Oleh Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.
Dosen
Undiksha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali
Semester
genap 2021 belum pasti belajar tatap muka. Dalam hari-hari yang tidak pasti,
tebersit harapan jika semester ini sekolah dibuka. Tentu saja dengan berbagai
tata cara baru. Tampaknya anak-anak sekolah masih belajar di rumah, dalam batas
waktu yang tidak jelas.
Pada
awal pandemi, diperkirakan sekolah paling-paling hanya tutup tiga bulan
sehingga kurang diantisipasi. Kurikulum darurat tidak dimaksimalkan. Kurikulum
normal dipaksakan di tengah situasi darurat wabah global.
Sampai
sekarang pun tidak ada yang berani memastikan, kapan sekolah buka. Yang tidak
kalah besar berharap tentu para orang tua. Tanggung jawab, tugas, beban orang
tua berkurang. Belajar di rumah menjadi gangguan.
Ketika
sekolah formal dikenalkan dan melayani masyarakat secara masif, orang tua
menyerahkan seluruh urusan pendidikan atau pengasuhan anak kepada para guru dan
sekolah. Kegiatan belajar benar-benar pindah, dari rumah-rumah ke gedung-gedung
sekolah pemerintah. Bersamaan dengan ini, etnopedagogi pun ditinggalkan.
Keluarga-keluarga tunduk pada seluruh kebijakan sekolah. Lembaga sekolah begitu
terhormat di mata masyarakat.
Wabah
ini mengembalikan kegiatan belajar ke rumah-rumah, di tengah keluarga. Orang tua
dipaksa terlibat namun sangat sulit berperan karena memang selama ini abai.
Tanggung jawab orang tua sebatas ekonomi (biaya). Keluarga sama sekali mengabaikan
tanggung jawab instruksional. Belajar di rumah memaksa orang tua untuk
mengambil tanggung jawab secara instruksional.
Di
negara-negara lain, lewat home schooling,
keluarga tetap berperan dalam pengasuhan dan memegang tanggung jawab
instruksional. Orang tua mengajar anak-anak mereka di rumah masing-masing.
Karena itulah, wabah ini tidak berpengaruh signifikan.
Semula
jaringan internet akan menjadi penolong. Namun ternyata belajar lewat jaringan
internet, belajar daring (yang salah konsep) menimbulkan persoalan-persoalan
baru: paket data yang mahal, koneksi yang tidak stabil, dan persoalan
instruksional yang dialami guru.
Guru
dan orang tua setali tiga uang. Guru-guru masih asing menyelenggarakan
pelajaran daring. Akhirnya belajar daring sekadar jalan dengan WAG. Belajar
daring bersifat khusus. Guru harus memanfaatkan satu flatform pembelajaran yang bisa dipilih sesuai dengan kebutuhan dan
mudah digunakan (oleh dirinya dan siswa), misalnya Google Classroom. Flatform
belajar daring memiliki sejumlah “ruang” atau “rubrik” yang digunakan guru
untuk menyajikan materi dan merancang variasi aktivitas belajar.
Flatform pembelajaran
daring memudahkan guru dalam merencanakan pembelajaran, menyajikan materi, dan
mengadministrasi proses dan hasil belajar. Belajar daring dengan flatform tidak harus “tatap muka” secara
virtual. Siswa bisa masuk secara fleksibel ke kelas-kelas virtual yang dibuat
guru. Siswa tinggal mengikuti arahan guru (baik secara tulis atau rekaman),
misalnya membaca suatu materi yang sudah disiapkan baik langsung maupun pada
tautan (link), menyimak materi berupa film pendek, bisa juga menyimak
salindia (PPT), dll; setelah ini siswa menjawab kuis yang langsung diunggah;
atau mengerjakan tugas atau proyek.
