Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

DR. MARSEL ROBOT_PERJAMUAN SOSIAL DI KAMPUNG MAYA


Masih punya waktu untuk sekadar mewanti
Apakah kita sedang pergi atau sedang pulang ke eksistensi?
Ketika aku, kau dan dia bagian dari perkakas dalam kontainer
Pelabuhan teramat jauh, atau tak ada pelabuhan itu
Kaupun tahu, memori mulai mengering di ladang-ladang
Kaupun tahu, roti yang tak sempat kubagikan bukan milik kita (Em Er)

Ujung abad 20 merupakan puncak kesunyian eksistensial yang paling mengerikan. Pasalnya, sebagian besar kepesonaan manusia diambil alih oleh benda bikinannya sendiri. Terjadi semacam penistaan diri dan pemurtadan dalam kehidupan sosial. Tidak hanya itu, kadang manusia ugalan dan cuek di tengah rimba teknologi, lantas mengkalim diri sebagai Tuhan. Padahal, semestinya dia sedang mengutuk diri. Yuval Noah Harari (2018) yang paling gundah dengan keadaan manusia modern mengatakan, “Saat Revolusi Agrikultur, manusia membungkam binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan dan mengubah opera besar animis menjadi sebuah dialog antara manusia dengan Tuhan. Saat revolusi saintifik umat manusia membungkam Tuhan juga.”

Salah satu kemajuan yang paling menakjubkan adalah teknologi informasi. Kemajuan teknologi informasi telah mengubah peradaban dunia dan mengubah cara manusia menerima atau menjamu sesamanya. Dipahami pada level aksiologis, teknologi informasi memamerkan dua watak sekaligus. Ia hadir untuk menyelamatkan manusia, membantu manusia untuk mempermudah hidupnya. Namun, di sudut yang lain ia mencampakkan manusia atau mengasingkan manusia dari dunia sosial, bahkan dari dirinya. Manusia begitu apatis dan autis dengan keadaan di sekelilingnya. Hidup terasa karatan, romantisme mulai susut, memori tak lagi tumbuh di buku album, gelak tawa menjadi begitu artifisial. Anthoni Smith (baca Simiers, 2009) mengeluh, “bahwa dunia secara keseluruhan tidak dapat menawari kita memori, mitos dan simbol yang kita butuhkan sebagai makhluk manusia.”

Struktur masyarakat dan tata peradaban semesta sosial modern dibentuk oleh jejaring sosial, berbasis internet. Manusia hanya menjadi suku cadang teknologi karena begitu tergantung padanya. Demikian, pribadi-pribadi atau subjek-subjek ultramodern ditertibkan dan diterbitkan oleh media sosial berbasis informasi atau yang disebut sebagai “Subjek On.” Subjek yang berbasis informasi dan berkampung halaman di dunia maya.

Ketika Anda memberikan komentar terhadap status sahabat, teman atau musuh melalui Facebook, Instagram, Twitter, WhatsApp, maka sedang terjadi transsubjek, dari subjek eksistensial (subjek terberi) atau subjek Of ke subjek On yakni “subjek curah” alias subjek yang diterbitkan dan ditertibkan oleh media sosial. Subjek dalam media sosial adalah subjek yang dipresentasikan. Subjek On berbasis informasi dan “tanah airnya” adalah media sosial. Subjek On begitu irit berelasi dengan lingkungannya dan jarang toleran dengan keadaan di luar dirinya. Subjek On dipersatukan oleh kepentingan selera, dan kesenangan tertentu. Salah satu ciri subjek On ialah sosialita jejaring berbasis di kampung maya (internet) yang lintas batas kultural, lintas batas geografis, lintas batas negara, lintas batas agama, dan lintas batas etnis.

Tentang F

Semula, penciptaan media sosial bertujuan untuk berbagi informasi. Situs jejaring sosial (facebook) diciptakan di Cambridge, Massachusetts 14 Februari 2004 oleh mahasiswa Harvard, Mark Zuckerberg. Hingga saat ini facebook merupakan media sosial teratas yang digunakan masyarakat Indonesia. Sebanyak 115 juta pengguna dan hampir 97% pengguna facebook mengakses melalui smartphone atau gadget.

