Paulus Widiatmoko
Dosen Prodi PBI UKDW Yogyakarta
Uji literasi membaca dalam PISA 2009 menunjukkan peserta
didik Indonesia berada pada peringkat ke-57 dengan skor 396 (dari skor
rata-rata 493), sedangkan PISA 2012 menunjukkan peserta didik Indonesia berada
pada peringkat ke-64 dengan skor 396 (dari skor rata rata 496). Sebanyak 65
negara berpartisipasi dalam PISA 2009 dan 2012. Pada tahun 2018, peserta didik
di Indonesia meraih skor 371 dan ditengarai menjadi titik paling rendah dalam
beberapa tahun terakhir (www.kompas.com-04/12/2019). Hal ini menjadi salah satu
indikasi rendahnya kompetensi membaca peserta didik Indonesia.
Menelusur penyebab kurang tepatnya pembelajaran membaca di
sekolah dasar dan menengah di Indonesia, esensi membaca sebagai sebuah interaksi
yang kompleks secara fisik-kognitif-metakognitif-afeksi dengan berbagai tujuan
dan strategi harus menjadi dasar pemikiran. Pembelajaran membaca sejak usia
dini sampai tingkat dewasa seyogyanya selaras dengan prinsip-prinsip membaca itu
sendiri. Dari tingkat Pendidikan dasar membaca sebagai sebuah kesenangan harus
dimulai dan didorong menjadi sebuah budaya dan difasilitasi secara menyeluruh,
baik di sekolah dan di lingkungan masyarakat termasuk di rumah. Sehingga
kegiatan ini bukan hanya dilakukan untuk tujuan belajar secara formal. Dengan
begitu, kesenangan membaca akan tumbuh dengan sendirinya sehingga kegiatan memaknai
atau meaning making sebuah teks dilakukan secara sukarela.
Peran guru dan orang tua sangat penting untuk memberikan
contoh dan menciptakan ekologi dan role model yang tepat dan kondisi
membaca for fun. Guru memberikan teladan dan modelling strategi
membaca yang menyenangkan dan efektif. Tidak dapat dipungkiri bahwa guru juga
harus gemar membaca. Demikian pula orang tua juga perlu melakukan aktifitas
membaca di rumah serta menciptakan lingkungan yang mendukung.
Dalam konteks lebih besar, mendorong serta memfasilitasi
masyarakat yang gemar membaca lewat berbagai media yang didukung oleh kebijakan
pemerintah dan swasta perlu dilakukan. Selain itu, pemerintah juga perlu
melakukan pelatihan membaca yang efektif bagi para guru dan praktisi pendidikan
sehingga mereka mempunyai perspektif yang sejalan dengan esensi, tujuan, dan
teori membaca yang tepat. Merekalah yang diharapkan untuk menjadi penggerak,
tidak hanya di sekolah tetapi juga di keluarga dan masyarakat.
Pembudayaan membaca sebagai kesenangan tersebut tentunya
bisa diselaraskan dengan penugasan secara sistematis melalui jalur pendidikan
formal. Penugasan membaca secara ideal tidak hanya menjadi tuntutan pelajaran
Bahasa. Tidak ada salah memang untuk membudayakan membaca berbagai karya sastra
seperti puisi, novel, dan cerita pendek. Akan tetapi, genre jenis bacaan
tersebut terbatas, sedangkan sumber bacaan dengan berbagai genre dan jenis
saat ini tersedia baik dalam bentuk cetak maupun digital. Selain itu, semua pelajaran di sekolah bisa
memasukkan penugasan membaca dalam pembelajarannya, tentunya dengan kadar,
tujuan dan strategi yang berbeda-beda.
Misalnya, pelajaran Matematika memerlukan kemampuan membaca
untuk memahami, menalar, dan melakukan analisa soal cerita sebelum siswa
menjawab secara matematis. Dalam hal ini, guru tidak hanya berfokus pada
kemampuan matematika, tetapi juga mengajarkan strategi memahami dan analisa
soal cerita. Begitu juga dalam mata pelajaran lain. Sebuah teks bisa menjadi
aktifitas pengantar untuk berbagai aktifitas seperti diskusi, presentasi,
mengerjakan soal, dan sebagainya.
