Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

URGENSI PENKOM MANAJERIAL BAGI KEPALA SEKOLAH


Oleh
Luis Aman

Asesor SDM Aparatur pada Pemerintah Provinsi NTT

 

Bicara soal penilaian kompetensi (penkom), bukan barang baru di dunia pendidikan. Di kalangan guru-guru dikenal yang namanya Uji Kompetensi Guru (UKG) sebagai salah satu tahapan rutin sertifikasi guru sejak tahun 2012. Tentang ini, pernah menjadi topik lawakan sekaligus kritik cerdas komedian nasional asal NTT Abdurrahim Asryad (Abdur) yang membawanya menjadi pemenang kedua kontestasi Stand Up Comedy Kompas TV musim keempat tahun 2014. Di samping UKG, dikenal juga Uji Kompetensi Calon Kepala Sekolah, sebagai salah satu tahapan seleksi untuk menjadi kepsek.

 

Kendati demikian, penilaian-penilain yang disebutkan di atas, lebih bermuatan tes keahlian teknis pedagogik dan penguasaan materi bidang studi sebagai guru ataupun penguasaan regulasi dan tupoksi sebagai kepala sekolah. Sisi manajerial belum tersentuh. Padahal, baik keahlian teknis maupun kemampuan manajerial adalah dua sisi dari koin yang sama. Keduanya adalah kompetensi yang sama-sama penting dan vital bagi guru, apalagi bagi para kepala sekolah. Oleh karena itu, di samping penilaian kompetensi teknis, patut juga dilakukan pengukuran kompetensi manajerial bagi para guru dan kepala sekolah.

 

Tulisan ini secara lebih spesifik membahas urgensi penilaian kompetensi manajerial khusus bagi kepala sekolah. Mengapa demikian? Poin-poin berikut adalah jawabannya.

 

Ujung Tombak

 

Kepala sekolah adalah manajer ujung tombak dalam keseluruhan struktur birokrasi pendidikan. Visi dan misi pemimpin daerah, kebijakan-kebijakan besar kementerian atau pun program dan kegiatan dinas-dinas pendidikan di daerah, ujung-ujungnya bertumpu pada kemampuan kepala sekolah untuk mengeksekusinya di lapangan. Para kepala sekolah adalah guru yang diberi tugas tambahan untuk memimpin sekolah.

 

Sebagai pemimpin sekolah dialah yang mengorganisir semua tata kelola manajemen sekolah, mulai dari menyusun perencanaan sekolah, mengelola program pembelajaran, mengelola keuangan sekolah, mengelola administrasi sekolah, mengelola sistem informasi sekolah, mengelola kesiswaan, mengelola sarana dan prasarana sekolah, mengelola personil tenaga kependidikan, mengelola kegiatan ekstrakurikuler, mengelola hubungan antara sekolah dan komite sekolah, mengelola hubungan antara sekolah dan masyarakat, mengawas dan mengevaluasi semua program dan kegiatan sekolah secara internal, serta menyusun laporan kegiatan secara berkala sesuai ketentuan-ketentuan yang diwajibkan oleh regulasi yang berlaku.

 

Keseluruhan tugas dan tanggung jawab kepala sekolah di atas, bukanlah terutama tugas-tugas teknis, melainkan tugas-tugas manajerial, yakni tugas-tugas memanajemen orang/personil (guru-guru, tenaga kependidikan dan siswa/i, karyawan/wati), memanajemen pekerjaan (penyelesaian tugas-tugas) dan memanajemen relasi sosial kultural di sekolah (hubungan internal dan eksternal). Kepala sekolah dibantu oleh beberapa wakil kepala sekolah, untuk menangani secara lebih teknis berbagai urusan yang kompleks tersebut.

 

Jadi, sebagai pemimpin, kepala sekolah melaksanakan tugas manajerial. Oleh karena itu kepsek adalah sekaligus seorang manajer, sekalipun kerap ada titik tekan semantis berbeda antara kedua terminologi ini (pemimpin dan manajer). Saya tidak ingin masuk dalam diskusi perihal distingsi antara keduanya. Poinnya dalam konteks tulisan ini adalah bahwa seorang pemimpin, termasuk kepala sekolah, pasti melaksanakan tugas-tugas manajerial.

 

Permasalahan di Sekolah

 

Selain tupoksi kepala sekolah yang bersifat manajerial, permasalahan-permasalahan yang muncul di sekolah pun banyak diantaranya merupakan permasalahan manajerial. Aneka problem terkait pengelolaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) boleh jadi diakibatkan oleh lemahnya manajemen administrasi keuangan ataupun karena masalah kompetensi integritas para pengelola. Apalagi kemedikbud misalnya mengidentifikasi bahkan terdapat lebih dari 12 modus penyelewengan dana BOS. Itu artinya, ada soal besar perihal manajemen keuangan di sekolah-sekolah.

“Modus penyalahgunaan dana BOS ini ada 12 modus, sesuai dengan paparan saya. Tapi ini ada lagi modus-modus lain, tapi Sebagian besar ini yang selalu digunakan,” tutur Inspektur Jenderal Kemendikbud, Chatarina Muliana Girsang (bdk.

