Oleh Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.
Dosen
Universitas Pendidikan Ganesha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada
Komunitas Desa Belajar Bali
Dengan
mencermati pengelompokan pengetahuan dan kecakapan yang dikategori paling dasar
atau pokok, sehingga di Indonesia dikenal enam literasi dasar; maka yang
dimaksud dengan literasi adalah pengetahuan dasar yang harus dimiliki warga
masyarakat.
Telah
menjadi pengetahuan umum bahwa literasi dasar bagi Indonesia terdiri atas
literasi baca-tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital,
literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan. Keenam jenis literasi
ini mengandung maksud, warga negara Indonesia harus menguasai pengetahuan dan
kecakapan dasar dalam keenam bidang tersebut.
Berbicara
literasi di negara-negara dengan peradaban lisan di masa lalu mau tidak mau
bersinggungan dengan persoalan besar yakni transformasi atau peralihan dari
tradisi lisan ke tulis sangat lambat. Persoalan ini belum mampu diatasi.
Seharusnya pendidikan nasional yang sudah dimulai sejak berakhirnya masa
penjajahan Belanda, yang mengenalkan tradisi baca-tulis, telah membawa bangsa
bertransformasi dari kultur lisan ke tulisan. Namun tidak disadari bahwa, salah
satu kegagalan pendidikan adalah belum mampu mencipta bangsa literat.
Transformasi dari lisan ke tulis belum terjadi.
Pendidikan
modern yang dijalankan oleh negara memang mampu menciptakan masyarakat
beraksara. Tetapi, literasi bukan soal melek aksara dan angka. Literasi bukan
hanya kemampuan baca-tulis seseorang. Karena itu, suatu bangsa yang sudah mampu
baca-tulis, tidak tergolong literat.
Konsep
dasar literasi adalah insan pembelajar (belajar dalam arti luas). Orang yang
literat memiliki kebiasaan dan perilaku belajar. Perilaku belajar adalah
memperkaya dan mengembangkan pengetahuan secara mandiri atau swadaya. Hal ini
hanya dapat dilakukan oleh siapapun yang sudah menguasai kecakapan baca-tulis.
Kecakapan ini adalah alat untuk mengumpulkan berbagai pengetahuan dan
mengembangkan pengetahuan itu sendiri dengan cara tertulis.
Kecakapan
baca-tulis yang mencipta kondisi melek aksara, angka, dan berbagai simbol
grafis, bukan kondisi literasi yang sejatinya. Kecakapan ini hanya alat
literasi yang memang sangat mutlak dikuasai. Tanpa kecakapan ini praktik baca-tulis
mustahil terjadi pada diri seseorang. Pendidikan formal memang sukses
mengenalkan aksara dan angka kepada siswa. Namun masih gagal membangun insan
literat, pembelajar dan literatus. Pendidikan belum mampu membangun kesadaran
siswa dan para lulusan sekolah-sekolah negara, menggunakan kecakapan baca-tulis
itu sebagai alat membangun dan mengembangkan diri (belajar dalam arti luas)
dengan cara membaca dan menulis.
Persoalan
literasi Indonesia sudah amat terang benderang, yakni masyarakat belum memiliki
kesadaran tinggi menggunakan kecakapan baca tulis yang telah dimilikinya untuk
membaca dan menulis secara pragmatis. Yang dimaksud dengan membaca dan menulis
di sini, membaca untuk memperkaya diri dan membangun wawasan pengetahuan,
berbagai materi cetak (buku, pustaka, koran, majalah, dll.) dan digital.
Kecakapan menulis adalah kesadaran untuk menyusun suatu pengetahuan yang
dimiliki oleh seseorang. Jika sinergi dalam mempraktikkan dua kecakapan ini
sudah berjalan dengan baik, maka barulah seseorang dapat dikatakan literat.
Insan
literat adalah pribadi yang mengintegrasikan perilaku belajar dalam hidup
sehari-hari dengan kesadaran tinggi membaca dan menulis. Tujuan akhir gerakan
literasi (GLN, GLS, literasi masyarakat, dan literasi keluarga) adalah mencipta
masyarakat yang para warganya memiliki kesadaran tinggi mempraktikkan kecakapan
baca-tulis. Kalau kecakapan ini tidak dipraktikkan, suatu masyarakat belum
literat. Karenanya dapat ditegaskan bahwa kecakapan baca-tulis sama sekali
belum menjamin terjadinya masyarakat literat.