Ketika Anda membuka smartphone (telepon pintar), lalu menekan tombol “f” (simbol facebook), maka muncul pertanyaan pendek di sisi kiri foto Anda. Pertanyaan pendek itu berbunyi: “Apa yang Anda pikirkan?” Pertanyaan ini telah mengubah dunia bahkan menghancurkan peradaban dunia. Konon, pertanyaan pendek ini pula yang mengantarkan Donald Trump bertakhta di gedung putih (baca, menjadi Presiden AS). Posisi atau tata letak pertanyaan pendek itu memperlihatkan, pertanyaan itu lebih penting dari Anda. Memang yang dipentingkan perusahaan facebook bukan foto Anda, melainkan “siapakah Anda.” (kepribadian Anda).

Facebook berusaha mengetahui Anda secara mendalam melalui pertanyaaan pendek tadi. Sebuah pertanyaan sangat demokratis meminta Anda untuk menulis apa saja yang dipikirkan. Anda tergoda dan bergairah untuk menuliskan pikiran, perasaan atau uneg-uneg dan yang berbahaya adalah hoax (berita bohong) dan hate speech (ujaran kebencian). Hebatnya pula, pihak  facebook telah menyediakan meja perjamuan untuk menampung kecenderungan Anda melalui jempol (like), tanda panah melengkung kanan dari arah pembaca (share-membagikan), atau comment (komentar). Semakin banyak yang membaca, memberikan komentar atau like semakin baik dan kian luas wilayah publisitas. Anda juga terus-menerus berkomentar dari hal yang amat pribadi seperti jatuhnya sapu tangan atau CD (celana dalam) dari tali jemuran, hingga masalah afiliasi politik, ideologi dan konspirasi.

Pada saat yang sama, sebetulnya pihak facebook sedang memanen pikiran dan menyedot seluruh kepribadian Anda ke dalam mesin analisis. Kemudian, di sebuah ruang remang semua data dan komentar Anda dianalisis sejumlah ahli. Hasil analisis itu akan ketahuan siapa Anda, apa yang paling Anda sukai, selanjutnya ia memperingatkan hari penting Anda seperti hari ulang tahun, mengingatkan hari ulang tahun sahabat Anda, hari ulang tahun bapak mertua Anda, hari ulang tahun mantan pacar Anda, dan siapa saja yang berteman dengan Anda. Semua itu dia lakukan tanpa kompromi dengan Anda. Sahabat akan menyampaikan ucapan, komentar, like atau share. Semua data yang berkaitan dengan Anda baik sebagai pribadi maupun secara sosial telah dikirim ke perusahaan periklanan. Perusahaan facebook meraup miliaran dolar dari dua miliar penduduk dunia yang menggunakan smartphone dan menjual data itu kepada perusahaan iklan. Karena itu Anda merasa tak pernah nyaman membaca berita atau peristiwa yang Anda suka selalu ditutupi iklan beberapa detik.

Apa yang paling berbahaya dari facebook ialah bahwa jawaban terhadap pertanyaan pendek itu memangkas begitu banyak horison pemikiran. Facebook dengan mudah menggunting akal sehat yang justru menjadi dasar pemikiran demokrasi. Paling sial, ruang, waktu dan cara berpikir yang diatur dan dipostur oleh media sosial (fb) melalui pertanyaan pendek tadi. Itulah sebabnya pemikiran Anda cenderung reduktif dan nyeletuk. Dengannya pula dapat menguburkan kemampuan analisis, berpikir jernih yang menjadi kebutuhan pembangunan demokrasi yang sehat. Reduktif, asumtif, dan nyeletuk justru memancing sentimen, hoax, dan ujaran kebencian.

Menghela Mutiara dari Dunia Maya

Tulisan Wahid Aman dalam buku ini merupakan ujung lain dari kegelisahan ekstensial manusia. Bagi Wahid Aman, kemajuan teknologi justru mewartakan roh kehidupan dan menawarkan roti kehidupan bagi manusia modern. Ada sejumlah mutiara yang terhampar di dunia maya. Anda dapat meraihnya. Itu artinya, media sosial tidak sekadar ruang maya untuk bertempur melakukan tawuran verbal, tetapi mendapatkan informasi, pengetahuan bahkan ajaran yang menjadi tuntunan. Wahid Aman sesungguhnya mengingatkan kita, niat awal penciptaan media sosial oleh Mark Zuckerberg  yakni membagi (pengalaman, pengetahuan, atau apa saja) kepada sesama. Cita-cita awal penciptaan facebook ialah mengajak perjumpaan untuk melakukan perjamuan sosial dengan cara saling berbagi informasi. Dengan demikian, manusia tidak merasa sendirian walau ia tercampak di lembah merah (teknologi) yang tampak sangar.

