Ibarat
seorang anak, usia tujuh tahun sudah cukup untuk diantar ke sekolah untuk mendapat
wawasan baru. Orang tua merasa perlu memberi kepercayaan berekspresi di luar
pengawasan mereka. Tercipta sebuah relasi saling percaya antara orang tua,
anak, dan guru. Seperti itulah Media Pendidikan Cakrawala NTT. Pada usianya
tujuh tahun, media ini telah bergerak aktif memenuhi kepercayaan banyak orang. Bagi
sekolah-sekolah di NTT, Media Pendidikan Cakrawala NTT bukan sekadar anak yang
baru lahir. Anak ini telah berjalan jauh, memberi edukasi kepada mitra-mitra
kerjanya. Ada sebuah visi bersama sama-sama mejadi pelita menuju pendidikan NTT
yang lebih bermartabat. Wajar bila perjalanan-perjalanan itu menjadi renungan
tak berkesudahan.
Perjalanan-perjalanan
itu pula telah mengubah Gusty Rikarno—Pimpinan Media Pendidikan Cakrawala NTT
menjadi pria gelisah yang merenung dan terbangun di malam hari. Sejatinya
sebagai pejalan, tentu ada udara yang terhirup, ada pula aroma yang tercium,
ada perasaan yang memburu. Maka di suatu ketika, perjalanan yang melahirkan
banyak gelisah itu berubah menjadi catatan-catatan penting tentang pendidikan.
Siapa yang berani menolak? Bukankah setiap yang dihasilkan dari perjalanan dan
renungan adalah ilmu?
Gusty dan Buku “Jangan Menghina Guruku Lagi”
Saya
sulit mencerna tulisan-tulisan dalam buku
Jangan Menghina Guruku Lagi (JMGL). Itu adalah kegagalan pertama yang
membuat frustrasi. Jelas hal itu tak sehat untuk melanjutkan tujuan utama
saya—menulis ulasan buku. Tapi baiklah, frustasi jangan sampai menguasai hati.
Menjaga pikiran tetap waras dalam keadaan rumit merupakan satu-satunya solusi.
Apalagi buku ini banyak menyinggung dunia pendidikan di NTT yang ‘katanya’
mengkhawatirkan. Maka buku catatan perjalanan Gusty Rikarno sebagai pemimpin
Media Pendidikan Cakrawala NTT perlu diulas lebih jauh. Ya, sejauh jejak yang
pernah ditinggalkan Cakrawala di bumi Flobamora.
Gusty
Rikarno bukan sosok asing di dunia pendidikan NTT. Dapat dikatakan dari grass roots sampai pejabat—siswa sampai kadis
mengenal Gusty. Kontribusi pria
kelahiran Manggarai di dunia pendidikan terlihat pada keseriusannya menjadi
penggerak literasi bagi guru dan siswa di seluruh NTT. Bersama tim MP-Cakrawala
NTT, Gusty menjelajahi kota hingga pelosok NTT untuk mendampingi warga sekolah
menulis. Buku Jangan Menghina Guruku Lagi
adalah sekumpulan catatan yang merahim dari perjalanan literasi itu. Membaca
buku ini kita ‘terpaksa’ ikut gelisah membayangkan setiap cerita yang diramu
Gusty. Mengapa saya katakan ‘terpaksa’, karena tidak semua orang serius
memikirkan pendidikan. Bagi kebanyakan orang proses pendidikan adalah
rutinitas—hal biasa, yang tak perlu dimaknai. Pendidikan bagi mereka adalah
sebuah syarat. Banyak orang berbondong-bondong mengejar hasil tapi melupakan
proses. Hal itu diperparah dengan para pemegang kebijakan yang memiliki
otoritas tapi tak mampu menjalanlan tugasnya. Maka tak heran, banyak kegiatan
asal-asalan muncul sekadar menggugurkan kewajiban—tak bermakna. Bila buku ini
sampai ke tangan orang-orang ‘terpaksa’ ini, saya yakin mereka akan
menyimpannya di sudut ruang dan dibiarkan berdebu sampai pensiun. Golongan-golongan
itu lebih banyak jumlahnya, tapi itu tak jadi soal. Masih ada golongan lain. Meski
sedikit ada segelintir orang yang memimpikan perubahan dan bergerak untuk
berubah. Tentu orang-orang itu tak akan terpaksa membaca buku catatan ini.
Saya
mengingat Soe Hoek Gie ketika membaca
buku ini. Aktivis Indonesia Tionghoa itu menulis catatan-catatan penting selama
hidupnya. Setelah ia meninggal di gunung Semeru pada 16 Desember 1969, beberapa kawan dan saudaranya
membukukan catatan-catatannya dengan judul Catatan
Seorang Demonstran. Gie mengajarkan sebuah ketelatenan dalam mendokumentasi
perjalanan. Saya menemukan itu pada catatan-catatan Gusty. Bagi saya orang-orang
yang selalu merenungkan kembali aktivitasnya adalah orang-orang beruntung.
