Masih punya waktu untuk sekadar mewanti
Apakah kita sedang pergi atau sedang pulang ke eksistensi?
Ketika aku, kau dan dia bagian dari perkakas dalam kontainer
Pelabuhan teramat jauh, atau tak ada pelabuhan itu
Kaupun tahu, memori mulai mengering di ladang-ladang
Kaupun tahu, roti yang tak sempat kubagikan bukan milik kita
(Em Er)
Ujung abad 20 merupakan puncak
kesunyian eksistensial yang paling mengerikan. Pasalnya, sebagian besar
kepesonaan manusia diambil alih oleh benda bikinannya sendiri. Terjadi semacam
penistaan diri dan pemurtadan dalam kehidupan sosial. Tidak hanya itu, kadang
manusia ugalan dan cuek di tengah rimba teknologi, lantas mengkalim diri
sebagai Tuhan. Padahal, semestinya dia sedang mengutuk diri. Yuval Noah Harari
(2018) yang paling gundah dengan keadaan manusia modern mengatakan, “Saat Revolusi Agrikultur, manusia
membungkam binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan dan mengubah opera besar
animis menjadi sebuah dialog antara manusia dengan Tuhan. Saat revolusi
saintifik umat manusia membungkam
Tuhan juga.”
Salah satu kemajuan yang paling
menakjubkan adalah teknologi informasi. Kemajuan teknologi informasi telah
mengubah peradaban dunia dan mengubah cara manusia menerima atau menjamu
sesamanya. Dipahami pada level aksiologis, teknologi informasi memamerkan dua
watak sekaligus. Ia hadir untuk menyelamatkan manusia, membantu manusia untuk
mempermudah hidupnya. Namun, di sudut yang lain ia mencampakkan manusia atau
mengasingkan manusia dari dunia sosial, bahkan dari dirinya. Manusia begitu
apatis dan autis dengan keadaan di sekelilingnya. Hidup terasa karatan,
romantisme mulai susut, memori tak lagi tumbuh di buku album, gelak tawa
menjadi begitu artifisial. Anthoni Smith (baca Simiers, 2009) mengeluh, “bahwa
dunia secara keseluruhan tidak dapat menawari kita memori, mitos dan simbol
yang kita butuhkan sebagai makhluk manusia.”
Struktur masyarakat dan tata peradaban
semesta sosial modern dibentuk oleh jejaring sosial, berbasis internet. Manusia
hanya menjadi suku cadang teknologi karena begitu tergantung padanya. Demikian,
pribadi-pribadi atau subjek-subjek ultramodern ditertibkan dan diterbitkan oleh
media sosial berbasis informasi atau yang disebut sebagai “Subjek On.” Subjek
yang berbasis informasi dan berkampung halaman di dunia maya.
Ketika Anda memberikan komentar
terhadap status sahabat, teman atau musuh melalui Facebook, Instagram, Twitter, WhatsApp, maka sedang terjadi
transsubjek, dari subjek eksistensial (subjek terberi) atau subjek Of ke subjek
On yakni “subjek curah” alias subjek yang diterbitkan dan ditertibkan oleh
media sosial. Subjek dalam media sosial adalah subjek yang dipresentasikan.
Subjek On berbasis informasi dan “tanah airnya” adalah media sosial. Subjek On
begitu irit berelasi dengan lingkungannya dan jarang toleran dengan keadaan di
luar dirinya. Subjek On dipersatukan oleh kepentingan selera, dan kesenangan tertentu.
Salah satu ciri subjek On ialah sosialita jejaring berbasis di kampung maya
(internet) yang lintas batas kultural, lintas batas geografis, lintas batas
negara, lintas batas agama, dan lintas batas etnis.
Tentang F
Semula, penciptaan media sosial
bertujuan untuk berbagi informasi. Situs jejaring sosial (facebook) diciptakan di Cambridge, Massachusetts 14 Februari 2004
oleh mahasiswa Harvard, Mark Zuckerberg. Hingga saat ini facebook merupakan media sosial teratas yang digunakan masyarakat
Indonesia. Sebanyak 115 juta pengguna dan hampir 97% pengguna facebook mengakses melalui smartphone atau gadget.
