Dr. Marsel Robot Dosen, Sastrawan |
Ada semacam keruwetan dalam urusan menikmati puisi. Semisal,
seorang penyair menulis selarik puisi, “air mata ibu beraroma mawar.” Mulailah pembaca kerepotan. Sebab, ia terus-menerus dirong-rong
oleh pertanyaan, apakah makna “air mata ibu beraroma mawar” dalam larik puisi itu? Dalam pertengkaran yang
nikmat itulah, pembaca diperlakukan sebagai orang cerdas dan kreatif. Karena itu, pembaca puisi tidak hanya mempunyai tumpukan pengetahuan, tetapi lebih dari itu, mempunyai radar
(kepekaan) estetik yang dapat mengonstruksi
pengalaman puitik dengan karya puisi yang dibacanya. Radar estetik dapat melipat jarak antara pencipta dan pembaca.
Antologi puisi
berjudul “Terima kasih untuk Cintamu” merupakan kumpulan puisi karya siswa-siswi SMP Negeri 6 Nekamese Kabupaten Kupang. Tetesan
tangan mungil dari jagat hati yang bening dengan tema dan diksi yang melampaui usia siswa-siswi
ini. Antologi ini memberkaskan secara estetik rasa rindu, cinta para penyair cilik
ini terhadap Ibu, Ayah, Sahabat, Guru. Puisi-puisi ini tak lain adalah titian untuk memulangkan rindu dan cinta kepada Ibu, Ayah,
atau Sahabat. Sebab, cinta kepada Ibu, cinta
kepada Ayah, dan cinta kepada Sahabat
kadang tersedak di tenggorokan pengalaman. Sebab, sulit untuk membalasnya. Itulah yang menyebabkan merindu
itu luka yang membahagiakan, dan mencintai itu adalah sayatan yang menyedapkan.
Begitu banyak metafora
tentang Ibu atau Ayah yang tumbuh dalam puisi-puisi siswa-siswi ini. Terasa dekapan
cinta dan jamaan kasih Ibu dan Ayah menembus lambung, lalu mengalir dalam nadi
kehidupan mereka. Ibu bagai bulan yang membagikan purnamanya dengan
tenang, dan membuat kita memahami gelap. Sang anak adalah anting pada bulan itu
yang seakan bertugas merindu dan mencinta. Demikianlah kualitas cinta
antara ibu dan anak yang tak mengenal
angka pembilang dan penyebut. Dalam puisi Esra M. Baliaut berjudul “Kasih Ibu”
menuturkan hal itu dengan jujur.
Wahai
ibu
Engkau
pelitaku dalam gelap
Kau
terangi hidupku
Penuh
kasih luar biasa kau merawatku
Kau
belai dengan tangan putih nan lembut
Dengan
tanganmu kau usap air mataku
Dengan
tangan kau belai rambutku
Dengan
tangan engkau memelukku
Di doa
tulusmu
Kakiku
tertatih melangkah
Tak
pernah kau biarkan kuterjatuh
Karena
tanganmu jualah yang memapah
Hanya
terima kasihku ibu
Mewakili
segala yang kurasa
Karena
tidak ada satupun di dunia ini
Yang
bisa menggantikan kasihmu
Cuma
kasihmu ibu.
“Tangan putih Ibu”
yang mengusap rambut, mengusap nasib, mengusap hidup adalah simbol
kesucian dan ketulusan dalam mengantar Sang Anak menuju bintang. Anak adalah busur-busur yang
melesat jauh yang ditembakkan oleh Ayah dan Ibu dari kintal hatinya. Karena
itu, titah, petatah, atau nasihat adalah lilin-lilin yang dinyalakan di tepi
jalan setapak menuju bintang itu. Lilin-lilin itu adalah Ibu itu sendiri, yang
demi cahaya pada jalan, ia melulukan dirinya
(mengorbankan dirinya). Sebuah wantian
dari Ibu atau Ayah adalah sabda. Serli
S. Tasey berucap lugu dalam puisinya berikut ini.
Ibu
...
Di
saat malam gelap
Aku
belaian kasihmu
Akan
pelukan hangatmu
Ibu
...
Satu
kata nasihatmu
Bagaikan
butiran-butiran mutiara
Yang
manyinari jalan hidupku
Ibu
...
Kuucapkan
terima kasih untukmu , ibu
Karena
engkau sudah mengorbankan dirimu
Untuk
aku anakmu
Puisi
lahir dengan cara dan sejarahnya sendiri. Personalitas dalam memilih diksi,
metafora, idiom atau tamsil apapun justru menjadi sebuah telaga perpisahan yang
paling indah antara pencipta dan
pembaca. Romantika persahabatan menjadi energi tambahan dalam merengkuh
ilmu di masa muda seperti ini, atau menjadi inspirator, motivator untuk melakukan
sesuatu yang bermakna. Tanpa persahabatan, kehidupan demikian susut, dan
harapan bisa saja tersangkut. Maria Tanenofunan dalam puisi “Rindu Bersamamu Lagi”
menulis:
Oh....sahabat
Saat sepi dalam kesendirian
Mataku menerawang jauh
Menembusi kegelapan malam
Dalam rindu
Oh....sahabat
Kukenang masa-masa kita bersama
Semakin kenang semakin merindukanmu
Oh....sahabat
Aku rindu tawamu
Aku rindu candamu
Aku rindu kebersamaan
Kebersamaan kita yang dulu
Rindu kadang menyiksa, tetapi rasanya nikmat. Dalam tawanan rindu itu muncul refleksi. Atau
setidaknya membilang atau menyebut budi baik sahabat yang pernah disumbangkan kepada kita. Sebab, rindu selalu menggenangkan
kenangan dalam buku memori yang tak
mudah dihapus oleh tangan zaman. Rindu itu menyakitkan seperti terucap Amsal Leli dalam puisi
pendeknya berjudul “Rindu.”
