Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

MEMBANGUN GENERASI MUDA PANCASILAIS DI TENGAH KEBERAGAMAN

 


Oleh : Fr. Fransiskus F. Soni, S.Fil

(Guru SMPK Giovanni Kota Kupang)


(Sebuah Refleksi Filosofis Akan Pemahaman Nilai Pancasila Bagi Kaum Muda Di Kota Kupang)

 

Berbicara tentang Indonesia berarti berbicara tentang keberagaman. Indonesia adalah negeri dengan sejuta pesona. Ribuan gugusan pulau yang terbentang, 1.340 keanekaragaman suku dan 646 bahasa yang terentang, dan negeri dimana aneka agama dan aliran kepercayaan berkembang. Berbeda itu indah, beragam itu warna. Pelangi tidak akan menjadi indah bila hanya terbentuk dari susunan satu warna saja, begitupun juga sebuah taman tidak akan menjadi indah bila hanya dihiasi oleh satu macam kembang saja. Harus ada yang lain sebagai pendamping, dan harus ada kembang lain sebagai pelengkap. Berbeda-beda tetapi tetap satu, sebuah filosofi negara yang disusun lewat berbagai permenungan dan pemikiran. Air mata dan darah menjadi satu membentuk tinta, merangkai kisah, meraih mimpi dan mengejar asa.

 

Aroma rempah yang mengundang kolonialisme, derita panjang yang berujung nasionalisme. Semangat yang sama akan penjajahan membuat bangsa ini bersatu padu dalam sebuah kebersamaan demi satu tujuan, yaitu; kemerdekaan. Perbedaan yang menyatukan dan perbedaan yang menyelamatkan. Kita semua harus mengingat bahwa kodrat bangsa Indonesia adalah kodrat keberagaman. Takdir Tuhan untuk bangsa ini adalah keberagaman. Dari Sabang sampai Merauke adalah keberagaman. Dari Miangas sampai Rote adalah keberagaman. Berbagai etnis, berbagai bahasa lokal, berbagai adat istiadat, berbagai agama, kepercayaan serta golongan bersatu padu membentuk Indonesia. Itulah Bhinneka Tunggal. Itulah semangat kita. Itulah kita, Indonesia.

 

Negeri yang kaya akan budaya, negeri yang kaya akan berbagai sejarah dan peradaban, negeri yang penuh dengan sejuta mimpi dan kebahagiaan, negeri yang penuh dengan aliran susu  dan madu yang membelah gunung-gemunung dan membentangkan padang savana, negeri dengan cinta dan kerinduan, dimana air susu ibu dan air mata ayah selalu menjadi melodi indah yang mengundang langkah untuk pulang, janganlah kita biarkan tanah kita ini, bangsa kita ini, Indonesia kita ini hancur dan runtuh oleh berbagai sikap-sikap intoleran dan perbuatan tidak manusiawi atas nama agama yang mencoba untuk melunturkan semangat kebersamaan dan warna keberagaman di antara kita.

 

Ibarat hikayat klasik, Pancasila seakan menjadi cerita lama yang tak jenuhnya dikisahkan dari generasi ke generasi. Bertolak dari politik teks ala Derrida; pembacaan terhadap slogan sebagai tanda yang adalah bekas (trace), maka akan dijumpai  makna di baliknya. Suatu bekas tidak mempunyai substansinya sendiri, tetapi menunjuk kepada hal lain yang menjadi sebab dari keberadaannya (Jhonson : 2000). Artinya, slogan-slogan itu adalah bentuk tanggapan terhadap fenomena yang ada. Slogan khas Kupang ini menjadi modal pembacaan terhadap realitas yang ada atau yang tengah terjadi di Kota Kupang.

 

Bertolak dari sudut pandang etnografi, Kota Kupang memiliki keistimewaan sebagai tempat perjumpaan barbagai jenis budaya, suku, etnik dan bahasa. Tentu di dalamnya terdapat berbagai macam ideologi yang tumbuh saling berhimpitan dan memperjuangkan pengakuan atas identitasnya masing-masing. Di satu sisi, keberagaman ini dilihat sebagai kekayaan, tetapi di sisi lain akan menjadi petaka bila saling berbenturan secara ideologis. Menanggapi situasi ini, perlu ada suatu nilai yang menjadi pedoman bersama guna merajut keharmonisan dalam spirit kemajemukan ini. Lantas oleh sebagian besar orang, mengamini Pancasila merupaan kunci segala perdamaian. Oleh sebab itu, Pancasila dalam keberadaannya diinstruksikan untuk tidak boleh diperdebatkan. Pancasila telah final. Pancasila menjadi sumber persatuan.

