Marianus Seong Ndewi, S.Pd., M.M. Guru SMAN 4 Kota Kupang |
Memasuki abad ke-21, semua penduduk
dunia menghadapi persoalan yang sama, yang mengerucut pada tiga persoalan
besar, yaitu persoalan kependudukan, independensi negara dan dunia usaha, serta
kemajuan sains dan teknologi (Blondel, dalam Rosyada, 2004: 5). Begitu pula
dibidang pendidikan, karakteristik proses pendidikan abad ke-21 selalu menemui
tantangan dan juga sekaligus mendatangkan peluang baru. Gejala ini hadir sebagai
konsekuensi dari perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).
Terkait konteks ini, Papadopoulos (Rosyada,
2004: 7) mengemukakan beberapa pemikiran tentang pengembangan pendidikan abad
ke-21, diantaranya adalah: (1) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta informasi membuat bahan-bahan ajar yang harus disampaikan dalam proses
pendidikan menjadi sangat banyak, dan dikhwatirkan akan membuat stagnasi pengembangan
ilmu dan peradaban kususnya pada level pendidikan tinggi. (2) percepatan
teknologi akan terjadi terus menerus dan bisa terjadi dalam percepatan yang
tinggi di berbagai negara berbeda, oleh karena itu pendidikan harus mampu
menjembatani antar sektor kerja dengan kemajuan ilmu dan teknologi tersebut,
melalui updating skill dan berbagai
ketrampilan baru, terkait dengan kemajuan teknologi. (3) negara-negara
berkembang mesti merancang outcome pendidikanya, agar bisa memasuki pasar global.
(4) pendidikan mesti mampu mengarahkan sikap multikulturalisme. (5) pendidikan
harus mendesain masyarakat yang humanis, cinta lingkungan, hidup sehat, dan memelihara
kestabilan ekosistem.
Dalam realita pendidikan di Indonesia; yang
berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, tersurat sebuah misi
luhurnya ‘’mencerdaskan kehidupan bangsa’’ (alinea ke-4), yang
dijabarkan dalam pasal 31 ayat (1) UUD 1945; semua warga negara berhak
mendapatkan pendidikan, serta diimplementasikan dalam kebijakan anggaran, pada
pasal 31 ayat (4) yakni sebanyak 20% dari APBN untuk anggaran pendidikan, bangsa
Indonesia masih juga menemui titik soal, baik internal maupun eksternal, yang
memaksa proses pendidikan berjalan lamban serta berkontribusi bagi rendahnya
kualitas pendidikan itu sendiri.
Secara internal, proses pembenahan dan
penataan serta restrukturisasi berbagai bidang dalam penyempurnaan 8 Standar
Nasional Pendidikan (SNP) terus ‘bertempur’ dari waktu ke waktu. Secara
eksternal, sejumlah tantangan dan peluang pasar global terus berubah, akibat
perkembangan situasi kesehatan, politik, sosial, dan ekonomi global.
Dewasa ini di Indonesia, proses
mencerdaskan kehidupan bangsa, menemui berbagai kendala. Menurut Sayful Sagala,
beberapa problematika pendidikan nasional yang patut diperhatikan di antaranya
adalah: (1) sekolah pada semua jenjang dan level diurus seadanya. (2) pihak
sekolah menerima sarana dan prasarana pendidikan di sekolah seadanya. (3) guru
bekerja tidak maksimal. Kesejahteraannya belum jelas. (4) ruang gerak lulusan
jadi sempit karena kualitas seadanya (Sagala, 2006: 8). Semua problema berimbas pada pergerakan dan
perkembangan kurikulum, yang berdampak pada rendahnya standar mutu, baik input,
proses, output, bahkan outcome pendidikan di Indonesia. Lantas, apa yang bisa
dikerjakan? Babak baru mesti (berani) dimulai. Semua kekuatan dikerahkan untuk
memenangkan persaingan mutu global, berkompetisi dalam dunia pendidikan era industri 4.0.
Reformasi
Pendidikan Indonesia Pasca-Corona
Perjalanan era reformasi di Indonesia
berlangsung sangat cepat. Tapi, tidak untuk dunia pendidikan. Fokus pemerintah
lebih ke dunia usaha (ekonomi) dan dunia politik. pergantian kurikulum dari
masa ke masa juga belum memberikan dampak yang signifikan. Banyak polemik dunia
pendidikan yang tidak mampu diselesaikan, semisal minimnya sarana dan prasarana
penunjang pendidikan, serta meratanya perhatian pemerintah sampai ke pelosok
Indonesia.
1.Babak
Baru – Periode Corona
Tidak dapat dipungkiri, bahwa babak
baru dalam periodik waktu dunia saat ini adalah ‘babak setelah corona’, di mana seluruh bidang kehidupan ikut
berubah. Aspek kesehatan, pendidikan, kebudayaan, politik, ekonomi, pertahanan
dan kemanan, serta aspek persaingan global lainnya. Proses pendidikan Indonsia
pun tidak ketinggalan kisah. Waktu semacam berputar kembali, mulai dari nol.