Ketika Anda membuka smartphone (telepon pintar), lalu
menekan tombol “f” (simbol facebook),
maka muncul pertanyaan pendek di sisi kiri foto Anda. Pertanyaan pendek itu
berbunyi: “Apa yang Anda pikirkan?” Pertanyaan ini telah mengubah dunia bahkan
menghancurkan peradaban dunia. Konon, pertanyaan pendek ini pula yang mengantarkan
Donald Trump bertakhta di gedung putih (baca, menjadi Presiden AS). Posisi atau
tata letak pertanyaan pendek itu memperlihatkan, pertanyaan itu lebih penting
dari Anda. Memang yang dipentingkan perusahaan facebook bukan foto Anda, melainkan “siapakah Anda.” (kepribadian
Anda).
Facebook berusaha mengetahui Anda secara
mendalam melalui pertanyaaan pendek tadi. Sebuah pertanyaan sangat demokratis
meminta Anda untuk menulis apa saja yang dipikirkan. Anda tergoda dan bergairah
untuk menuliskan pikiran, perasaan atau uneg-uneg dan yang berbahaya adalah hoax (berita bohong) dan hate speech (ujaran kebencian). Hebatnya
pula, pihak facebook telah menyediakan meja perjamuan untuk menampung kecenderungan Anda melalui jempol (like), tanda panah melengkung kanan
dari arah pembaca (share-membagikan),
atau comment (komentar). Semakin
banyak yang membaca, memberikan komentar atau like semakin baik dan kian luas wilayah publisitas. Anda juga terus-menerus berkomentar dari hal yang amat
pribadi seperti jatuhnya sapu tangan atau CD (celana dalam) dari tali jemuran,
hingga masalah afiliasi politik, ideologi dan konspirasi.
Pada saat yang sama, sebetulnya pihak facebook sedang memanen pikiran dan
menyedot seluruh kepribadian Anda ke dalam mesin analisis. Kemudian, di sebuah
ruang remang semua data dan komentar Anda dianalisis sejumlah ahli. Hasil
analisis itu akan ketahuan siapa Anda, apa yang paling Anda sukai, selanjutnya ia memperingatkan hari
penting Anda seperti hari ulang tahun, mengingatkan hari ulang tahun sahabat Anda,
hari ulang tahun bapak mertua Anda, hari ulang tahun mantan pacar Anda, dan
siapa saja yang berteman dengan Anda. Semua itu dia lakukan tanpa kompromi
dengan Anda. Sahabat akan menyampaikan ucapan, komentar, like atau share. Semua
data yang berkaitan dengan Anda baik sebagai pribadi maupun secara sosial telah
dikirim ke perusahaan periklanan. Perusahaan facebook meraup miliaran dolar dari dua miliar penduduk dunia yang
menggunakan smartphone dan menjual
data itu kepada perusahaan iklan. Karena itu Anda merasa tak pernah nyaman
membaca berita atau peristiwa yang Anda suka selalu ditutupi iklan beberapa
detik.
Apa yang paling berbahaya dari facebook ialah bahwa jawaban terhadap
pertanyaan pendek itu memangkas begitu banyak horison pemikiran. Facebook dengan mudah menggunting akal
sehat yang justru menjadi dasar pemikiran demokrasi. Paling sial, ruang, waktu
dan cara berpikir yang diatur dan dipostur oleh media sosial (fb) melalui
pertanyaan pendek tadi. Itulah sebabnya pemikiran Anda cenderung reduktif dan nyeletuk. Dengannya pula dapat
menguburkan kemampuan analisis, berpikir jernih yang menjadi kebutuhan
pembangunan demokrasi yang sehat. Reduktif, asumtif, dan nyeletuk justru memancing sentimen, hoax, dan ujaran kebencian.
Menghela Mutiara dari Dunia Maya
Tulisan Wahid Aman dalam buku ini
merupakan ujung lain dari kegelisahan ekstensial manusia. Bagi Wahid Aman,
kemajuan teknologi justru mewartakan roh kehidupan dan menawarkan roti
kehidupan bagi manusia modern. Ada sejumlah mutiara yang terhampar di dunia
maya. Anda dapat meraihnya. Itu artinya, media sosial tidak sekadar ruang maya untuk bertempur
melakukan tawuran verbal, tetapi mendapatkan informasi, pengetahuan bahkan
ajaran yang menjadi tuntunan. Wahid Aman sesungguhnya mengingatkan kita, niat
awal penciptaan media sosial oleh Mark Zuckerberg yakni membagi (pengalaman, pengetahuan, atau
apa saja) kepada sesama. Cita-cita awal penciptaan facebook ialah mengajak perjumpaan untuk melakukan perjamuan sosial
dengan cara saling berbagi informasi. Dengan demikian, manusia tidak merasa
sendirian walau ia tercampak di lembah merah
(teknologi) yang tampak sangar.