Rindu...
Rasa yang
mendalam
Rindu...
Menyakitkan
Rindu...
Hanya
dapat diobati
Oleh
apa yang dirindukan
Saling mencintai, saling menghargai dan turut merasakan
(solider) sesungguhnya merupakan penampakan
sikap religius dalam hubungan antarmanusia. Teringat ucapan Chuang Tse, “Dirimu adalah satu tubuh yang
dipinjamkan padanya oleh alam semesta. Hidupmu
bukan milikmu. Ia adalah suatu harmoni yang dipinjamkan kepadamu oleh
alam semesta....engkau tidak memiliki hidupmu” (Anh, 1985 : 18).
Setelah sebulanan suntuk mengembara (keluar –masuk) puisi-puisi siswa-siswi SMP Negeri 6 Nekamese
ini, saya malah terlempar di sebuah pojok perenungan. Betapa kagum, anak-anak milenial yang tumbuh di atas serat-serat optik ini berpuisi. Mereka tidak terlahir
di antara dongeng, mitos, atau legenda, tetapi lahir di antara jempol dan tombol (telepon
genggam android). Dibesarkan oleh Facebook,
Instagram, Youtube dan Google. Kaki mereka terperosok dalam selokan tanpa nostalgia. Terlihat apatis dan autis, terlantar di padang-padang peradaban,
jauh dan sendirian. Begitu tergantung
hingga martabat ditentukan oleh android yang digunakannya. Namun, siswa-siswi
ini masih menabung waktu untuk mencari jalan pulang ke dalam diri dan ke dalam
kehidupan melalui perenungan-perenungan yang mewujud dalam puisi.
Putra-putri ini sesungguhnya sedang mencari alamat-alamat kerinduan dan cinta agar dapat
dipulangkan kepada si pemberinya. Mungki hanya sekerat doa atau seutas ucapan
terima kasih. Puisilah yang menyediakan alamat itu. Totalitas rasa dan rasio,
serta pengalaman menggenapi dunia puisi yang penuh sesak dengan makna. Karena
itu, buat saya, lebih dari sekadar identitas geografis, Nekamese adalah entitas yang menyuburkan imajinasi, baik siswa maupun
guru-gurunya untuk beternak kata-kata. Mereka bercanda dengan dunia khayalan, sesekali
kembali membuka jendela dan memandang “ke dalam,” lalu bertanya “siapakah
aku ini selama di sini?”
Padahal, generasi digital ini tak
mempunyai kesempatan untuk bernostalgia atau bernarasi tentang hidup yang
sedang dijalaninya. Nyaris tak ada dongeng, mitos dan ceitera-ceritera
yang mengaktifkan memori imajinatif dan membuatnya lebih manusiawi. Mungkin
juga tak ada lagu untuk sesekali melegokan hasrat cinta dan rasa rindu antara
sesama insan. Puisi-puisi inilah semacam
kedipan cinta dari halaman sekolah
Nekamese buat mengusap hidup yang terasa karatan, romantisme yang mulai bangkrut, memori tak merekah dalam buku album.
Beberapa tahun lalu, saya pernah ke sekolah ini untuk
urusan yang satu ini. Sejumlah guru
menuliskan puisi dan dibuatkan dua buku antologi masing-masing berjudul: “Bumantara Cinta” dan “Kuingin Goresan Cinta dalam Daifan.” Yulianti Pulungtana, Sang Kepala Sekolah
itulah yang menjadi mata air inspirasi guru dan siswa di sekolah itu. Dialah
yang menurunkan gerimis di bukit Nekamese buat membibitkan dan membobotkan imajinasi guru dan siswa. Langka memang, dan memang langka. Seorang Kepala Sekolah dengan
setumpuk tugas yang menimpuknya, toh masih saja ingin bersekongkol dengan kesunyian.
Yulianti Pulungtana begitu hirau dengan urusan rasa ini. Hemat saya, Yulianti
sedang menata peradaban di etalase pendidikan melalui tradisi bersastra di
sekolah.
Puisi-puisi yang menghuni antologi ini adalah jalan indah
untuk kembali “ke dalam diri,” setelah kembali dari luar sana sekadar bertengkar
secara romantis dengan realitas. Puisi
adalah meja perjamuan kemanusiaan.Toh, dunia ini cuma tempat pembuangan buat kita
menyadari diri bahwa kita bukan siapa-siapa, dan tidak mempunyai apa-apa, dan
untuk apa mempunyai apa-apa kalau tidak lebih dari sekadar apa-apa. Tugas kita
ialah merindu mencintai sepanjang perjalanan menuju sebutir debu. Namun, matamu
mulai purnama di geladak, lantas kehilangan segalanya dari dompet, terutama nostalgia. Di sanalah rindu tak ada
alamat untuk kembali.
0 Comments