewat pemantapan program peningkatan budaya literasi di lingkungan sekolah dan didukung oleh sinergisitas Pemerintah Kota Kupang yang kolaboratif, maka GLS siap mendukung proses pembentukan Kota Kupang sebagai Kota Literasi.

 

Editor : Mario Djegho (red)

 

Post a Comment

0 Comments