Oleh : Siprianus Kantus, S. Fil
(Staf Pengajar di
SMK Swakarsa Ruteng)
Sejak virus covid-19 diumumkan oleh WHO (2020)
sebagai pandemik, rasa aman sudah sangat mahal harganya bahkan tak terbeli. Setiap
hari publik diteror oleh berbagai informasi yang berisikan fakta maupun hoax yang timbul dari kegelisahan yang
tidak tersalurkan akibat pelbagai penerapan pembatasan aktivitas. Setiap orang
juga seolah dipaksa untuk sedapat mungkin mencerna data perkembangan pandemik
dalam istilah-istilah yang tak lazim.
Hari ini dan bahkan setiap saat,
orang-orang terjaga dari rutinitas karena sejumlah kasus kematian yang menimpa
keluarga, tetangga atau tokoh-tokoh publik akibat keganasan virus ini. Pandemik
memang telah membawa manusia pada sebuah titik krusial berkenaan dengan
pertanyaan tentang hidup. Apakah hidupnya berakhir di masa pandemi ini?
Di samping kegelisahan eksistensial itu,
pandemik covid-19 juga sangat menyita persepsi publik terkait virus. Tidak sedikit
ahli, tokoh agama, tokoh politik dan aktivis memberikan perhatian yang intens
kepada pandemik dan lalu menghubungkannya dengan fenomena perilaku manusia dari
sudut pandang yang jamak. Hampir semuanya dikaitkan dengan virus. Bahkan,
ketika seseorang, entah dihormati atau dilecehkan netizen karena terlibat dalam suatu peristiwa tertentu di media
sosial hingga menjadi viral, yang
bersangkutan juga disebut terinfeksi. Terinfeksi oleh virus digital (viral).
Dunia kini diliputi virus. Virus
covid-19 hanya satu dari berseliwernya virus yang tak kelihatan atau terbungkus
rapi dalam berbagai bentuk modus, seperti; virus ekosida (penghancuran terhadap alam secara terstruktur, sistematis
dan massif). Virus ini disinyalir sebagai sebab dari kebangkitan pandemi virus
yang hari ini mengobrak-abrik sistem kekebalan tubuh manusia dan merenggut
jutaan nyawa.
Hubungan causalitas antara virus dan kerusakan lingkungan membawa kita untuk
mengeksplorasi lebih jauh terkait penyimpangan terhadap batasan perilaku
manusia, baik kepada sesamanya, alam maupun kepada obyek kepercayaannya-khusus
untuk orang beragama-yakni Tuhan sendiri. Inilah gambaran manusia yang
terinfeksi sejak lama oleh virus yang sangat besar yakni “virus”
ketidakpeduliaan.
“Virus”
Ketidakpedulian
Dorongan untuk peduli dan terlibat dalam
persoalan dunia-khususnya persolan ekologi-tidak hanya diteriakan oleh para
aktivis lingkungan hidup. Dalam satu bagian dari ensiklik laudato Si, Paus Fransiskus menuliskan keprihatinannya atas
tanggapan-tanggapan yang lemah dari para pemimpin politik dunia terhadap
kerusakan alam. Di sana, Paus menyoroti lemahnya tanggapan dunia internasional
akan masalah lingkungan yang mengancam bumi akibat tunduk pada logika ekonomi
global seperti kegagalan KTT (konferensi tingkat tinggi) Global tentang masalah
lingkungan (LS. 53.54).
Terakhir (2019), konferensi tingkat
tinggi PBB yang membahas perubahan iklim, yakni; the 25th Session of the Conference of the Partie (COP25) yang
diselenggarakan di Madrid Desember 2019 berakhir mengecewakan. Konferensi
tersebut tidak menghasilkan komitmen yang kuat dari berbagai negara dalam rangka
menghambat krisis iklim (Anih Sri Suryani, 2020: 14). Komitmen yang lemah dari
para pemimpin dunia memperlihatkan fakta pertarungan kepentingan dalam
menguasai berbagai sumber daya di bumi.
Kerusakan lingkungan yang menimbulkan
berbagai penyakit dan bahkan pandemik hari ini tidak terlepas dari egoisme
segelintir orang yang disebut pemilik modal dan didukung oleh rezim politik
untuk menguasai sumber daya alam di bumi. Kartel yang kuat pada level atas ini
berupaya memonopoli semua pasar untuk kepentingan mereka, sehingga tidak jarang
media menginformasikan beberapa orang kaya dunia dengan jumlah harta yang
mengagumkan tanpa peduli apakah cara-cara memperoleh kekayaan itu berbias
diskriminasi atau pun juga ketidakadilan.
