Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

KETERBATASAN MEMBAWA HARAPAN (MEMAKNAI HARI SUMPAH PEMUDA)


 










Uncianus Natalius Teti Nahak, S.H., M.H

Ketua Orang Muda Katolik (OMK) Paroki Santa Maria Fatima Betun, Keuskupan Atambua, Kabupaten Malaka

 

Saya terjaga semalam. Kira-kira pukul 04.25, masih bermain gadget, memantau akun media sosial. Pada layar media sosial; whatsapp, facebook, instagram, sejumlah gambar bertuliskan  “Selamat Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober” diupload. Tak lupa, tulisan 92 tahun disertakan.

 

Saya teringat kembali pelajaran IPS selama SD sampai jenjang SMA, di mana sajian materi selalu menegaskan tentang pentingnya tanggal 28 Oktober 1928, sebagai hari di mana sekelompok pemuda-pemudi dari berbagai daerah berkumpul dan menyatakan niat mereka dalam sumpah, berjuang demi Bangsa Indonesia.

 

Saya berpikir keras, bagaimana pemuda-pemudi zaman itu, dapat berkumpul. Sementara akses transportasi masih sangat terbatas waktu itu. Adakah kereta api, waktu itu? Ataupun becak, bagaimana kondisi mereka saat mendayung dari Surabaya sampai Jakarta? Transportasi jalur laut pun butuh waktu berhari-hari, itupun uji nyali, siapa cepat, dia dapat, mengingat masih sangat terbatas waktu itu. Jangkauan komunikasi antar mereka pun, pasti rumitnya bukan main, mengingat bahwa waktu itu, belum bisa selancar sekarang via group whatsapp, facebook. Jangankan itu, telpon genggam pun belum ada. Surat-menyurat pasti dilakukan, tetapi butuh waktu yang sangat lama untuk tiba di tempat tujuan.

 

Menarik bahwa saat itu (92 tahun silam), saat bangsa penjajah masih berkuasa melancarkan berbagai aksi, praktek itu tidak mematikan semangat para pemuda. Saya meyakini bahwa semangat untuk merdekalah, yang mendorong mereka, sehingga berangkat dari keterbatasan sekalipun, perjuangan demi martabat luhur Bumi Pertiwi Indonesia takkan luntur. Dan semua itu, tertuang dalam tiga poin utama sumpah pemuda yakni mengaku bertanah air satu yaitu tanah air Indonesia, berbangsa satu yaitu bangsa Indonesia dan berbahasa satu yaitu bahasa Indonesia.

 

Semangat pemuda-pemudi waktu itu, merupakan cikal bakal bagi diraihnya kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Sebagai pemuda-pemudi sudah sepatutnya kita berbangga bahwa momen 28 Oktober 1928, lama sebelum Indonesia merdeka, kaum muda telah berandil dengan cara sangat luar biasa demi kesejahteraan rakyat Indonesia. Momen inipun, melegitimasi kaum muda sebagai tulang punggung bangsa Indonesia. Supaya bangsa maju dan berkembang, kaum muda perlu berbenah diri, sembari membuka diri untuk diterangi oleh nilai-nilai Pancasila.

 

Sembari berbenah diri, kaum muda tidak terlepas dari akses kemajuan teknologi dalam pertukaran Informasi, yang didalamnya, memberikan ruang kepada pemuda untuk lebih bebas dalam berkreasi, serta tak lupa menjadikan diri terampil dan inovatif.

 

Momen Sumpah Pemuda, tidak berhenti pada 28 Oktober 1928, dan setiap tanggal 28 Oktober, tetapi sekiranya  terikat kewajiban untuk memaknai dan melaksanakannya dalam kehidupan setiap hari. Waktu memang terus berputar, tetapi sekiranya semangat yang sama, masih tetap stabil, tidak kendor sedikitpun.

 

Semangat yang tetap stabil, menuntut pula kaum muda untuk tidak menggunakan isu SARA sebagai senjata untuk menekan dan melemahkan siapapun. Para pemuda tidak boleh membiarkan diri diperdaya oleh doktrin terorisme lalu, dengan nekatnya berkhianat terhadap negara dan bangsa. Apapun agama, suku, jenis kulit dan rambut, ketika kamu menyatakan diri sebagai pemuda Indonesia, maka kita adalah saudara dan sahabat.

 

Jadilah pemuda dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika karena berbeda adalah syarat bagi keindahan. Tiada keindahan tanpa perbedaan, tiada seorangpun dapat hidup sendirian. Untuk itu, mari kita bergandeng tangan, satukan tekad, mantapkan langkah, petakan pandangan, karena semua ini tentang kita, yakni bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu yaitu Indonesia.

 

Selamat merayakan Hari Sumpah Pemuda ke-92, untuk saudara dan saudari, di mana saja berada. Mewakili Orang Muda Katolik Paroki Santa Maria Fatima Betun, Keuskupan Atambua, Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur, dengan hati yang besar, menyapa dan merangkul dalam nuansa penuh persaudaraan.

Post a Comment

0 Comments