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200910150042-12-544965/kemendikbud-ungkap-12-modus-penyelewengan-dana-bos)

 

Masalah pembenahan proses pembelajaran menjadi carut-marut tersendiri. Penelitian yang dilakukan SMERU di 20 SD dan 5 Madrasah di Karawang, Jawa Barat, menunjukkan hanya 20% kepala sekolah yang memiliki semangat membenahi pembelajaran siswa. Selebihnya hanya bekerja untuk memastikan siswa kelas 6 memiliki nilai ujian yang baik. Padahal, skor efektivitas mengajar guru di sekolah-sekolah tersebut rata-rata hanya 2,5 dari 8 level. Ironisnya, sebagian besar kepsek yang diwawancarai menyatakan bahwa kemampuan mengajar guru di sekolahnya “baik-baik saja.” Para kepsek itu bahkan merasa “puas”. Hasil penelitian yang mengejutkan ini kemudian dipresetasikan dan dibahas secara serius dalam diskusi di Kemendikbud (bdk. https://theconversation.com/manajemen-sekolah-adalah-kunci-sukses-siswa-tapi-kualitas-kepala-sekolah-di-indonesia-meragukan-129626).

 

Apa yang ditemukan di Karawang boleh jadi juga ditemukan di sekolah-sekolah di NTT. Tentu butuh penelitian tersendiri untuk konteks NTT. Akan tetapi temuan penting dari penelitian di atas adalah bahwa banyak kepsek yang tidak mampu menemukan masalah apalagi untuk mendiagnosis masalah perihal cara guru mengajar. Itu baru satu masalah, tentang efektivitas guru dalam mengajar. Masih ada seribu satu masalah lain yang butuh kemampuan kepsek untuk menemukan, menganalisis dan menyelesaikannya secara cepat, tepat dan akurat.

 

Permasalahan lain misalnya adalah konflik internal, baik antara kepala sekolah dan guru-guru, antara para guru, antarsiswa, antara guru dan tenaga kependidikan, antara guru dan siswa, antara guru dan orang tua murid, antara kepala sekolah dan komite sekolah, atau konflik-konflik lainnya. Permasalahan semacam ini kerap terjadi di sekolah. Konflik-konflik tersebut bisa menjadi berlarut-larut dan berkepanjangan bila saja kepala sekolahnya kurang memiliki kemampuan manajemen konflik yang mumpuni. Hal itu tentu sangat merugikan siswa dan mengganggu semua proses pendidikan dan pengajaran di sekolah umumnya.

 

Masih banyak persoalan lain yang kerap muncul di sekolah seperti kelangkaan sarana dan prasarana, kekurangan tenaga pengajar, kelebihan tenaga pengajar, kurangnya calon siswa yang mendaftar, kurangnya disiplin dan prestasi siswa, kegiatan ekstrakurikuler kurang optimal, ketidakmampuan guru menyusun Dupak (Daftar Usulan Penetapan Angka Kredit) yang berdampak pada terlambatnya kenaikan pangkat, ketidakmampuan guru mengoperasikan komputer dan internet, data dapodik yang tidak sinkron dengan data BKN, kebersihan lingkungan sekolah yang kurang terjaga, honor guru komite yang sangat minim dan berbagai persoalan lainnya yang semuanya membutuhkan kemampuan manajerial seorang kepala sekolah untuk menyelesaikannya.

 

Urgensi Penkom Manajerial

 

Tupoksi kepala sekolah dan aneka persoalan di sekolah-sekolah sebagaimana diuraikan di atas mensyaratkan adanya kepala sekolah yang punya kompetensi manajerial mumpuni. Agar pengelolaan keuangan sekolah tepat sasar, transparan dan akuntabel, dibutuhkan kepala sekolah yang memiliki kompetensi perencanaan dan integritas yang tinggi. Agar kegiatan pembelajaran di sekolah tidak monoton dan membosankan, dibutuhkan kepala sekolah yang mampu menggerakkan guru-gurunya untuk membuat perbaikan, terobosan bahkan inovasi metode ajar.

 

Agar target program dan kegiatan sekolah benar-benar tercapai, dibutuhkan figur kepsek yang melakukan berbagai cara alternative yang lebih efektif, bukan cuma cara-cara lazim yang diulang-ulang dari tahun ke tahun. Agar kegiatan ekstrakurikuler di sekolah menjadi semakin ‘hidup’ dan mendatangkan prestasi, dibutuhkan kepala sekolah yang berpikir kreatif dan mempersiapkan SDM guru-guru untuk benar-benar mumpuni mengelola aneka program dan kegiatan ekstrakurikuler tersebut. Untuk menciptakan lingkungan sosial budaya sekolah yang sehat juga dibutuhkan kepala sekolah yang mempunyai kemampuan interaksi sosial, komunikasi personal dan manajemen konflik yang mumpuni.

 

Semua kualitas kepsek yang disyaratkan itu adalah bentuk-bentuk kompetensi manajerial. Bukan kompetensi teknis. Untuk mendapatkan profil kompetensi kepala sekolah atau calon kepala sekolah yang demikian pun, perlu dilakukan pengukuran melalui kegiatan penilaian kompetensi manajerial dengan mengunakan metode yang akurat dan terpercaya seperti metode assessment center. Metode ini akurat karena sifatnya multi alat ukur. Lalu terpercaya karena multiasesor sehingga objektivitasnya benar-benar terjaga.

 

Hasil pengukuran assessment center tersebut kemudian dikombinasikan dengan penilaian teknis sehingga dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan manajemen SDM, baik penempatan, mutasi, promosi, demosi, maupun pengembangan kompetensi para kepala sekolah dan calon kepala sekolah. Kegiatan semacam ini tentu membutuhkan komitmen para pengambil kebijakan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dasar dan menengah di seluruh kabupaten/kota di bumi Flobamorata. Untuk NTT yang lebih baik, kenapa tidak?

 

Editor: Robert Fahik/ red

Post a Comment

0 Comments