Mereka selalu memberi ruang pada diri untuk bermuhasabah (introspeksi, red).
Kita perlu mengangkat topi pada penulis yang berhasil mendokumentasikan
perjalanannya dalam sebuah buku. Kehadiran buku ini menjadi role mode para penggerak literasi di
mana pun bahwa setiap perjalanan penting untuk diberitakan kepada orang lain.
Buku Jangan Menghina Guruku Lagi terbit Februari 2020 dengan tebal 153 halaman.
Buku ini memuat 23 catatan pengalaman penulis selama mejalankan Cakrawala. Ada
beberapa hal yang dibahas Gusty berulang-ulang dalam buku ini, seperti Ujian
Nasional (UN), guru, sekolah, literasi, kebijakan, moral, AIDS dan lainnya.
Perjalanan telah mempertemukan penulis dengan berbagai problem. Hal ini
terlihat ketika membaca daftar isi buku. Hampir dua puluhan judul menarik
terpampang di sana. Ada beberapa yang provokatif seperti Ayam Kampus di Kota Kasih juga UN Rendah, Kita Harusnya Resah, juga Jangan
Menghina Guruku Lagi. Selain itu buku terbitan Moya Zam-Zam ini diperkaya
dengan sampul abu-abu yang simpel dan manis.
Gusty Rikarno dan Guru-Guru yang Terhina
Sembilan
puluh persen buku Jangan Mengina Guruku
Lagi membahasa dunia pendidikan. Judul buku ini cukup provokatif untuk
dibaca. Ketika pertama kali membaca judul buku di akun facebook penulis, ada ketertarikan. Tentu ini sebuah keberhasilan
penulis dan penerbit, memilih judul yang tepat untuk sebuah buku. Beberapa hari
setelah postingan penulis di facebook,
saya kemudian dihubungi karena akan ada peluncuran dan diskusi buku itu. Sebuah
berkah luar biasa, karena saya diberi buku itu. Tentu tak sekadar diberi, ada
pesan lain yang disampaikan, “Tolong diulas ya.” Saya bukan pengulas buku yang
baik, tapi bagi orang-orang yang kenal, saya berusaha menuliskan
catatan-catatan pendek untuk karya mereka. Tak ada alasan khusus, ini aksi
‘baku dukung’ kata orang Kupang. Literasi seperti sistem jaringan. Maka saling
mendukung dipercaya dapat memperkuat sistem jaringan.
Mari
kita masuk pada judul buku yang provokatif itu. Meski penasaran saya coba membaca
secara runut. Memulai dari perjumpaan penulis bersama Lanny, seorang alumni
dari sekolahnya pernah didatangi tim Cakrawala. Entah apa alasan penulis menempatkan tulisan
berjudul Akh Lanny ini sebagai
pembuka. Sedikit megganggu. Saya pikir buku dengan judul seserius ini
membutuhkan tulisan yang energik, bukan suatu cerita naratif yang mendayu-dayu.
Namun saya tetap lanjut pada tulisan kedua, Ayam
Kampus di Kota Kasih. Penulis menuangkan kegelisahannya terkait tindakan
asusila yang dilakukan generasi muda di kota Kupang. Ada tarif-tarif tertentu
yang dapat dibayar bila ingin ‘bermain’ dengan perempuan. Ada sebuah
kekhawatiran juga upaya melindungi diri yang disampaikan penulis lewat
tulisannya. Ada sebuah kutipan di akhir tulisan ini yang patut direnungkan
seperti yang saya kutip di bawah ini.
“Menulis kisah ini adalah caraku merawat kita
yang nampak indah secara kasat mata tetapi sebenarnya jorok, berbau amis. Jika
tidak mampu menjadi pelita, jadilah lilin. Hal pertama dan utama yakni
terangilah diri, pikiran, dan hati nuranimu.”
Selanjutnya
saya kemudian fokus pada tiga judul tulisan yang dirasa menjadi pokok keresahan
penulis. Tiga tulisan itu berujudul Bunuh
Saja Kambing Hitam Itu, Jangan Dicari
Lagi, Hasil UN Rendah, Kita Harusnya Resah, dan Jangan Menghina Guruku Lagi.
Tulisan
Bunuh Saja Kambing Hitam Itu, Jangan Dicari Lagi. Pada bagian ini
penulis menceritakan sebuah estafet kesalahan yang sering terjadi di sekolah.
Apabila ada permasalahan, pemimpin melirik wakilnya, wakilnya melirik seksinya,
seksinya melirik anggotanya dan seterusnya. Begitu juga di sekolah. Kepsek
mengestafetkan kesalahan pada wakasek, tak terima wakasek melirik guru, tak mau
terima juga guru mengestafetkan lagi pada siswa. Maka permasalahan itu tak
pernah akan selesai, masalah itu akan tumbuh terus, seperti virus corona, bila
tiba-tiba menyerang, seisi sekolah mengalami kelumpuhan. Penulis mengajak semua
orang berefleksi bahwa mencari kambing hitam atau mengkabinghitamkan orang lain
bukan solusi. Sekolah sebagai lembaga pendidikan bukan tempat memelihara
kambing. Bila ada kambing hitam, maka baiknya dibunuh saja. Artinya bila ada
kesalahan, selesaikan. Bukan mencari siapa yang salah dan melemparnya
kesana-kemari. Penulis meresahkan aksi mengkambinghitamkan orang lain yang
berujung pada buruknya managemen sekolah. Tentu ini berdampak pula pada
kualitas pendidikan. Tak heran bila nilai UN siswa selalu rendah. Guru harus
kreatif dalam memandang persoalan.