Sejumlah artikel yang pernah diunggah
oleh Wahid Aman ditampilkan kembali dalam buku ini. Wahid ingin menegaskan
betapa bermanfaatnya media sosial bagi kehidupan manusia untuk berbagi
pengalaman unik yang mengedukasi. Hal yang menarik ialah kekhusyukan Wahid
dalam memilih dan memilah sejumlah bacaan yang didapatkan dari media sosial untuk ditampilkan kembali dalam buku ini.
Bahan bacaan yang unik, menggelitik dan mengandung ajaran moral. Misalnya, pada
tulisan pembuka berjudul: “Ajal Menjemput Saat Ibu Melahirkan” diunggah oleh
Rival Okey (16 Februari 2018). Tulisan hasil unggahan ini mengingatkan kita
akan pengorbanan ibu ketika melahirkan seorang anak. Tak banyak orang mengerti
tentang derita selama sembilan bulan. Bukankah kamar bersalin menjadi ruang
tawar-menawar nyawa. Tulisan ini mewanti para suami untuk sesekali menengok “ke
dalam” (membuka labirin kesadaran) betapa berartinya dunia dengan kehadiran
seorang istri dan ibu. Ibu adalah ibu kehidupan, bahkan menjadi kehidupan itu
sendiri.
Bacaan-bacaan yang ditampilkan hasil
unggahan Wahid memberikan gizi terhadap kehidupan manusia modern. Dengan kata
lain, kisah-kisah yang diunggah Wahid begitu inspiratif, reflektif, dan kadang
melodramatik. Kita seakan dibentak untuk berdiri sebentar di lorong sejarah,
lalu merenungkan perjalanan sambil memeriksa diri, apakah kita sedang pergi
atau sedang pulang ke eksistensi kita? Wahid menampilkan tulisan berjudul: “Allah
Bayar Secara Tunai” yang diunggah dari postingan seorang ustadz dari negeri
Jiran. Di sana dinarasikan begitu liris dan melodramatis, seorang ibu yang
dititipkan di panti jompo, dan selama tiga tahun tak pernah dijenguk anaknya. Seorang
pengunjung lelaki dikira anaknya. Sang Ibu meminta lelaki tadi untuk membawanya
pulang ke rumah. Mereka menikmati hidup hari-hari dengan damai dan selalu
sholat bersama.
Kisah ini merefleksikan masyarakat
komunal bahwa kemuliaan hidup terletak pada kebersamaan, kasih sayang, bukan
individualistik yang pongah yang terus berhala pada kebendaan atau materialisme
lalu menafikan kebersamaan. Hidup justru terasa bangkrut apabila menghambakan
diri kepada benda. Padahal, benda hanyalah benda. Seorang yang berlebihan
berhala pada benda menjadi sangat murahan. Dan untuk apa memiliki apa-apa bila
hidup ini tidak lebih dari sekadar
apa-apa. Bukankah
memberi dan menerima dalam kasih itulah yang membuat kita lebih dari apa-apa? Kisah ini mengingatkan saya akan mitos
pasar barter (menukar barang dengan barang) di Lamalera Lembata. Mereka tidak
mau menukar barang dengan uang. Karena, bagi mereka uang membuat segalanya
menjadi murah dan hidup menjadi murahan. Bagi mereka, pasar bukan sekadar pertemuan penjual dan pembeli,
melainkan lebih dari itu, pasar adalah sebentuk perjamuan sosial untuk
mewartakan semesta kehidupan bersama.