Sejumlah artikel yang pernah diunggah oleh Wahid Aman ditampilkan kembali dalam buku ini. Wahid ingin menegaskan betapa bermanfaatnya media sosial bagi kehidupan manusia untuk berbagi pengalaman unik yang mengedukasi. Hal yang menarik ialah kekhusyukan Wahid dalam memilih dan memilah sejumlah bacaan yang didapatkan dari media sosial untuk ditampilkan kembali dalam buku ini. Bahan bacaan yang unik, menggelitik dan mengandung ajaran moral. Misalnya, pada tulisan pembuka berjudul: “Ajal Menjemput Saat Ibu Melahirkan” diunggah oleh Rival Okey (16 Februari 2018). Tulisan hasil unggahan ini mengingatkan kita akan pengorbanan ibu ketika melahirkan seorang anak. Tak banyak orang mengerti tentang derita selama sembilan bulan. Bukankah kamar bersalin menjadi ruang tawar-menawar nyawa. Tulisan ini mewanti para suami untuk sesekali menengok “ke dalam” (membuka labirin kesadaran) betapa berartinya dunia dengan kehadiran seorang istri dan ibu. Ibu adalah ibu kehidupan, bahkan menjadi kehidupan itu sendiri.

Bacaan-bacaan yang ditampilkan hasil unggahan Wahid memberikan gizi terhadap kehidupan manusia modern. Dengan kata lain, kisah-kisah yang diunggah Wahid begitu inspiratif, reflektif, dan kadang melodramatik. Kita seakan dibentak untuk berdiri sebentar di lorong sejarah, lalu merenungkan perjalanan sambil memeriksa diri, apakah kita sedang pergi atau sedang pulang ke eksistensi kita? Wahid menampilkan tulisan berjudul: “Allah Bayar Secara Tunai” yang diunggah dari postingan seorang ustadz dari negeri Jiran. Di sana dinarasikan begitu liris dan melodramatis, seorang ibu yang dititipkan di panti jompo, dan selama tiga tahun tak pernah dijenguk anaknya. Seorang pengunjung lelaki dikira anaknya. Sang Ibu meminta lelaki tadi untuk membawanya pulang ke rumah. Mereka menikmati hidup hari-hari dengan damai dan selalu sholat bersama.

Kisah ini merefleksikan masyarakat komunal bahwa kemuliaan hidup terletak pada kebersamaan, kasih sayang, bukan individualistik yang pongah yang terus berhala pada kebendaan atau materialisme lalu menafikan kebersamaan. Hidup justru terasa bangkrut apabila menghambakan diri kepada benda. Padahal, benda hanyalah benda. Seorang yang berlebihan berhala pada benda menjadi sangat murahan. Dan untuk apa memiliki apa-apa bila hidup ini tidak lebih dari sekadar apa-apa. Bukankah memberi dan menerima dalam kasih itulah yang membuat kita lebih dari apa-apa? Kisah ini mengingatkan saya akan mitos pasar barter (menukar barang dengan barang) di Lamalera Lembata. Mereka tidak mau menukar barang dengan uang. Karena, bagi mereka uang membuat segalanya menjadi murah dan hidup menjadi murahan. Bagi mereka, pasar bukan sekadar pertemuan penjual dan pembeli, melainkan lebih dari itu, pasar adalah sebentuk perjamuan sosial untuk mewartakan semesta kehidupan bersama.