Dengan
asumsi bahwa semua bangsa Indonesia sudah cakap baca-tulis karena memang
kondisi buta aksara dan angka sudah tidak ada lagi, maka keadaan ini masih
harus ditingkatkan dalam rangka menuju masyarakat literat. Pada tahap inilah
tampak jelas inti persoalan literasi di Indonesia, yaknti masih sangat rendah
kesadaran untuk mempraktikkan kecakapan baca-tulis dalam kehidupan sehari-hari.
Pengetahuan
masyarakat stagnan dan tidak berkembang karena tidak pernah lagi diperbarui
atau dimutakhirkan. Masyarakat berada dalam pengetahuan yang “dangkal” dan
bersifat umum. Masyarakat mengkonsumsi pengetahuan yang disediakan oleh media
(koran, televisi) pada masa era jayanya kapitalisme cetak dan kini disediakan
oleh media sosial. Pengetahuan-pengetahuan itu sangat dangkal karena secara
memang porsinya sangat terbatas, tidak utuh, dan hanya permukaan.
Keadaan
masyarakat yang tidak memilki kesadaran untuk belajar dengan cara mempraktikkan
kecakapan baca-tulis yang dimilikinya, mencipta kondisi masyarakat yang tidak
berlandaskan pengetahuan yang memadai dan telah teruji kebenarannya. Kondisi
ini memang berpengaruh lebih jauh dan fundamental bahwa masyarakat merasa tidak
membutuhkan pengetahuan karena dipandang hal yang tidak menguntungkan ketimbang
praktik-praktik ekonomi, sosial, dan politik. Masyarakat menghabiskan hampir
semua waktunya untuk kerja, bersosialisasi, berpartisipasi dalam
praktik-praktik agama dan sama sekali tidak mempraktikkan baca dan menulis.
Ketimpangan terjadi namun hal ini bukan persoalan dalam masyarakat dengan
kesadaran rendah mempraktikkan kecapakan baca-tulis mereka dalam kehidupan
sehari-hari.
Persoalan
literasi bangsa adalah rendahnya kesadaran mempraktikkan kecakapan baca-tulis.
Gerakan literasi, apapun bentuknya, harus mulai dari memecahkan persoalan ini.
Setiap gerakan dirancang untuk membangun, mengembangkan, dan melipatkan
kesadaran warga masyarakat dalam mempraktikkan kecakapan baca-tulis.
Model
kegiatan atau praktik baik literasi harus dimulai dari aspek yang paling dasar
yakni pada wilayah kesadaran masyarakat (motivasi, harapan, tujuan, dan makna).
Dengan prinsip ini, tampak jelas, gerakan-gerakan literasi saat ini hanya
berada di wilayah permukaan. Para pegiat, pemerintah, sekolah, taman bacaan
masyarakat, ujug-ujug membangun perpustakaan, mendatangkan buku, dan membangun
kebiasaan membaca. Kegiatan ini barus bisa dilaksanakan kelak, ketika suatu
masyarakat telah memiliki kesadaran tinggi dalam mempraktikkan kecakapan baca-tulis
yang telah mereka miliki melalui pendidikan di SD.
Membangun
atau menggalang aspek-aspek fisik literasi (gedung, ruang baca, buku-buku)
sangat mudah. Justru yang sulit adalah terjadinya gerakan literasi yang
menyasar wilayah-wilayah kesadaran masyarakat untuk mengubah pola pikir mereka,
dari yang memandang kecakapan baca-tulis hanya memiliki peranan yang sangat
terbatas menjadi kecakapan hidup yang berperan hebat dalam kehidupan manusia.
Gerakan literasi yang ada di wilayah kesadaran ini berhadapan dengan motivasi,
tujuan, dan makna praktik-praktik kecakapan baca-tulis.
Insan
yang sudah memiliki keasadaran tinggi dalam mempraktikkan kecakapan baca-tulis,
memiliki motivasi yang sangat kuat untuk membaca (dan menulis), telah mampu
membangun tujuan membaca dan menulis untuk memenuhi kebutuhan rasa ingin tahu,
dan memaknai diri sendiri dalam kaitan dengan individu yang berpengetahuan
(cendekia), mencapai rasa bangga dengan penguasaan pengetahuan-pengetahuan
terbaik.
Kondisi
inilah yang mesti terjadi pada setiap individu untuk membangun masyarakat
literatus (pembelajar sosial atau missal). Model-model gerakan literasi yang
dikembangkan mengacu kepada permasalahan dasar dan tujuan dasarnya. Gerakan
literasi yang diwujudkan dengan pengadaan buku, penyebaran, pelatihan membaca
yang disikapi secara instan, adalah praktik-praktik di permukaan. Model-model
gerakan literasi membutuhkan kegiatan-kegiatan yang bersentuhan langsung dengan
individu.
Foto:
fbs.undiksha.ac.id
Editor: R. Fahik/red
0 Comments