Di tengah kompetisi pasar bebas inilah
negara-negara berkembang yang miskin mengalami dilema sekaligus tak berdaya
karena harus memikirkan pengembalian atas tumpukan pinjaman yang diberikan
dengan motif donor atau bantuan kemanusiaan. Kartel-kartel ini, dengan
orientasi penguasaan berbagai sumber daya alam telah terbentuk mulai dari level
global, regional, nasional bahkan hingga ke daerah, seperti; ketimpangan perjalanan
roda birokrasi imbas praksis politik otonomi daerah.
Sistem ekonomi global dengan pasar
bebasnya telah menciptakan kesenjangan dan melanggengkan konflik kelas antara
yang kaya dan miskin, kuat dan lemah. Di hadapan kita sedang ditampilkan hasil
pertarungan bebas ini. Kemiskinan merajalela, pengungsi kian tak terhitung, gelandangan
bermunculan, korupsi menjamur, tingkat kekerasan semakin tinggi, dan hari-hari
ini kerusakan lingkungan yang berujung pada pandemik menimbulkan korban jutaan
jiwa.
Merespon ini, Paus Fransiskus mengatakan
bahwa “sekarang ini segala hal bermain dalam hukum kompetisi dan the survival of the fittest, di mana
yang kuat menguasai yang lemah. Akibatnya, sebagian besar masyarakat menemukan
diri mereka sendiri tersisih dan tersingkir: tanpa pekerjaan, tanpa
kemungkinan, tanpa jalan keluar dari itu semua. Untuk mempertahankan gaya hidup
yang menyingkirkan sesama, atau untuk mempertahankan antusiasme demi cita-cita
egois itu, telah dikembangkan globalisasi ketidakpedulian (EG. 53-54).”
Sejalan dengan Paus, Slavoj Žižek (2020)
dalam bukunya pandemic!: Covid-19
mengguncang dunia menyitir tanggapan yang murah dan remeh dari beberapa
orang kaya yang sarat ketidakpedulian karena sangat tergantung pada pasar saham
atau logika ekonomi kapitalis. Mereka itu-menurut testimoni Žižek-dengan remeh
dan latah menyebarkan informasi dan himbauan “jangan takut” terhadap pandemik
sambil melindungi diri mereka sendiri dengan infrastruktur kesehatan yang
mapan.
Hal yang sama telah terjadi pada beberapa
dekade silam ketika pejabat berwenang di Rusia mengatakan tidak ada yang perlu
ditakutkan dari bencana nuklir yanag terjadi di Chernobyl, tetapi secara
diam-diam mengevakuasi keluarga mereka sendiri. Begitu juga beberapa elit papan
atas yang secara terbuka menyangkal pemanasan global, tetapi ternyata telah
membeli rumah di negara-negara yang mapan bahkan sampai menggali bungker di
beberapa pegunungan (hal. 80-81).
Itulah logika berpikir orang yang hanya
memikirkan dirinya sendiri. Tidak pernah peduli dengan keselamatan orang lain
yang rentan karena kemiskinan dan ketiadaan akses ke berbagai sumber-sumber
perlindungan. Dalam konteks Indonesia, kita berharap bahwa beberapa pejabat
yang terlanjur mengeluarkan pernyataan kontroversial atau yang tidak percaya
akan fakta virus-sambil tetap memakai masker- tidak terkait dengan logika
kapitalis yang mengabaikan opsi terhadap kemanusiaan itu.
Dengan itu, Paus Fransiskus pun Žižek
sebenarnya mau menyampaikan bahwa pandemik yang hari ini sedang kita rasakan
dampak destruksinya hanyalah satu bagian yang tersembul dari kompleksitas
permasalahan sebenarnya. Masalah yang paling kompleks adalah tentu terkait
dengan penguasaan sumber daya alam dan distribusinya yang tidak mencerminkan
keadilan sosial. “Tanggapan atas pandemik, karenanya, rangkap dua. Di satu
sisi, sangatlah penting menyembuhkan dari virus yang kecil namun mengerikan
ini, yang telah menjadikan seluruh dunia terpuruk. Di sisi lain, kita mesti
pula mengobati virus yang lebih besar, yakni ketidakadilan sosial, kesenjangan
kesempatan, marginalisasi, dan langkanya perlindungan bagi mereka yang paling
lemah.” (ASG Di masa Pandemik, hal.13)
“Vaksin”
Solidaritas
Kita masih berada pada titik krusial
karena pandemik. Namun pandemik Covid-19 yang hari ini sedang kita rasakan
sebenarnya juga menjadi kesempatan di mana manusia harus merefleksikan
kebergantungan yang niscaya dengan orang lain. Segala upaya untuk melemahkan
virus lalu menyembuhkan dunia tidak bisa dilakukan hanya oleh sebagian orang. Semua
orang harus menyadari dan mengambil tanggung jawab untuk menyelamatkan bumi.