 

Dalam tulisan ini, saya (baca : penulis) ingin mengkaji sejauh mana pemahaman kawula muda di Kota Kupang terhadap nilai luhur Pancasila sebagai wadah persatuan. Pencarian ini kemudian akan bermuara pada penghayatan dan relevansinya dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana kaum muda menghayati nilai luhur yang termaktub dalam Pancasila? Apakah hanya sebatas cerita dari mulut ke mulut yang mereka dengar dari orang-orang terdahulu?


Kaum Muda dan Pancasila

 

Sebelum berlangka lebih jauh, penulis ingin mempertegas bahwa pembahasan Pancasila dalam tulisan ini berdasar pada Pancasila sebagai filosofi kehidupan, bukan sebagai produk yang bermuatan politis. Penulis mencoba mengelaborasikan perihal filsafat Pancasila dengan realitas kehidupan kaum muda di Kota Kupang. George Kahin mengatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kuat. Gambaran mengenai revolusi dan gerakan nasionalis Indonesia dengan menunjukkan keyakinan yang besar bahwa negara ini mampu mengatasi segala rintangan yang dihadapi (Geogre Kahin : 2013). Tidak ingin terjebak dalam konsep berpikir skeptisisme, penulis mendasarkan argumentasi ini fakta yang ada. Tidak banyak kaum muda yang memahami nilai-nilai Pancasila, bahkan persentasi orang yang ingin mempelajarinya saja sangat memprihatinkan. Realitas menjelaskan bahwa kaum pencetus Pancasila bertindak ibarat kaum Sofis. Mereka menyamarkan segala pemahaman di balik konsep berpikir yang mereka narasikan. Hal ini terbukti dari pro-kontra yang terus mencuat terkait dengan eksistensi Pancasila hingga saat ini.

 

Pada akhirnya generasi penerus merasa enggan untuk mempelajari Pancasila. Nilai-nilai luhur Pancasila hanya dijadikan sebagai bahan pembelajaran yang kaku. Tidak banyak yang kemudian tersisa atau membekas di otak. Ibarat angin lalu, Pancasila hanya diingat sebagai sebuah susunan alur cerita belaka dan hanya sebatas pada huruf-huruf mati tanpa makna.  Kepincangan ini sebenarnya tidak dilihat sebagai sebab dari perilaku kaum muda yang tidak peduli. Namun, jauh sebelum itu, perumusan Pancasila sudah dihiasi dengan intrik kepentingan politik sekelompok orang.

 

Dalam Sila Pertama Pancasila, kita dapat menemukan nilai religius yang memberikan landasan hubungan antara manusia dengan Tuhan sebagai Pencipta. Sedangkan Sila Kedua, Ketiga, Keempat, dan Kelima Pancasila lebih menunjukan nilai sosial kemanusiaan yang memberi landasan hidup kepada manusia dalam hubungan dengan sesama dalam lingkungan sosial, maupun dalam usaha untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Sila Kedua Pancasila menegaskan nilai dasar kemanusiaan. Sila Ketiga Pancasila merupakan landasan perwujudan kemanusiaan dalam kehidupan bersamasyarakat bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan. Sila Keempat Pancasila mengkhususkan nilai kemanusiaan dalam kehidupan bernegara guna menghasilkan nilai kerakyatan, yaitu; penghargaan terhadap rakyat sebagai manusia yang merupakan subyek dalam kegiatan hidup bernegara. Serta Sila Kelima Pancasila menjadi landasan utama bagi terwujudnya nilai kemanusiaan dalam suatu realitas keadilan yang mencakup semua (Wahana:1993).


Fenomena Yang Lahir

 

Berbicara tentang fenomena yang terjadi di lapangan (das sein), penulis bergerak dari teori realisme sosial yang menyatakan bahwa realitas yang ada dan terjadi tersebut dibangun dari hubungan-hubungan sosial. Artinya, ada banyak perjumpaan kepentingan subyektif di dalamnya. Kemajemukan yang kemudian bertemu dalam satu tipografi kemudian merelatifkan semua nilai yang ada, sehingga tidak heran apabila nilai-nilai yang terkandung dalam setia Sila Pancasila hanya menjadi slogan belaka.

