Oleh Luis Aman
Asesor SDM Aparatur pada Pemerintah Provinsi NTT
Dalam tulisan saya sebelumnya di media ini, 6 Februari
2021 (Baca: https://www.cakrawalantt.com/2021/02/urgensi-penkom-manajerial-bagi-kepala.html)
secara khusus dibahas urgensi penilaian kompetensi manajerial bagi kepala
sekolah. Kendati demikian penulis sampaikan pula bahwa kompetensi manajerial
dan sosial kultural (soft skill) adalah hal yang sama penting dan sama vitalnya
dengan kompetensi teknis (hard skill), bukan hanya bagi para kepala
sekolah, melainkan juga bagi para pendidik umumnya. Apa pentingnya dan mengapa
patut dinilai atau dipetakan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya ingin bercerita tentang
asesmen yang kami lakukan terhadap para widyaiswara di Pemprov NTT akhir
Februari hinggal awal Maret 2021 lalu dan seberapa penting penilaian tersebut
bagi mereka. Saya mengambil contoh widyaiswara karena tugas mereka sama persis
dengan guru dan dosen. Widyasiwara bertugas mendidik, mengajar dan melatih ASN.
Jumlah mereka 30 orang; 23 widyaiswara dari Badan Pengembangan SDM Daerah
(BPSDMD), 6 widyaiswara dari UPT Pelatihan Tenaga Kesehatan, dan 1 widyaiswara dari
Balai Latihan Kerja Dinas Kopnakertrans.
Penilaian didahului pendalaman tugas pokok dan fungsi
(tupoksi) para asesi (peserta) dalam kaitannya dengan upaya mereka mengeksekusi
rencana strategis (renstra) organisasi serta menyukseskan visi dan misi kepala
daerah. Pendalaman dilakukan sampai ke proses bisnis atau ‘isi perut’ detail
tahapan bagaimana para asesi melaksanakan seluruh tugasnya sehari-hari.
Kemudian kami menyebarkan kuesioner secara purposive
sampling dan melakukan wawancara mendalam dengan pimpinan unit kerja guna mendapatkan
gambaran mengenai kompleksitas permasalahan organisasi, baik terkait manajemen pengembangan
SDM secara umum, maupun perilaku, performa dan kinerja para asesi serta kendala-kendala
yang dihadapi.
Pendalaman terhadap renstra organisasi, studi mengenai
proses bisnis tupoksi asesi dan analisis tentang permasalahan yang dihadapi,
menjadi dasar untuk menyimpulkan kompetensi apa saja yang dibutuhkan para asesi.
Kami mengadakan rapat dengan pimpinan unit kerja dan berhasil ditetapkan 10
(sepuluh) kompetensi manajerial dan sosial kultural prioritas yang patut
dimiliki para widyaiswara lengkap dengan level standarnya untuk masing-masing
jenjang jabatan (pertama, muda, madya, dan utama).
Kesepuluh kompetensi itu adalah kemampuan Berpikir Konseptual, Adaptasi terhadap Perubahan, Komitmen terhadap Organisasi, Inovasi Kerja,
kemampuan Kerjasama, kemampuan Mengembangkan Orang Lain, Kemampuan Berorientasi
pada Pelayanan, Kemampuan Komunikasi, Kemampuan Berorientasi pada Kualitas dan kemampuan Interaksi Sosial. Kesepuluhnya
dipilih dari 33 kompetensi manajerial yang terdapat dalam kamus kompetensi
manajerial ASN berdasarkan Peraturan Kepala BKN Nomor 7 Tahun 2013.
Dalam penilaian, kami menggunakan metode sedang. Ada
psikotes, analisis kasus, diskusi kelompok, juga wawancara berbasis perilaku (behavioral interview). Hasilnya secara
umum kami presentasikan kepada semua peserta dan pimpinan BPSDM Pempov NTT, dan
kami meminta unit kerja untuk menyampaikan hasil dan memberikan umpan balik secara
individual kepada masing-masing peserta.
Jadi, penilaian ini selain bermanfaat bagi asesi untuk
mendapatkan gambaran tentang kompetensi sekaligus gap kompetensi yang mereka
miliki; kekuatan sekaligus aspek kemampuan yang patut mereka kembangkan lagi,
juga berguna bagi unit kerja sebagai dasar dalam melakukan intervensi termasuk merancang
dan memprogramkan kegiatan-kegiatan pengembangan kompetensi yang relevan, yang
sesuai dengan rata-rata kebutuhan para peserta dan menjawabi strategi
organisasi untuk hari-hari ke depan.
