TESTIONI
DARI KINTAL CAKRAWALA
(Membaca
Jejak Literasi dari Buku “Hanya Pikiran yang Tidak Pernah Tua”
Karya Gusty Ricarno)
Oleh Marsel
Robot
Dosen,
Budayawan, dan Penggiat Literasi
Abdul Kassen Ismael pembawa
terang literasi di atas punggung unta. Akhir abad kesepuluh,Abdul Kassem Ismael melakukan tur eksentrik. Ia seorang
traveler palingbijaksana dan barangkali menjadi ikon gerakan literasi
perpustakaan berjalan saat ini. Ismael bepergian membawa
perpustakaannya. Seratus tujuh belas ribu buku di atas empat ratus unta
membentuk karavan sepanjang satu mil. Unta-unta itu juga merupakan katalog:
mereka diatur sesuai dengan judul buku yang mereka bawa, kawanan untuk
masing-masing dari tiga puluh dua huruf abjad Persia (baca Galeano:Children of the Days,
A Calendar of Human History, 2013).
Perjalanan Abdul Kassem Ismael adalah perjalan membawa
cahaya untuk mengubah peradaban dunia. Memang, tak ada catatan hasil wawancara tentang Kassem untuk
menanyakan ide aneh dan karnaval kolosal para unta yang dilakukannya
demi buku, peradaban, dan kehidupan. Keadaan demikian menerima Kassem sebagai penampakan kesadaran. Kassem adalah rasul peradaban.
Ihwal buku menjadi cahaya, karena buku mengabadikan pikiran, melampaui
sekadar yang dikatakan. Dari sanalah terhela seutas diktum tentang entitas sebuah buku, Scripta
manent verba voland (apa yang terucap akan berlalu, apa yang
tertulis akan “mengabad,” dan “mengabadi.” Buku semacam hardisc
eksternal tempat
menyimpan pemikiran hasil pertengkaran manusia dengan semesta yang
terus merauang dalam ruang dan waktu. Sebab, manusia lahir untuk tak betah, ingin bepergian, dan mencari. Itulah
sebabnya, di kota-kota, perpustakaan
dibangun di tengah kota sebagaimana katedral agar mudah diakses oleh siapapun
yang membutuhkannya. Iman dan Ilmu
entitas manusia yang paling dasariah untuk bereksistensi.
Usaha gila yang dilakukan Kassem Ismael boleh jadi diilhami
oleh peperangan yang selalu
menghancurkan dua hal penting yakni
manusia dan buku.Peristiwa tanggal
3 Januari tahun 47 SM, perpustakaan zaman
dahulu yang paling terkenal terbakar habis. Setelah pasukan Romawi menyerbu
Mesir, dalam salah satu pertempuran yang dilakukan oleh Julius Caesar melawan
saudara lelaki Cleopatra, api melahap sebagian besar dari ribuan gulungan
kertas papirus di Perpustakaan Alexandria.Jazirah Arab pernah menjadi pusat ilmu
pengetahuan dunia.Ketika
bangsa Mongolia
datang menyerang, yang diserang bukan hanya manusia, melainkan juga buku-bukunya. Pada tahun 1684 di Jepang mendirikan sebuah
badan khusus yang mempelajari dan meneliti buku buku keluaran barat. Dengan begitu, mereka tidak perlu menghabiskan
uang untuk melakukan pengembaraan ilmiah di barat, tetapi cukup mengembara dari halaman ke halaman buku barat
tersebut. Milan Kundera
seorang sastrawan asal Ceko pernah berkata, jika
ingin menghacurkan sebuah bangsa dan
peradaban, hancurlah buku-bukunya, maka pastilah bangsa itu akan musnah.