Wahid memaknai media sebagai sebuah media yang memperkaya hidup. Tentu bukan sebaliknya sebagai media yang menggelar tawuran verbal atau menghamburkan perasaan dengki. Sering orang, terutama di kalangan remaja menggunakan media sosial sebagai toilet, tempat membuang air buangan. Lebih parah lagi, ketika ia mengirimkan sampah-sampah itu ke media dikira hanya dibaca oleh dua orang yang sedang seru berseteru. Padahal dibaca oleh ribuan orang. Wahid Aman mengingatkan kepada remaja (ABG-Anak Baru Gede) untuk memanfaatkan media sosial secara positif. Pada status 10 berjudul: “ABG Dalam Pusaran Iri Dengki,” Wahid menulis bahwa media sosial bukanlah tempat menyiram kata-kata kotor. Media sosial bukanlah tempat pembuangan “sampah kata” yang baunya meracuni hati dan pikiran. Ia mewanti dua remaja yang sedang tenggelam dalam sekam emosi dengan menulis begini:

“Tak baik berkata-kata seperti itu di media sosial. Ini media publik, bukan media hanya untuk kalian berdua. Banyak orang sudah membaca dan menilai kalian macam-macam. Sebaiknya kamu fokus belajar dan kerjakan tugas kuliahmu. Ingat, kamu pamit orang tuamu untuk datang kuliah, bukan hal yang lain. Masa depanmu lebih penting ketimbang beda pendapat untuk hal yang remeh-temeh. Istighfar.”

Bagian lain, Wahid Aman menulis secara spesifik pengalaman-pengalaman antik  dan otentik dalam tugas dan kesehariannya. Ia tak ingin pengalaman antik dibiarkan disapu waktu dan diajak zaman pergi begitu saja, tetapi harus ditinggalkan melalui tulisan-tulisan sehingga makna dan pesannya bisa dimanfaatkan oleh pembaca. Ia tidak sekadar menjalankan tugas sebagai sebuah rutinitas, tetapi suatu kesadaran untuk mengubah keadaan melalui sudut pandang bidangnya. Dalam tulisan berjudul: “Hari Lahir XII Agupena Nasional”, Wahid Aman mengisahkan keterlibatannya secara suntuk setiap acara Agupena. Sebagaimana diketahui, Agupena adalah organisasi nirlaba yang paling aktif dalam menggerakkan literasi anggota. Bagi Wahid, Agupena merupakan proyek pemikiran yang berusaha mengurus daerah ini dengan cara membiasakan masyarakat membaca. Pikiran harus diberi asupan nutrisi melalui bacaan. Wahid sungguh paham bahwa bangsa yang maju harus dimulai dengan memajukan pikirannya. Karena itu, ia merasa terharu ketika Bupati Flores Timur, Anton Gege Hadjon mendeklarasikan kabupaten Flores Timur sebagai Kabupaten Literasi. Tak banyak pejabat yang menghiraukan pekerjaan kecil yang berdampak besar ini. Sengaja ia menulis untuk menggugah pemerintah daerah ini tentang pentingnya revolusi mental yang digerakkan “dari dalam” (alam pikiran).

Karakterisitik buku ini ialah keberagaman tema yang disuguhkan Wahid. Keragaman tema itu sesungguhnya melegakan pembaca. Sebab, pembaca tidak didikte oleh penulis, misalnya pembaca harus membaca artikel A untuk memahami artikel B. Pembaca bebas memilih artikel sesuai selera dan kepentingannya. Buku ini hemat saya, bukan sekadar mencerminkan literasi Sang Penulis, tetapi juga berisikan wejangan yang reflektif dan inspiratif sekaligus.

Entahlah di hari esok. Masihkah kita bersimpuh di tanah retak seperti ini, tampak imut dengan jiwa-jiwa yang kadang ditumbuhi belati. Sedangkan di sana, ada meja perjamuan keberagaman yang mulai reyot, terus dilalap api hoax. Wahid Aman mencoba mewanti dan menuturkan adat istiadat mendiami kampung maya agar media sosial bukan belati melainkan melati yang tumbuh di antara kita dan aromanya menyatukan saudara rasa sedarah.


Dr. Marsel Robot, M.Si
Dosen FKIP Undana, Kepala Pusat Studi Kebudayaan dan Pariwisata LP2M Undana

*Tulisan ini dikutip dari Pengantar Buku Mutiara Dunia Maya karya Wahid Aman, diterbitkan oleh Penerbit Gerbang Media Yogyakarta, 2019. Cetakan II (edisi revisi) Maret 2020.

Post a Comment

0 Comments