Selajutnya,
Hasil UN Rendah, Kita Seharusnya Resah.
Pada bagian ini penulis berusaha menceritakan kejadian Kepala Dinas Provinsi
NTT dan para Kadis Kabupaten ketika harus menelan pil pahit atas hasil UN NTT
yang mengkhawatirkan. NTT harus menerima keunggulan Papua. Penulis juga
menyinggung UNBK yang nilainya rendah, namun hasil UNKP nilai siswa tinggi.
Bahkan tidak ada yang memperoleh angka 6. Terdapat perbedaan nilai yang cukup
mencolok di antara UNBK dan UNKP. Ada sikap ketidakjujuran yang dikhawatirkan
memperparah pendikan di NTT. Pemerintah melalui para kadis harus berupaya
serius dalam mendongkrak mutu pendidikan di daerah.
Sementara
pada judul Jangan Hina Guruku Lagi,
menggambarkan fenome ‘joki’ penulis karya ilmiah yang sering ‘membantu’ para
guru. Dalam tulisan ini, sang Joki digambarkan sebagai orang yang menuliskan
karya ilmiah dengan bayaran yang lumayan mahal. Ya, guru menggadaikan kedudukan
dan kehormatannya untuk berbuat curang demi pangkat. Inilah yang penulis anggap
sebagai wajah pendidikan kita yang
dilukai (melukai) hingga bernanah dan berbau busuk. Sebelum membaca buku
ini secara utuh, saya berpikir hanya ada satu pihak yang berusaha menghina
guru. Namun ketika membacanya, saya menemukan ada dua subjek yang berusaha
menghina guru. Guru bertindak sebagai subjek petama, juga sebagi objek.
Sedangkan orang yang bertindak sebagai joki adalah subjek kedua. Pada kasusnya,
sesungguhnya guru seharusnya mengendalikan diri untuk tidak berbuat sesuatu
yang membuatnya hina. Namun apa daya, krisis literasi pada guru menyebabkan ia
putus asa dan membayar saja. Sesungguhnya saya tak setuju bila para joki
dianggap menghina guru. Ibarat manusia dan setan, apakah wajar kita menyalahkan
setan atas kesalahan manusia? Bila demikian, malaikat tak perlu mencatat amal
baik dan amal buruk. Bukankah semua kesalahan adalah milik setan? Penulis
menganggap peristiwa joki itu sebagai wajah bopeng dunia pendidikan. Guru
adalah garda terdepan. Menemukan fakta bahwa budaya literasi para guru masih
rendah adalah potret kualitas pendidikan kita. Bagaimana mungkin siswa melek-literasi
sementara gurunya santuy? Mendidik
bukan sekadar proses transfer ilmu. Pendidik dituntut mampu memotivasi dan
memberi teladan. Maka para guru, berhentilah mencoreng arang ke wajahmu sendiri. Setiap datang keinginan
berbuat demikian, ingatlah bahwa ada siswa yang merekam dalam memorinya. Siswa
adalah peniru yang baik. Jangan wariskan ilmu berbohong terlalu banyak pada
siswa.
Buku
ini memuat begitu banyak permasalahan pendidikan di NTT.
Tak banyak yang bisa dibahas dalam ulasan ini. Penulis mengahdirkan banyak
orang yang menghina diri sendiri dengan tak serius belajar. Sebagai penggerak
literasi, secara garis besar penulis ingin menyampaikan bahwa membaca dan
menulis adalah aktivitas sehat yang dibutuhkan manusia. Tujuh tahun Gusty
bersama Cakrawala tekah berkeliling, merekam cerita guru-guru yang terhina oleh
tindakannya sendiri. Mereka ditemukan bukan untuk terus dihina. Ada sebuah
janji kehidupan berliterasi yang lebih baik melalui Media Pendidikan Cakwala
NTT. Pendampingan Media Pendidikan Cakrawala adalah sebuah jalan sunyi yang
terang benderang. Bukankah setiap manusia boleh salah, sebab ia punya banyak
kesempatan belajar. Buku ini cocok sebagai bahan refleksi kita. Meski saya
cukup terganggu dan frustrasi karena kesalahan penulisan yang cukup banyak dan
gaya menulis yang melompat-lompat, tapi buku ini tetap layak dibaca. Salam
literasi.
Penulis: Sayyidati Hajar --- Dosen Universitas
Muhammadiyah Kupang, Penulis Buku Kumpulan Cerpen “Menyudahi Kabair”.
0 Comments