Sebuah Kisah dari Tanah Lembata
Oleh Paulus Geradus Hurint, S.T., Gr
Staf
Pengajar SMK Negeri 1 Ile Ape, Lembata
Kurang
lebih selama 10 bulan di tahun 2020 yang lalu
seluruh aktivitas manusia
dibatasi karena adanya wabah Corona Virus Disease (COVID-19). Penyebaran Virus Corona yang
drastis dan massif telah mengubah seluruh lini kehidupan, bahkan telah
melahirkan sebuah tatanan kehidupan sosial baru yakni Pembatasan Sosial
Bersakala Besar (PSPB). Dalam situasi
sulit dan krisis
seperti ini manusia
dituntut untuk tetap aktif
dan kreatif mencari peluang dan menemukan inovasi
baru agar aktivitas manusia di atas planet bumi tetap berjalan meski dalam format
yang berbeda dengan memanfaatkan media daring.
Hal yang sama juga dialami oleh lembaga
pendidikan SMK Negeri 1 Ile Ape yang berada di Kabupaten Lembata, NTT. Kami yang mengabdi sebagai guru pada lembaga
pendidikan tersebut “terpaksa” beradaptasi
secara tiba-tiba untuk melakukan pembelajaran dari rumah melalui media daring karena
aktivitas pembelajaran tatap muka di sekolah
terpaksa dihentikan untuk
membatasi penyebaran virus tersebut.
Protokol kesehatan yang ketat
sebagai rambu-rambu baru dengan mewajibkan penggunaan masker dan jaga jarak (physical distancing) dalam setiap arus
lalu lintas kehidupan menjadikan aktivitas pembelajaran di sekolah macet dan
bahkan terkesan berjalan di tempat. Pemberlakuan kebijakan tentang jaga jarak
menjadi dasar pelaksanaan belajar dari rumah
dengan memanfaatkan teknologi informasi merupakan sebuah
instruksi yang dipaksakan secara tiba-tiba bagi kami sebagai guru, siswa dan orang tua
wali siswa.
Di tengah terpaan pandemi Covid-19 yang belum berakhir, di
penghujung tahun 2020 tepatnya hari Minggu, 29 November 2020, warga Kecamatan Ile
Ape dan Kecamatan Ile Ape Timur diguncangkan dengan meletusnya gunung merapi
Ile Lewotolok. Ratusan ribu penduduk yang bermukim di lereng gunung
tersebut lari berhamburan meninggalkan rumah dan mengungsi ke
daerah yang aman. Dalam kepanikan dan situasi krisis seperti ini kerumunan
massa tidak bisa dihindari.
Lantas bagaimanakah nasib anak-anak sekolah
di tenda-tenda pengungsian? Kondisi ini
tidak mudah bagi kami sebagai guru,
siswa maupun orang tua/wali
siswa karena lembaga SMK Negeri 1 Ile Ape juga berada tepat di bawah kaki
gunung merapi Ile Lewotolok. Kami merasa
belum siap menghadapi situasi di tengah pandemi Covid-19 dan erupsi gunung merapi Ile
Lewotolok.
Menghadapi
situasi ini maka dibutuhkan lompatan sistem
pembelajaran yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi di wilayah
bencana karena sebagian siswa/siswi telah mengungsi ke rumah-rumah
penduduk di Kota Lewoleba (keluarga atau kerabatnya) dan juga ke posko-posko pengungsian yang telah disiapkan
oleh pemerintah Kabupaten Lembata. Selain itu ada keterbatasan
alat elektronik seperti perangkat gawai, komputer, laptop, dan juga jaringan
listrik serta akses internet yang belum memadai turut memperumit keadaan.
Berbagai kendala dan problem
pasti ini kami temukan apabila
diterapkannya proses belajar mengajar secara daring maupun luring. Lalu, apakah
kita hanya memilih diam, menunggu saatnya tiba, kapan semuanya kembali normal
seperti sediakala? Presiden Jokowi dalam sebuah kesempatan pernah bersuara
lantang di tengah situasi pandemi: “Kita harus bergerak serentak, mendobrak
semua tantangan dengan melakukan langkah-langkah yang extraordinary untuk melakukan lompatan kemajuan”. Optimisme daya
pikir dan militansi perjuangan inilah yang juga memotivasi kami para guru untuk
“bergerak” ketika wabah Corona dan letusan vulkanik hampir menghentikan semua
aktivitas.
Melihat situasi dan kondisi
ini, kami sebagai
guru dan siswa dituntut untuk melatih kemampuan dalam bidang teknologi pembelajaran agar dapat memanfaatkan teknologi
dalam dunia Pendidikan sebagai jalan pengetahuan mesti dirintis kembali.
Dalam situasi serba
keterbatasan dan himpitan
dua krisis yang melanda,
kami berusaha menerapkan format pembelajaran daring.