Kassemlah sosok yang menginspirasi saya untuk menulis prolog buku “Pikiran Tak Pernah Tua”
karya Gusty Ricarno ini. Mari kita
mulai bertengkar denganbuku yang sedang di pangkuan pikiran Anda. Judul “Pikiran
Tidak Pernah Tua,” diambil dari salah satu artikel dalam buku ini. Judul terilham
dari pernyataan Hannah Arendt (1906-1975), filsuf Jerman aliran Filsafat
Kontinental. GustyRicarnomengutip Arendt: There are no
dangerous thoughts thinking it self is dangerous(Tidak ada yang lebih berbahaya
dari pemikiran selain pikiran itu sendirilah yang berbahaya).Seperti
sebuah anekdot, ‘manusia berpikir, Tuhan malah tertawa. Artinya, manusia itu berusaha untuk mengerti,
Tuhan yang serba
mengerti hanya bilang”ngapain sih
kamu gitu-gituan.”
Buku ini merupakan kumpulan tulisan Gusty Ricarno selama menyusuri
jalan terjal gerakan literasi di Nusa
Tenggara Timur. Gusty bersama grupnya Media Cakrawala Pendidikan (MCK) yang sengaja dibentuknya sebagai markas bagi
laskar penggerak literasi merangsek
jalan kelam literasi. MCK mempunya kantor kecil. Letaknya dikerumuni rumah
penduk di Oebufu (Kota Kupang). Mengkases kantor itu mirip melewati jalan menuju
literasi di daerah ini. Alur lorong kecil, kadang tersedak di tembok rumah
penduduk. Jalan tanah, kelok, becek di
musim hujan, berdebuh di musim kemarau. Namun, di kantor kecil ini “dian
literasi” tak pernah padam. Bayangkan, setiap pulang dari lapangan, meliput
berita, membantu guru dan siswa menulis, mereka berkumpul menelaah hasil perjalanan
dengan mentor atau pakar di bidang pendidikan, bedah buku yang ditulis guru-guru,
diskusi.Dansalah satu produk perjalanan itu ialah artikel yang ditulis secara
konsisten oleh Gusty Ricarno.
Kumpulan tulisan yang bernaung di bawah judul “Pikiran
Tidak Pernah Tua,” pada dasarnya artikel-artikel yang pernah dipublikasi di
Media Cakrawala Pendidikan. Tulisan-tulisan itu tidak diaransem secara tematik.
Karena artikel ini lahir dari kondisi
atau pengalaman yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya atau satu
peristiwa dengan peristiwa lainnya. Tepatnya, artikel-artikel ini sangat
situasional dan kontekstual. Sedangkan, raut-buku hanya memberikan isntitusi
pada sejumkah artikel itu.
Keadaan demikian, meminta pembaca untuk menerima buku ini dengan dua
perspektif. Pertama, tulisan-tulisan ini diterima sebagai refleksi kritis terhadap gerakan lietarasi, tantangan,
dan pengalaman empirik. Cara itu pula sebagai usaha terselubung mengetuk
pikiran semua orang untuk terlibat. Balam bahasa Gusty Richarno sebagai
gerakan semesta. Kedua, buku ini semacam gerakan mental untuk mengakarkan tradisi
membaca di Nusa tenggara Timur. Apa yang mendorong Gusty Ricarno dan Media
Cakrawala pendidikan begitu hirau dengan pendidikan di provinsi kepualaun ini.
Inilah pentingnya buku ini dibaca. Sebab, ia memberikan begitu banyak
argumentasi dan gagasan untuk melakukan teter
nera (bahasa Manggarai, menabur cahaya) dari sudut ke sudut pulau. Ketiga, tulisan-tulisan ini merupakan
testimoni akademik seorang Gusty Ricarno dan MCP selama bergelut secara riil melahap realitas
literasi di provinsi ini.
Satu hal yang membagakan dari grup anak muda ini ialah optimisme. Tak ingin memgutuk gelap,
tetapi menyalakan lilin. Tak ingin menanak opini di media massa dan media
sosial, tetapi turun langsung memeriksa di lapangan. Gusty Richarno benar-benar
jatuh cinta terhadap persoalan pendidikan. Ia menulis:
Saya menitikkan air mata saat kata-kata
dalam baris puisi ini dibaca perlahan. Seperti halnya ribuan anak NTT lainnya,
Echyk merindu. Ada jalan sepi bernama literasi yang harus dilintasinya sendiri.