Kompetensi Pendidik
Bagaimana hubungan cerita di atas dengan kebutuhan
kompetensi para pendidik umumnya? Cukup ditilik sepintas, sepuluh kompetensi para
widyaiswara di atas tentu hampir semuanya juga patut dimiliki para guru ataupun
dosen. Saya tidak akan membahas semuanya satu per satu, tetapi coba menguraikan
beberapa di antaranya, hanya untuk memperlihatkan betapa pentingnya soft skill bagi para pendidik.
Seorang guru dan dosen, sama halnya dengan widyaiswara,
tentu harus mampu berpikir konseptual misalnya. Ia tidak boleh menerima
data dan informasi apa adanya, tetapi mesti mendesain dan menyimpulkan pola
hubungan konseptual antar aneka data dan informasi konkret yang tersaji,
sehingga tercipta pemahaman bahkan konsep baru dalam membaca data dan informasi
tersebut. Kemampuan ini bukan hanya berguna ketika mengajar, melainkan terutama
saat harus menulis. Agar seorang dosen dapat menghasilkan artikel dan kajian
ilmiah yang bermutu, ia harus punya kemampuan dasar mengabstraksikan hal-hal
konkret menjadi sebuah konsep, kemudian menguraikan konsep tersebut dengan
dalil-dalil yang logis dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kemampuan tersebut juga beririsan dengan kompetensi penting
lainnya yakni komunikasi, misalnya. Konsep
yang kompleks dan rumit hanya akan mudah dipahami bila dituliskan secara runtut
ataupun digambarkan dengan contoh-contoh riil. Demikianpun komunikasi lisan.
Agar peserta didik mudah paham, seorang pendidik mesti menggunakan kalimat yang
baik, benar juga sederhana. Lebih dari itu, ia harus mampu menciptakan situasi
komunikasi kelas yang efektif dan persuasif, sehingga apa yang diutarakan bukan
saja gampang dimengerti melainkan juga dapat mempengaruhi sikap seluruh peserta
didik secara meyakinkan.
Bukan itu saja. Kompetensi komunikasi bukan hanya soal
penyampaian pesan secara efektif dari komunikator kepada komunikan. Dalam
konteks manajemen organisasi, komunikasi juga mencakup aspek “cara” yang
memungkinkan tercipta pencapaian tujuan bersama. Banyak orang keluar dari grup whatssapp gara-gara tidak tahan dengan
cara berpendapat yang ad hominem
misalnya. Problemnya bukan soal substansi argumentasi, melainkan cara berkomunikasi. Artinya kompetensi
komunikasi adalah satu solft skill penting
dalam membangun diskursus yang sehat dan tim pengajar yang solid.
Selanjutnya, di tengah berbagai perubahan, baik
regulasi pemerintah, kebijakan internal sekolah, maupun tuntutan dunia kerja peserta
didik di masa depan, seorang pendidik mesti lincah beradaptasi. Metode ajar
selalu dibuat agar makin efektif, bahan ajar dosen mesti senantiasa diperbarui
sesuai bacaan-bacaan dan temuan-temuan teranyar. Khusus bagi guru, ketika mendikbud
Nadiem Anwar Makarim menuntut penyederhanaan skenario pembelajaran dengan
membuat RPP cukup satu lembar, maka guru mesti mampu melakukannya secara cepat dan
tepat tanpa menghilangkan substansi RPP yang biasanya lebih dari lima lembar
itu. Masih banyak contoh lainnya perihal kompetensi adaptasi terhadap perubahan.
Lainnya lagi, untuk menciptakan lingkungan sekolah ataupun
kampus yang sehat secara sosial, dibutuhkan para pendidik yang inklusif dan
menghargai perbedaan, yang bisa membangun dan mengelola hubungan interpersonal
secara jujur, terbuka dan objektif. Itulah yang lebih kurang dinamakan
kompetensi interaksi sosial.
