(Sebuah
Refleksi ke Arah Pengurangan Risiko Bencana)
Oleh:
Yusta Roli Ramat, S.Sos., M. Hum.
(Penyuluh
Bencana – BPBD Provinsi NTT)
Bicara soal kekeringan seolah sudah
menjadi hal yang lumrah bagi masyarakat NTT. Pasalnya, bencana kekeringan
terjadi hampir setiap tahun di wilayah ini. Berdasarkan data Sistem Informasi
Data Indeks Kerentanan (SIDIK) dari KLHK (2018), dari total 3.353
desa/kelurahan di NTT, 2.475 desa/kelurahan atau 73,8% di antaranya tergolong
desa/kelurahan dengan tingkat risiko terhadap kekeringan yang tinggi sampai
dengan sangat tinggi.
Hasil analisis Data dan Informasi
Bencana Indonesia (DIBI) BNPB juga menunjukkan, jumlah kejadian kekeringan di
NTT meningkat sangat signifikan dalam 2 tahun terakhir. Kondisi
ini tentu saja memerlukan perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat NTT,
sebab urusan bencana merupakan urusan bersama, bukan urusan pemerintah belaka.
Dalam menghadapi kondisi kritis seperti saat ini, masyarakat tidak lagi
berperan sebagai obyek bencana. Masyarakat harus menjadi subyek berdaya dalam
menanggulangi bencana yang ada di sekitar mereka.
Kekeringan merupakan salah satu jenis
bencana alam yang terjadi secara perlahan (slow
on set disaster), berlangsung
lama hingga musim hujan tiba, berdampak sangat luas, dan bersifat lintas sektor
(ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan, dll). Menghadapi cuaca ekstrem ini, Gubernur
Nusa Tenggara Timur telah mengeluarkan Peringatan Dini Bencana Kekeringan di
Provinsi NTT berdasarkan informasi
peringatan dini kekeringan dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
Kupang. Menurut BMKG, saat ini zona musim di Provinsi NTT sudah berada dalam
periode musim kemarau. Itu artinya masyarakat NTT akan dihadapkan dengan
beberapa ancaman, seperti kekurangan pasokan air bersih, potensi kebakaran
hutan dan lahan, pencemaran udara, rawan pangan, dll.
Karena itu, Pemerintah Provinsi NTT
melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi NTT telah melakukan berbagai
upaya mitigasi untuk membangun kesiapsiagaan bersama masyarakat dengan membuat
Rencana Kontigensi Kekeringan di Provinsi NTT, mengaktifkan Posko Bencana 1 x
24 jam, menggalakkan
“Program Tanam Air Panen Air” agar masyarakat membuat sumur resapan untuk menampung
air hujan yang akan digunakan pada saat musim kemarau tiba, serta membentuk
Kelompok Kerja Kekeringan (Poker) di Provinsi NTT yang terdiri dari BPBD,
Perguruan Tinggi, LSM, dan OPD terkait di lingkup pemerintahan Provinsi NTT. Pembentukan
Poker ini bertujuan untuk melakukan kajian dan menganalisis data dan informasi
guna memberikan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka menetapkan kebijakan
penanganan kekeringan di Provinsi NTT.
Mengapa
NTT Rawan Kekeringan?
Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan
salah satu provinsi yang memiliki tingkat ancaman kekeringan yang tinggi serta
areal terdampak yang cukup luas dan tergolong parah. Penyebab terjadinya
kekeringan di wilayah NTT cukup beragam. Mulai dari curah hujan yang rendah;
pemanasan global (global warming)
yang disebabkan oleh pencemaran udara; minimnya daerah resapan air yang
disebabkan oleh masifnya alih fungsi lahan terbuka hijau untuk bangunan tempat
tinggal; kerusakan fungsi wilayah hulu sungai karena waduk pada saluran irigasi
terisi sedimen dalam jumlah besar yang mengakibatkan kapasitas daya tampung air
berkurang, serta gejala alamiah bumi berwujud El Nino.
Selain beberapa faktor tersebut, kekeringan
yang terjadi sedikit banyak juga dipengaruhi karena Indonesia secara geografis
terletak di daerah “monsoon” di mana sangat sering terjadi perubahan iklim
secara ekstrem berupa perubahan tekanan udara dari daratan. Perubahan tersebut
menyebabkan “jet steam effect”
(naiknya titik didih) dari lautan yang menghempas ke daratan. Hawa panas dan
angin tersebut menyebabkan banyak daerah yang awalnya memiliki kandungan air
menjadi kering. Hal ini diperparah karena musim kemarau di Provinsi NTT berlangsung
cukup lama dibandingkan musim hujan, yaitu 4 bulan musim hujan (Desember s.d.
Maret) dan 8 bulan musim kemarau (April s.d. November).
Pentingnya
Keterlibatan Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Kekeringan
Mengingat tingginya risiko yang mungkin
terjadi akibat bencana ini, maka masyarakat dituntut untuk lebih kooperatif dalam
membangun sinergisitas dengan pemerintah. Sebab orang yang paling pertama
terkena dampak bencana adalah masyarakat dan masyarakat jugalah yang paling
pertama memberikan respons terhadap bencana yang dihadapi. Masyarakat harus
sadar bahwa tanpa kerja sama yang baik antara pemerintah dan masyarakat
mustahil terwujudnya upaya penanggulangan bencana kekeringan yang baik pula.
Salah satu dampak kekeringan yang mulai
dirasakan masyarakat NTT saai ini adalah krisis air bersih. Pos Kupang
(23/09/2021) dalam koordinasi dengan BMKG menjelasakan terdapat beberapa
wilayah yang memiliki Hari Tanpa Hujan (HTH) dengan kategori ekstrem panjang
(<60 hari), yakni Kabupaten Nagekeo, Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Sabu
Raijua, Kota Kupang, dan Kabupaten Kupang. Khusus Kabupaten Sabu Raijua, Pemkab
setempat telah menetapkan status Siaga Kekeringan dan sedang melakukan
pendistribusian air bersih.
Karena itu, masyarakat diharapkan untuk menggunakan
air secara hemat, menanam pohon dan menjaga sumber mata air, membuat sumur
resapan (biopori) di sekitar rumah untuk menampung air hujan agar bisa
dimaanfatkan pada saat musim kemarau, memanfaatkan air bekas pakai secara bijak,
tidak membuang api atau puntung rokok di sembarang tempat untuk menghindari
terjadinya kebakaran hutan dan lahan, secara kolektif membuat waduk atau embung
untuk menampung air hujan, menanam tanaman yang adaptif dengan musim kemarau, serta
melaporkan dan meminta bantuan air bersih kepada pihak yang berwenang apabila
mengalami krisis pasokan air bersih.
Masyarakat diharapkan untuk selalu
meningkatkan kesiapsiagaan terhadap bencana dan selalu menyiapkan
langkah-langkah antisipasi yang tepat agar dapat mengurangi risiko yang mungkin
terjadi. Mari kita jaga alam, agar alam juga menjaga kita dengan baik.
Editor : Mario Djegho (red)
*Tulisan ini telah diterbitkan pada Harian Umum Victory News, Rabu (29/09/2021)
0 Comments