Proses pendidikan Indonesia didesain kembali melalui beragam kebijakan, mulai
dari desain anggaran dan desain model pembelajaran.
Ada satu lompatan hebat dalam proses
pendidikan Indonesia, terhitung sejak awal Maret tahun 2020. Instruksi presiden
untuk belajar dari rumah, bekerja dari rumah, ataupun beribadah dari rumah, pasca
Indonesia menyatakan social distancing
akibat Corona Virus Diseases 2019 (Covid-19),
membawa perubahan suasana proses pendidikan menjadi baru. Bagaimana tidak,
hampir 100% aktivitas kerja (termsuk belajar/ sekolah) semuanya dilakukan dari (di)
rumah, dan ‘tuan teknologi’ menjadi kuasa. Semua serba online. Absensi, materi pembelajaran, ulangan harian, ujian
sekolah, ujian semester, dilakukan dari (di) rumah via berragam aplikasi
yang ditawarkan pemerintah atau penyedia jasa daring lainnya. Pembelajaran
virtual; begitulah jenis proses ini disebut.
Pemerintah bergerak cepat dengan
menyediakan berbagai situs pembelajaran online
untuk membantu siswa, guru, bahkan orang tua untuk terlibat secara langsung
pada proses pembelajaran virtual ini. Apa yang terjadi? Semula berkeinginan
untuk melompat dan berlari cepat, ternyata kendala dan ‘dosa’ masa lalu proses
pendidikan Indonesia, masih menjadi momok mematikan bagi proses pembelajaran
virtual ini. Tidak semua anak di Indonesia menikmati proses ‘milenial’ ini.
Tidak semua mereka memiliki gawai. Ada yang punya tetapi akses mendapatkan
internet tidak ditemukan. Ada yang tidak memiliki dua-duanya. Lantas,
pemerintah berinovasi lagi menggunakan jasa Televisi milik pemerintah (TVRI)
untuk menyediakan layanan program belajar dari rumah, tetapi masih ada juga
kendala serupa bagi anak-anak bangsa di pelosok negeri.
Lantas, apa yang bisa dikerjakan saat
ekonomi Indonesia juga ikut melemah ketika dihantam wabah Covid-19. Dikutip dari
laman pasardana.id, Institute for
Developer of Economics and Finance (INDEF) memprediksi ekonomi Indonesia
berpotensi kehilangan 127 T dan berpotensi tertekan ke level 4,5% sepanjang
tahun 2020. Jauh dari target pemerintah pada level 5,3%. Hal ini berarti bisa
berdampak untuk semua sektor termasuk sektor pendidikan.
2.Kurikulum
Virtual: Solusi Proses Pendidikan Pasca-Corona
Kurikulum menjadi roh atau bagian
sentral dalam setiap proses pendidikan di Indonesia. Dalam UU No. 20 Tahun
2003, menerangkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan sebuah
pengaturan berkaitan dengan tujuan, isi, bahan ajar, dan cara yang digunakan
sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
sebuah tujuan pendidikan nasional.
Sejarah perkembangan (perjalanan)
kurikulum Pendidikan di Indonesia sudah melalui proses perjalanan yang panjang
dan melelahkan. Sebanyak 10 kali pergantian kurikulum. Mulai dari tahun 1947, tahun
1952, tahun 1964, tahun 1975, tahun 1984. tahun 1994 dan Suplemen Kurikulum
1999, lalu dikuti Kurikulum tahun2004, Kurikulum tahun 2006, dan yang terakhir
saat ini adalah kurikulum 2013 (kurikulumindonesia.com).
Apa yang bisa kita pelajari dari proses
panjang ini? Di manakah letak inovasinya? Penulis menemukan fakta bahwa hampir
tiap pergantian kurikulum, belum ada satu kurikulum yang fokus dan intens
melatih kapasitas dan kapabilitas peserta didik untuk cerdas mengasah skill guna pemanfaatan teknologi. Memang,
banyak ahli pendidikan, seperti Hilda Taba dan Robert Gagne, menjelaskan
kurikulum sebagai sekumpulan perangkat, model, program evaluasi belajar, isi,
dan bahan pelajaran. Tetapi Ronald C. Doll menjelaskan bahwa kurikulum sudah
tidak lagi bermakna hanya sebagai bahan ajar dan bahan pelajaran siswa, tetapi
lebih ke seluruh pengalaman yang ditawarkan pada anak-anak peserta didik di
bawah arahan dan bimbingan sekolah. Ini juga yang disebutkan oleh Allan A.