Wahid memaknai media sebagai sebuah
media yang memperkaya hidup. Tentu bukan sebaliknya sebagai media yang
menggelar tawuran verbal atau menghamburkan perasaan dengki. Sering orang,
terutama di kalangan remaja menggunakan media sosial sebagai toilet, tempat
membuang air buangan. Lebih parah lagi, ketika ia mengirimkan sampah-sampah itu
ke media dikira hanya dibaca oleh dua orang yang sedang seru berseteru. Padahal
dibaca oleh ribuan orang. Wahid Aman mengingatkan kepada remaja (ABG-Anak Baru
Gede) untuk memanfaatkan media sosial secara positif. Pada status 10 berjudul:
“ABG Dalam Pusaran Iri Dengki,” Wahid menulis bahwa media sosial bukanlah tempat
menyiram kata-kata kotor. Media sosial bukanlah tempat pembuangan “sampah kata”
yang baunya meracuni hati dan pikiran. Ia mewanti dua remaja yang sedang
tenggelam dalam sekam emosi dengan menulis begini:
“Tak baik
berkata-kata seperti itu di media sosial. Ini media publik, bukan media hanya
untuk kalian berdua. Banyak orang sudah membaca dan menilai kalian macam-macam.
Sebaiknya kamu fokus belajar dan kerjakan tugas kuliahmu. Ingat, kamu pamit
orang tuamu untuk datang kuliah, bukan hal yang lain. Masa depanmu lebih
penting ketimbang beda pendapat untuk hal yang remeh-temeh. Istighfar.”
Bagian lain, Wahid Aman menulis secara
spesifik pengalaman-pengalaman antik dan
otentik dalam tugas dan kesehariannya. Ia tak ingin pengalaman antik dibiarkan
disapu waktu dan diajak zaman pergi begitu saja, tetapi harus ditinggalkan
melalui tulisan-tulisan sehingga makna dan pesannya bisa dimanfaatkan oleh
pembaca. Ia tidak sekadar
menjalankan tugas sebagai sebuah rutinitas, tetapi suatu kesadaran untuk
mengubah keadaan melalui sudut pandang bidangnya. Dalam tulisan berjudul: “Hari
Lahir XII Agupena Nasional”, Wahid Aman mengisahkan keterlibatannya secara
suntuk setiap acara Agupena. Sebagaimana diketahui, Agupena adalah organisasi
nirlaba yang paling aktif dalam menggerakkan literasi anggota. Bagi Wahid,
Agupena merupakan proyek pemikiran yang berusaha mengurus daerah ini dengan
cara membiasakan masyarakat membaca. Pikiran harus diberi asupan nutrisi
melalui bacaan. Wahid sungguh paham bahwa bangsa yang maju harus dimulai dengan
memajukan pikirannya. Karena itu, ia merasa terharu ketika Bupati Flores Timur,
Anton Gege Hadjon mendeklarasikan kabupaten Flores Timur sebagai Kabupaten Literasi.
Tak banyak pejabat yang menghiraukan pekerjaan kecil yang berdampak besar ini.
Sengaja ia menulis untuk menggugah pemerintah daerah ini tentang pentingnya
revolusi mental yang digerakkan “dari dalam” (alam pikiran).
Karakterisitik buku ini ialah
keberagaman tema yang disuguhkan Wahid. Keragaman tema itu sesungguhnya
melegakan pembaca. Sebab, pembaca tidak didikte oleh penulis, misalnya pembaca
harus membaca artikel A untuk memahami artikel B. Pembaca bebas memilih artikel
sesuai selera dan kepentingannya. Buku ini hemat saya, bukan sekadar mencerminkan literasi Sang Penulis,
tetapi juga berisikan wejangan yang reflektif dan inspiratif sekaligus.
Entahlah di hari esok. Masihkah kita
bersimpuh di tanah retak seperti ini, tampak imut dengan jiwa-jiwa yang kadang
ditumbuhi belati. Sedangkan di sana, ada meja perjamuan keberagaman yang mulai
reyot, terus dilalap api hoax. Wahid Aman
mencoba mewanti dan menuturkan adat istiadat mendiami kampung maya agar media
sosial bukan belati melainkan melati yang tumbuh di antara kita dan aromanya
menyatukan saudara rasa sedarah.
Dr. Marsel Robot, M.Si
Dosen FKIP Undana, Kepala Pusat Studi Kebudayaan dan
Pariwisata LP2M Undana
*Tulisan ini dikutip dari Pengantar
Buku Mutiara Dunia Maya karya Wahid Aman, diterbitkan oleh Penerbit Gerbang
Media Yogyakarta, 2019. Cetakan II (edisi revisi) Maret 2020.
0 Comments