Sebuah kultur baru yang terasa sepat (asam) di hati dan pikiran banyak orang.
Ia butuh beberapa orang atau bahkan cukup seorang untuk meneguhkan mimpi-mimpi
kecilnya menjadi bintang melalui literasi. Anak NTT bisa. Jangan beri mereka
mata kail apalagi beberapa ekor ikan. Tunjukan saja, di mana kolamnya maka ia
bakal mengoptimalkan seluruh potensi dirinya untuk mendapatkan ikan (Hanya Pikiran yang Tak Pernah Tua).
Beberapa kali ritual ilmiah yang berkaitan dengan
pendidikan, saya selalu bertemu dengan Gusty
Ricarno. Ia selalu bicara cerdas, kadang mencengankan, lantaran
ia berargumentasi dengan eviden. Bukan hanya buah pikirannya yang bernas,
tetapijuga didukung oleh episode-episode realitas yang begitu melodramatis yang
diperoleh dari kintal-kintal sekolah
yang dikunjunginya. Ia tak ingin menjadi
akademisi yang salonistik, berbicara tentang literasi dari ruang kampus yang
wah dan memandang keadaan dari balik kaca mobil Pajero Dakar, atau berbusa-busa
berbicara di gedung rakyat dengan hembusan sepoi AC (air Conditionanin) yang melelapkan akan
sehat dan mematikan jentik kemanusiaan dalam hati. Gusty Richarno berangkat
menuju kelam, melewati onak, koral. Kadang
harus menginap di rumah penduduk tanpa
lampu, tanpa toilet. Kalaupun nginap di hotel, dicari hotel yang paling murah
atau ada kortingnya. Tetapi keadaan itu
justru mebuat Gusty dan Grup MCP terus bergairah menaburkan cahaya literasi. Betatapun hebatnya program pembangunan dengan desain yang begitu canggih, toh jika
sumberdaya penerima tidak memapu memaknai dan mengoperasionalkannya, maka
semuanya adalah gerakan menggunting asap.
Dengan demikian, NTT Bangkit, NTT Sejahtera yangg dicanangkan Gubernur
NTT Victor Laiskodat menjdi ironi abila segera kita konfirmasi dengan tingkat literasi di NTT. Gusty menulis
begini:
Hasil
survei menemukan kemampuan literasi dasar anak-anak SD di Provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT) sangat rendah. NTT menempati posisi 81% dari jumlah siswa
yang tidak lulus tes kemampuan literasi dasar. Berada jauh di bawah NTB,
Kalimantan Utara dan Jawa Timur yang merupakan sekolah mitra Inovasi. Provinsi
NTT sedang berada pada posisi dehidrasi (kritis) soal literasi, numerasi dan
karakter.
Lalu?
Apakah kita harus resah? Jawabanya jelas. Sangat bergantung seberapa besar
jiwamu peduli dan ingin ikut berpikir mencari solusi untuk generasi muda daerah
ini. Saya (kami) ingin peduli. Berjuang menata garis nasib generasi yang hidup
di abad ini. Bersama, Viktor Bungtilu Laiskodat—gubernur NTT, kami hadir untuk
berpikir (berkonsep) kemudian beraksi. Pemerintah dan seluruh stakeholders pendidikan NTT, harus
mempunyai Peta Jalan (road map).
Tujuan road map grand design
pendidikan dan kebudayaan NTT 2020-2030 adalah merumuskan “Quick win/program terobosan) yang dapat mempercepat dan memiliki
daya ungkit terhadap pembangunan NTT sekaligus menyusun tahapan dan target
tahunan sesuai dengan yang disepakati. NTT harus bangkit pada satu cara yang
rasional, professional dan elegan (bacara artikel:
Lietrasi, Jalan NTT Bangkit NTT
Sejahtera).