Ketika membaca dilakukan secara ekstensif dalam berbagai
keperluan serta menjadi budaya dalam semua mata pelajaran, maka tidak hanya
kemampuan membaca yang meningkat, kualitas Pendidikan juga akan meningkat. Julian
Bamford dan Richard R. Day dalam buku Extensive Reading in The Second
Language Classroom mengungkapkan bahwa praktik membaca harus dilakukan
secara ekstensif supaya pembelajar menguasai kemampuan literasi yang mendukung
mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Membaca ekstensif juga dipandang sebagai proses membaca yang
membantu pengembangan kemampuan bahasa, kebiasaan membaca, dan sikap positif
terhadap membaca. Sehingga, kegiatan ini adalah praktik membaca secara
kuantitas dan untuk mengikat makna, memberikan kesenangan, serta menuntut
kemandirian. Dalam konteks pembelajaran Bahasa misalnya, Mary Clarity dari
Victoria Universitas Wellington Selandia baru dalam artikelnya An Extensive
Reading Program for Your ESL Classroom mengungkapkan bahwa dengan melakukan
aktifitas membaca ekstensif, pembelajar dapat meningkatkan kemandirian belajar,
pengembangan kosa kata dan tata bahasa, sekaligus mampu menerapkan penggunaan
bahasa secara kreatif.
Kemampuan menjadi strategic reader lewat aktifitas
kelas dalam pelajaran apapun adalah menu utama untuk mendukung ekologi membaca.
Semua guru harus menguasai hakikat bahasa, ketrampilan bahasa, membaca dan
pengajarannya, serta berbagai strategi membaca sesuai keperluan masing-masing.
Pelajaran di kelas seyogyanya bisa merubah mindset
membaca sebagai kegiatan yang sulit, membosankan, dan tidak berguna menjadi
mudah, menyenangkan, dan bermanfaat. Ini akan memotivasi para siswa untuk lebih
banyak membaca dan berlatih.
Selain itu, membaca strategis juga perlu dipahami dan
dilatihkan sebagai proses menciptakan makna dari sebuah teks yang dilakukan
secara aktif dan memerlukan respon, baik secara mental/kognitif atau secara
fisik dengan berbagai luaran. Jika ini dilakukan para guru, tidak lagi perlu
secara khusus mempersiapkan program intensif khusus mengerjakan soal bacaan
sebelum ujian nasional. Kecakapan membaca sudah dikuasai lewat berbagai kegiatan
kelas, ditunjang oleh kebiasaan membaca di luar kelas, dan didukung oleh
berbagai pihak seperti pemerintah dan pihak swasta. Lebih penting lagi, fondasi
mendidik generasi masa depan yang literat sudah dimulai dengan baik. Berkatian
dengan hal ini, Stanley Fish dalam How to Write a Sentence: And How to Read
One menyatakan “Students need to be able to understand concepts as
tools, which can be used to solve real-world problems…..most importantly,
students need to recognize threshold concepts”. Dengan kemampuan ini, mereka
akan melihat dan memahami dunia dengan cara yang berbeda.
Di zaman ini, kemajuan dunia digital dan internet juga harus
dimanfaatkan sebagai pendukung ekologi membaca. Pemahaman bahwa membaca harus
dengan buku atau media cetak menjadi kurang relevan pada saat ini. Banyak buku
atau informasi yang lebih cepat dan banyak bisa didapatkan dari internet.
Pengajaran membaca harus menyentuh media ini karena memang zaman sudah berubah
dan dunia para siswa sebagai generasi Z memang sudah tidak bisa dipisahkan dari
teknologi. Pelatihan strategi membaca digital, memilih informasi yang
terpercaya dari internet, menyarikan informasi dan menganalisanya, serta
melakukan tindakan yang tepat setelah memperoleh informasi seyogyanya menjadi
muatan pelajaran membaca di sekolah.
Selain tetap membiasakan membaca teks cetak, sangatlah perlu
untuk melatih generasi muda menjadi strategic-digital readers. Kalau
guru merasa zaman mereka dahulu tidak demikian atau membaca di internet berbahaya,
mungkin mereka lupa kalau zaman sudah berubah.
Foto-foto: Dokumentasi Prodi PBI UKDW Yogyakarta
0 Comments