Sudah pasti bahwa ada banyak kekurangan yang mesti dibenahi seperti soal
keterampilan dalam penguasaan media dan alat elektronik. Namun
perjuangan dalam keterbatasan, baik dalam fasilitas maupun ilmu, telah
membawa hikmah besar bagi kami dalam penguasaan terhadap teknologi pembelajaran
yang semakin bervariasi dan menjadi tantangan tersendiri.
Kebijakan pemerintah tentang Work From Home
(WFH) juga telah memaksa dan mempercepat kami untuk dapat menguasai
teknologi pembelajaran secara digital sebagai
suatu kebutuhan meskipun
kami harus meminjamkan perangkat gawai tersebut dari orang lain (keluarga atau kerabat di tempat pengungsian). Tuntutan tersebut membuat
kami dapat mengetahui dan
mempelajari secara mendalam tentang media daring sebagai penunjang untuk menggantikan kegiatan pembelajaran di
kelas secara langsung tanpa mengurangi kualitas materi pembelajaran dan target pencapaian pembelajaran. Sebagai pendidik,
kami harus mampu membangun
kreativitas, mengasah keterampilan siswa, dan peningkatan kualitas diri siswa
dengan perubahan sistem, cara pandang dan pola interaksi siswa dengan sesama di
tempat pengungsian agar dapat meminjamkan peralatan elektronik yang menunjang
proses pembelajaran siswa.
Sudah 3 bulan lebih kami dirumahkan.
Tekanan fisik maupun psikis (mental) terkait pembelajaran secara
daring sudah mulai berkurang. Selain dapat membantu
untuk memutuskan rantai penyebaran pandemi dan
menghindarkan diri dari abu vulkanis akibat erupsi gunung merapi Ile Lewotolok,
kami berusaha untuk mencoba sendiri dalam keterbatasan sarana yang kami gunakan
sebagai media pembelajaran online tersebut
seperti e-learning, aplikasi zoom, google classroom, youtube, maupun media sosial whatsapp.
Sarana-sarana tersebut dapat kami gunakan secara
maksimal sebagai media dalam
melangsungkan pembelajaran secara
daring seperti layaknya
pembelajaran tatap muka di kelas. Dengan
menggunakan media daring tersebut, maka secara tidak langsung kemampuan kami dalam menggunakan serta
mengakses teknologi semakin
hari semakin baik sehingga terciptalah pemikiran inovatif dari guru terkait
metode dan model pembelajaran yang lebih bervariasi yang belum pernah
dilakukan sebelumnya. Guru dapat membuat konten berupa video kreatif sebagai
bahan pengajaran sehingga siswa semakin tertarik dengan materi yang diberikan.
Dengan sendirinya siswa akan memahami apa yang dijelaskan oleh guru melalui
video kreatif tersebut dan tidak merasa bosan dalam mengikuti pembelajaran
secara daring dari tempat
pengungsian, sekaligus dapat memberikan mutiara terbesar bagi kami sebagai guru, siswa maupun
orang tua akan manfaat sekaligus peningkatan kesadaran kami dalam menguasai kemajuan teknologi
saat ini meskipun dalam keterbatasan.
Kami tetap berusaha sekuat tenaga untuk
mengatasi permasalahan pembelajaran siswa secara daring di lembaga SMK Negeri
1 Ile Ape selama masa pandemi Covid-19
dan erupsi gunung merapi Ile Lewotolok ini, karena mereka adalah generasi yang
telah mempertahankan eksistensi lembaga ini dengan mutiara terindah di balik
serpihan abu vulkanik gunung merapi Ile Lewotolok. Dalam usaha merintis kembali
jalan pengetahuan ini saya pernah terdiam dalam permenungan; terkadang untuk mencapai
lompatan-lompatan perubahan yang jauh, kita perlu tantangan. Tinggal dalam zona
nyaman dan mengurung diri dalam rasa percaya
diri yang berlebihan bahwa ”saya sudah tahu semuanya” atau ”itu saja sudah
cukup”, akan menjadikan kita mandek dalam bergerak maju, kalah sebelum tanding
dan mati sebelum layu.
Foto: Dokumentasi Penulis
Editor: R. Fahik/red
4 Comments
Good job my brother lanjutkan ... tunas bangsa perlu kalian.. pahlawanku salam I Nyoman Sumierawan S.
ReplyDeleteIni mas Sengku..wkwkwkw...bro penggunaan kata gunung merapi menurut saya kurang tepat. Gunung berapi mungkin. Tapi saya salu dengan semangatnya, untuk tetap berjuang. Salam sehat untuk kalian, Louis & Komang Sengku
Deletebtw kok adsense nya bisa dapat yak? punyaku susah amat
DeleteGood job my brother lanjutkan ... tunas bangsa perlu kalian.. pahlawanku salam I Nyoman Sumierawan S.
ReplyDelete