Flatform
pembelajaran juga memudahkan siswa dalam belajar. Siswa belajar sendiri dengan cara
masuk kelas “virtual”nya. Di dalam kelas ini mereka beraktivitas belajar,
seperti membaca, meringkas, menyimak cerita, mengamati gambar, mengerjakan
soal-soal, mengunggah laporan atau tugas-tugas pemecahan kasus, dll. Semua itu
dilakukan secara digital.
Kesalahan
belajar daring adalah dalam penggunaan firanti teknologi. Pada umumnya belajar
daring hanya dengan HP. HP hanya memungkinkan belajar dengan WAG. Praktis
memang. Tapi belajar daring jadi salah konsep. Belajar daring dengan flatform pembelajaran harus menggunakan
laptop atau PC. Jika saja hal ini dipahami oleh para guru, siswa, dan orang
tua, maka belajar daring selama wabah tidak meresahkan.
Fungsi
flatform pembelajaran yang juga
sangat penting, selain untuk menyajikan materi, adalah merekam atau
mendokumentasi proses dan hasil-hasil
belajar. Guru tinggal membaca tugas-tugas siswa, berkomentar, memberi skor-skor
pada karya atau tugas siswa. Semua itu lalu dikirim balik kepada siswa. Siswa
kemudian membaca berbagai komentar atau pujian-pujian guru.
Kelemahan
yang ada pada flatform pembelajaran
adalah membutuhkan waktu yang jauh lebih banyak karena pada hakikatnya,
pembelajaran menggunakan pendekatan individual. Guru harus memberi perhatian
secara individual kepada siswa, misalnya ketika memeriksa tugas-tugas siswa.
Setiap tugas siswa harus dibaca satu per satu, lalu memberi komentar dan skor,
selanjutnya dikirim ke siswa. Dalam belajar tatap muka, 80 menit bisa digunakan
untuk melayani 35-40 orang siswa, dalam waktu yang sama. Bagi guru yang sudah
sering menggunakan flatform pembeajaran, tentu sudah memahami persoalan
ini. Persoalan lain adalah mungkin guru bosan berjam-jam duduk dan mata perih
oleh radiasi layar.
Sudah
cukup setahun pembelajaran daring dilaksanakan dengan WAG. Maka semester ini
hendaknya para guru menggunakan flatform belajar
daring. Guru bisa menyiapkan materi belajar untuk dua atau tiga kali pertemuan.
Siswa juga bisa diseting untuk belajar secara mandiri dalam waktu yang
fleksibel.
Dalam
waktu yang masih tidak pasti, kapan sekolah dibuka, para guru perlu kiranya
memanfaatkan flatform atau aplikasi belajar yang tersedia di internet. Dengan
ini, pembelajaran lebih terstruktur, terarah, terdekumentasi dengan baik, fleksibel
dari segi waktu yang digunakan siswa, serta dapat mengukur dengan pasti
kuantitas materi yang sudah dipelajari.
Flatform belajar
juga memungkinkan siswa dapat melakukan berbagai variasi aktivitas belajar.
Kemandirian belajar siswa dilatih. Kompetensi baca tulis siswa akan terlatih
karena flatform pembelajaran itu pada umumnya
bersifat tertulis. Siswa belajar dengan aktivitas pokok: membaca dan menulis.
Porsi pelisanan sangat terbatas. Flatform
belajar juga dapat menumbuhkan kebiasaan literasi siswa.
Guru
juga terlatih untuk menyiapkan dan menyajikan materi dengan matang dan
benar-benar dipraktikkan dalam belajar daring. Sehingga, persiapan dan
perencanaan guru linier dengan praktik mengajar. Dalam belajar tatap muka
konvensional, antara persiapan dan perencanaan dengan praktik mengajar di kelas
sering tidak sejalan. Persiapan dan rancangan belajar daring dengan menggunakan
flatform tidak perlu terlalu
muluk-muluk atau rumit, namun harus jelas, praktis (pasti diterapkan), dan
terukur secara kuntitatif.
0 Comments