Ini salah satu usaha paling penting, mungkin juga genting. Provinsi
NTT sedang berada pada posisi dehidrasi (kritis) soal literasi, numerasi dan
karakter kata
GustyRicarno.Jika dibiarkan, maka terjadi pendaharaan yang sangat lamah
pemulihannya. Namun, keadaan ini bukan bahan untuk membuat kita
resah lalu pasrah, melainkan mengolah tantangan itu menjadi jalan. Gusty
memahami bahwa kereseahan dan kepasrahan jsutru menyumbangkan kegelapan pada lorong literasi. Karena itu, turun
gunung menghirup aroma realitas dan mengalami fenomena di sudut-sudut pulau
menjadi jurus jitu melampiaskan kepedulian. Tak juga, mesti ada virus mentalitas
kepahlawan, rela berkorban untuk banyak orang, bukan banyak orang korban karena seorang. Karena
itu, setiap kali grup ini pergi dan
pulang, selalu membawah beban berbeda.
Kala mereka pergi, membawa beban
pengetahuan yang dipikul oleh pikiran dan sejumlah buku referensi buat
guru-guru di gunung. Jika mereka pulang membawa beban sejumlah masalah yang
dihadapi siswa dan guru di sana.
Jika TVRI NTT menokohkan Gusty Ricarno sebagai penggerak
literasi, sesungguhnya , karena dia begerakan dengan grup yang, terstruktur,
masif, dan beraksi di kintal-kintal sekolah itu tadi. Tidak berarti di luar itu
tidak ada tokoh atau grup penggerak literasi. Bahkan, jauh sebelum gerakan
literasi dilakukan Grup Media Cakrawala Pendidikan telah banyak dilakukan oleh
kelompok tertentu dan inisiasi individu. Ibu Laiskodat misalnya, jauh sebelum menjadi Ibu Gubernur
NTT, ia telah mengirimkan seribu buku ke
sekolah-sekolah yang membutuhkan. Belakangan muncul yang grup anak muda Leko Kupang yang dikneal dengan “kencan buku.”Mereka
menggelar buku di taman Nostalgia (Kupang)
dan dibaca secara geratis, disertai diskusi. Juga, kelompok Agupena (Flores
Timur) di bawah pimpinan Maksimus massan
Kian dan Pion Ratuloli. Tentu masih banyak lagi yang dilakukan sekelompok orang
yang amat peduli dengan pendidikan NTT LSM Save The Cghildren yang juga secara
masif melakukan pendampingan literasi di sekolah-sekolah.
Reaksi-rekasi Gusty Ricarno terhadap problem literasi di daeraha ini
menjadi passion yang tidak terletak pada besar
kecil problem itu, tetapi pada seberapa besar kepekaan orang akan pentingnya
literasi bagi kemajuan sebuah bangsa. Meski buku ini bukan satu-satunya kunci
untuk membuka kotak hitam kualitas pendidikan di Nusa tenggara Timur, namun
setidaknya ini adalah pendeteksi kotak hitam itu. Buku ini ikut merawat jejak peristiwa lietrasi di NTT agar tidak terhapus oleh saputangan waktu.
Selain isinya yang bermutu, cara penyajian yang begitu renyah dengan diksi
metaforis, logikanya yang kadang membanting-banting pikiran kita. Ricarno pandai mendekap rasa dan menggamit pikir
(pembaca). Pun pembaca mendapatkan makna melalui kenikmatan. Gusti amat paham, dunia tidak digerakkan oleh pikiran tetapi
oleh persaan. Kadang metaforanya menyergap kita, menggalaukan agar pembaca
menjadi cerdas. Dan kegaluan itu pula
yang membuat pikiran tidak pernah tua.Gusty Ricarno bukan nakhoda yang berdiri
di ujung geladak, menyantap senja tenggelam
dalam gambus-gambus pelaut. Ia, malah mengarahkan biduk menuju arus
deras untuk mendapatkan kotak hitam pendidikan kita. Toh hujan di gunung, rintiknya tak pernah tiba di
hati.
0 Comments