Senafas dengan itu, kemampuan kerja sama dan
kolaborasi antar-para pendidik pun amat dibutuhkan untuk menyukseskan berbagai target,
program dan kegiatan lembaga. Penulis teringat cerita seorang kawan dari salah
satu kampus di Kota Kupang. Ia mengeluhkan banyaknya dosen yang kurang proaktif
mengumpulkan berkas administratif guna melengkapi borang akreditasi program
studi. “Sudah diminta berkali-kali,” kata kawan itu, “tapi banyak yang masa
bodoh.”
Kelihatan sederhana, hanya soal telat dan lelet kumpul
berkas administrasi. Akan tetapi ini menyangkut kompetensi yang teramat penting bagi kemajuan sebuah institusi, yakni
kerjasama tim. Minimnya kompetensi kerja sama ditambah dengan karut marut komunikasi
dan kemampuan interaksi sosial, dapat menciptakan iklim ‘pecah kongsi’ dan
kubu-kubuan di lembaga pendidikan. Bila dibiarkan, maka hal ini menjadi paku tajam
yang terus menusuk roda-roda organisasi sehingga perjalanan lembaga bakal
terseok-seok untuk menggapai visi dan misinya sebesar dan sementereng apapun
itu.
Tidak Statis
Dari uraian di atas, muncul pertanyaan, bukankah kompetensi-kompetensi
tersebut adalah kemampuan yang sudah dimiliki seorang pendidik karena sudah
menamatkan sarjana, magister, doktoral bahkan post doktoral ataupun sudah
menjadi seorang profesor?
Sebagian di antaranya bisa jadi benar. Kemampuan berpikir konseptual tentu tidak diragukan
lagi bagi seorang profesor yang sudah punya segudang publikasi ilmiah, dari
jurnal nasional sinta 6 hingga jurnal internasional terindeks scopus. Akan tetapi bagi seorang dosen
bahkan profesor yang sudah jarang menulis dan melakukan pekerjaan analisis, karena
berbagai alasan, kompetensi tersebut tidak selamanya tetap terjaga kualitasnya.
Demikian pun bagi seorang guru, kendati telah lulus UKG dan bersertifikat
pendidik tetapi bila jarang membaca, maka kemampuan berpikir konseptualnya tak
mungkin terpelihara.
Masih bisa dideretkan ilustrasi lain tentang
dinamisitas kompetensi seseorang. Intinya, kompetensi bukanlah hal statis.
Kompetensi itu dinamis; bisa menjadi lebih baik, bisa pula sebaliknya menjadi
lebih buruk. Ada banyak faktor yang berpengaruh, baik faktor potensial individu
(kapasitas kognitif, kepribadian, dll), faktor pendidikan dan pelatihan, faktor
kebiasaan, faktor kesesuaian kualifikasi dengan jabatan, maupun faktor
lingkungan dan budaya kerja organisasi.
Faktor pertama adalah aspek yang relatif natural.
Sementara faktor-faktor lainnya berikutnya bersifat ‘nurtural’. Artinya,
kompetensi itu dapat dipupuk dan dikembangkan, baik secara individual maupun
secara bersama-sama, baik melalui berbagai intervensi pengembangan seperti
seminar, bimtek, lokakarya, diklat, dan pemagangan, maupun lewat penciptaan
sistem, iklim dan budaya kerja organisasi yang memungkinkan para pendidik
menunjukkan soft skill mereka secara
optimal.
Harapan
Sudah saatnya sekolah dan kampus-kampus di NTT tidak
hanya berkonsentrasi meningkatkan keahlian teknis para pendidik melalui studi
lanjut ataupun diklat-diklat teknis. Sekolah dan kampus mesti juga secara
proporsional dan komprehensif berupaya membangun dan mengembangkan kemampuan
manajerial dan sosial kultural para
pendidiknya dengan berbagai cara yang relevan. Semua itu harus berbasis pada pemetaan
soft skill para pendidik agar
tersedia data yang ‘siap pakai’ untuk kepentingan pengembangan dimaksud.
Itulah salah satu gambaran manajemen SDM sekolah dan
kampus yang modern dan profesional. Dengan
itu kita baru bisa berharap sekolah-sekolah dan kampus-kampus menjadi lebih bermutu
dan memberi kontribusi riil bagi kemajuan NTT. Apakah kita bisa? Hanya sekolah-sekolah
dan kampus-kampus yang bisa menjawabnya.
Foto: Dokumentasi Penulis
0 Comments