 

Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional dari negara Indonesia memiliki konsekuensi logis untuk menerima dan menjadikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menjadi acuan pokok bagi pengaturan penyelenggaraan kehidupan bernegara. Sebagai nilai dasar bernegara, nilai Pancasila diwujudkan menjadi norma hidup bernegara dan dijabarkan ke dalam norma sebagai praksis dalam kehidupan bernegara. Kehidupan dan perkembangan dunia global saat ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi para kawula muda untuk tetap menjaga eksistensi nilai-nilai Pancasila di tengah kehidupan bermasyarakat, apalagi di tengah gejolak multikulturalisme dan kemajemukan di Kota Kupang. Sebagai kaum muda yang hidup dalam kawasan strategis terhadap segala macam bentuk kebaruan, tentunya pola pikir yang terbentuk ialah pola pikir dinamis yang amat peka terhadap perubahan. Sebagaimana kaum milenial pada umumnya, penerapan terhadap nilai-nilai yang ada akan dihalangi oleh pola pikir dan pola laku modern yang telah mengakar kuat dalam diri mereka. Hal ini tidak terlepas dari paham subyektivisme yang telah hidup dan berkembang dalam diri tiap orang secara sadar maupun tidak.

 

Sebagai sebuah filosofi kehidupan, penulis mencoba merapalkan pengamalan terhadap nilai-nilai luhur Pancasila. Bergerak dari Sila Pertama. Ada berapa banyak presentasi pemuda di Kota Kupang yang menghayati dan menghargai nilai-nilai religius yang ada di sekitar tempat tinggal mereka? Demikian pula dengan keempat Sila yang berbicara perihal kemanusiaan. Sila Kedua yang merujuk pada perihal keadilan kini hanya menjadi slogan belaka. Sila Ketiga yang memuat perihal persatuan yang sejati bersifatnya universal malah disulap menjadi parsial. Di sudut-sudut kota tentu pamandangan yang lazim ditemukan ialah maraknya perkumpulan-perkumpulan anggota masyarakat yang kemudian memantik konflik-konflik murahan. Sila Keempat yang kemudian menghadirkan contra argument perihal pertanyaan seoptimal apa musyawarah dijadikan sebagai landasan pijak bagi kaum muda dalam menyelesaikan persoalan. Serta Sila kelima yang menuntu adanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia kini hanya menjadi slogan yang nihil perwujudan. Sederhananya, bagaimana bisa adil kalau setiap orang sibuk mengadili?

 

Membangun Generasi Muda Pancasilais

 

Pasandaran mengatakan bahwa Pancasila memuat landasan etik, moral, dan sekaligus landasan dan dasar pengembangan praksis baik dalam rangka pengembangan dimensi hermeneutic maupun homeostatic dari etika kewarganegaraan (Pasandaran : 2015). Artinya, nilai-nilai Pancasila tidak hanya sebatas panduan dan pelaksaan secara etik dan moral saja, melainkan semua kandungan di dalam Pancasila harus dapat hidup dalam kepribadian warga negara Indonesia sepanjang masa.

 

Fenomena-fenomena yang telah dibahas tadi merupakan suatu tamparan keras bagi kita para kawula muda, para generasi penerus bangsa. Sebagai tulang punggung bangsa, kaum muda hendaknya menanamkan sikap hidup yang Pancasilais sejak dini. Pancasila harus selalu mengakar dan bertumbuh di dalam diri kita semua. Nilai-nilai Pancasila dapat ditunjukkan melalui cara hidup sehari-hari. Dengan kata lain, Pancasila menyasar pada tindakan, dan bukan pada huruf-huruf mati yang tanpa makna.

 

Membumikan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila harus selalu diupayakan dan dilaksanakan untuk membangkitkan semangat Pancasila pada setiap warga negara, khususnya para generasi muda sebagai tonggak masa depan bangsa. Pancasila adalah fondasi dan dasar pijak bangsa Indonesia, kaum muda dalam bertindak. Sebagai generasi muda, hendaknya kita membangun rasa cinta tanah air dan rasa patriotisme yang “berdarah-darah.” Kota Kupang adalah kota yang tolerir, dimana cinta dan persaudaraan bertemu sembari berbaur menjadi satu. Sebagai kaum muda yang Pancasilais, sudah sepatutnya kita menjaga dan mengawal nilai-nilai luhur pancasila agar tidak mati dan hilang diterjang arus globalisme yang kian berkembang.

 

Di era sekarang, mengembalikan atau menegaskan kembali kedudukan Pancasila sebagai dasar (filsafat) negara Indonesia merupakan suatu tuntutan penting untuk mengantisipasi gejolak kehidupan manusia yang terus berubah. Bagaimanapun, Pancasila tetap merupakan kekuatan pemersatu (integrating force) yang utuh bagi bangsa Indonesia. Maka dari itu, peran kaum muda sangat dibutuhkan sebagai mesin penggerak persatuan dan kesatuan bangsa. Kaum muda dituntut untuk selalu menumbuhkembangkan rasa cinta akan tanah air dengan terus menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Pancasila, serta mengamalkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Fiat Lux, Jadilah Terang!

 

Editor : Mario Djegho (red)


Post a Comment

0 Comments