Glathorn sebagai The Hidden Curriculum (kurikulum
terselubung), yang secara defenitif digambarkan sebagai aspek dari sekolah
diluar kurikulum yang dipelajari, namun memberikan pengaruh dalam perubahan
nilai, persepsi, dan perilaku siswa (Rosyada, 2004: 27)
Penulis menyebut salah satu solusi
untuk proses pendidikan Indonesia pasca-Corona adalah pembentukan kurikulum virtual. Situasi wabah ini dapat menjadi
satu peluang baru bagi proses pendidikan Indonesia, berbenah dan siap ‘tancap
gas’, dengan harapan proses pendidikan berangsur membaik. Meminjam kutipan
etnis Manggarai – NTT, proses pendidikan yang buruk itu pergi bersama wae laun, leso salen (mengalir pergi
seperti air dan tenggelam bersama mentari di sore hari). Apabila situasi ‘jeda’ saat ini bisa dijadikan
periode untuk berbenah, maka penyediaan model kurikulum virtual dapat dikerjakan
(disiapkan), karena mau atau tidak mau, situasi negara saat ini ‘dipaksakan’
untuk melaksanakan model pembelajaran virtual, yang berdampak pada aktivitas
belajar dari rumah. Tetapi bagi sebagian satuan pendidikan di beberapa wilayah
3T (terdepan, terluar, dan tertinggal) di Indonesia, model pendekatan seperti
itu tergolong baru dan bingung menghadapinya.
Kurikulum virtual sebagai salah satu
bagian reformasi penting dalam dunia pendidikan. Ketersediaan software (piranti lunak), website, akses internet, listrik, telepon,
dan komputer menjadi ciri khas implementasi model ini. Ahli-ahli pendidikan dan
ahli internet menyarankan beberapa hal sebelum seseorang memilih website dalam
pembelajaran (Hartanto dan Purbo, 2002), antaralain: (1) analisis kebutuhan,
seperti studi kelayakan baik secara teknis, ekonomis, maupun social. (2)
rancangan instruksional yang berisi isi pelajaran, topic, bahan ajar. (3)
evaluasi sembari dilakukan uji coba. (4) ketersediaan akses.
Reformasi pendidikan yang berasal dari
pengembangan model kurikulum virtual ini akan berdampak pada terciptanya satuan
pendidikan (sekolah) yang demokratis. Satu dari beberapa poin penting yang
dikemukakan Lyn Haas (Rosyada, 2004: 19) tentang
sekolah yang demokratis, yakni; pendidikan untuk semua. Hal ini senada dengan
spirit pasal 31 ayat (1) UUD 1945, “semua warga negara berhak mendapatkan
pendidikan”, maka semua siswa (dan guru) seharusnya memperoleh perlakuan yang
sama, memberikan skill dan
ketrampilan yang sesuai dengan kemajuan teknologi terkini, kemampuan komunikasi
global.
Pernyataan tentang sekolah (pendidikan)
demokratis di atas sesuai dengan gambaran situasi pendidikan di Indonesia, di
mana skill dan ketrampilan untuk
memanfaatkan teknologi virtual (pengembangan kurikulum virtual) dibantu oleh
peran masyarakat (orang tua) sebagai ‘guru’ bagi anak-anaknya (peserta didik)
yang sementara study from home akibat
dampak Covid-19, sangat dibutuhkan demi menunjang mutu pendidikan di Indonesia.
Dwight W. Allen menuturkan, mesti adanya keterlibatan masyarakat dalam sekolah;
yakni dalam sekolah demokratis, sistem pendidikan merupakan refleksi
masyarakat. Masyarakat berpartisipasi terhadap pendidikan, mempunyai rasa
memiliki sekolah (Rosyada, 2004: 20).
Semoga wabah Covid-19 ini tidak hanya
membawa kepanikan di ruang publik, tetapi ini menjadi salah satu titik pacu
bagi bangsa Indonesia, khususnya pemerintah dan kementerian terkait untuk
berkonsentrasi penuh mengerahkan seluruh anggaran pendidikan tahun ini untuk menciptakan
kurikulum virtual; proses belajar mengajar via
teknologi daring, sambil menyiapkan sarana prasarana pendukung,
ketersediaan jejaring internet, manajerial demokratis yang berdaya saing,
sampai pada keterlibatan masyarakat secara berkelanjutan.
Pemerataan kualitas dan kuantitas
pendidikan di Indonesia menjadi kewajiban yang mesti diprioritaskan, sesuai
amanat sila ke-5 Pancasila; keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Indonesia yang adil; sama rasa – satu rasa, proses
pendidikan wajib memberi kenyamanan bagi seluruh peserta didik dan pendidik se-Indonesia Raya.
Daftar
Pustaka
Rosyada, Dede. Paradigma Pendidikan Demokratis. Jakarta: Kencana, 2004
Sagala, S. Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat. Jakarta: PT Nimas
Multima, 2006
Yusuf, Rusli. Pendidikan
dan Investasi Sosial. Bandung: Alfabeta, 2011
0 Comments