Pada titik krusial ini, semua bentuk tanggung
jawab harus dipertaruhkan, terutama tanggung jawab sosial dan ekologis, bahkan
pula teologis. Tanggung jawab ini menyadarkan kita kembali sebagai makhluk yang
bergantung satu dengan yang lain namun juga terikat secara alamiah dengan
lingkungan tempat hidup-sebuah tempat yang diciptakan-di mana manusia menemukan
kodrat dirinya yang terberi. Dengan kesadaran itu, kita-semua orang di kolong
langit ini-harus merasa sebagai satu keluarga. Paus Fransikus menyebutnya
sebagai satu keluarga umat Allah di mana bumi sebagai rumah bersama.
Dalam konteks pandemik covid-19, Slavoj
Žižek menyebutkan paralelisme yang lain yaitu “kapal yang sama.” Dengan
mengatakan bahwa “kita semua berada di kapal yang sama,” Žižek menyegarkan
kembali optimisme Paus bahwa seperti Covid-19 yang tidak mengenal perbedaan,
semua orang berada dalam potensi penularan dan terinfeksi tanpa memandang
buluh, tanpa memandang Amerika, China, Rusia atau Inggris. Covid-19 meruntuhkan
klaim adikuasa dan kelas. Karena berada dalam “kapal yang sama,” tidak ada
golongan manusia yang tidak merasakan hempasan dan guncangan ombak dan
dahsyatnya badai covid-19. Rasa senasib dan sepenangungan ini kirannya menjadi
peluang untuk berpikir dan mengambil tindakan alternatif dan salah satunya
adalah solidaritas dan kerja sama global (hal. 38-39 dan 61).
Dunia sebagai satu keluarga umat Allah
kiranya menjadi basis teologis dari solidaritas, sebuah istilah, tapi terlebih
sebagai sebuah gerakan yang memainkan peran vital dalam situasi pandemi hari
ini seperti yang diungkapkan oleh Paus Fransiskus, “Pandemi
ini telah menggarisbawahi saling ketergantungan kita: kita semua terhubung satu
sama lain, untuk yang lebih baik atau lebih buruk. Oleh karena itu, agar kita
keluar dari krisis ini lebih baik daripada sebelumnya, kita perlu melakukan
bersama-sama; bersama-sama, bukan sendirian. Bersama-sama. Jangan sendirian,
sebab tak ada sesuatu yang bisa dibuat. Entah itu dikerjakan bersama-sama, atau
sama sekali tidak dikerjakan. Kita musti mengerjakannya bersama-sama, kita
semua, dalam solidaritas. Saya sekarang ingin menekankan kata ini: solidaritas.
(ASG, hal.14).”
Tidak ada pesimisme dalam mewujudkan
solidaritas ini, sebaliknya solidaritas ini sangat mungkin bisa
diwujudkan-seperti berbagai tanggapan/gerakan pada masa pandemi ini-sebab dunia
sekarang ini terhubung satu dengan yang lain. Perkembangan teknologi sudah
membuat dunia semakin kecil (baca: kampung global) dan sangat mungkin terjangkau untuk tujuan mengkonsolidasi semua
bentuk gerakan bersama dalam menanggapi berbagai krisis yang dihadapi dunia.
Persoalannya ada pada tanggapan serta
prioritas. Sejauh mana orang bisa memberi diri dan menjadi bagian dari orang
lain yang menderita baik oleh pandemi maupun sebab krisis lainnya, antara lain
karena ketidakadilan sosial, perang, kelaparan, kemiskinan, pengangguran dan
bencana lingkungan. Semua bentuk krisis ini ada kaitan satu dengan yang lain
yang hari ini sedemikian mendesak untuk segera ditemukan jalan keluarnya, dan
itu butuh solidaritas yang lebih luas serta komitmen yang kuat.
Jalan keluar untuk masalah pandemik dan
semua bentuk krisis yang lain adalah bekerja sama dalam semangat solider. Solidaritas
merupakan vaksin untuk semua krisis. Solidaritas dalam berbagai wujud sekiranya
menjadi sangat mungkin, sebab tidak ada seseorang yang terlampau kaya, hingga
tidak membutuhkan sesuatu dari orang lain, begitu pula sebaliknya, tidak ada
orang yang terlampau miskin, sehingga tidak bisa memberikan sesuatupun bagi
yang lain.
Penularan Virus covid-19 mungkin akan
segera melemah seiring ditemukannya beberapa jenis vaksin, tetapi tidak untuk virus-virus
yang lebih besar yang berakar pada ketidakpedulian. Virus ketidakpedulian
memang membutuhkan vaksin, namun bukan Sinovac,
Pfizer, AstraZeneca, Sinopharm ataupun Moderna.
Vaksin untuk virus ketidakpedulian hanya satu yaitu solidaritas.*
Editor : Mario Djegho (red)
0 Comments