Ilustrasi. (Sumber: okezone.com) |
SUDAH
siang dan aku masih berteman dengan mendung yang kian memanggil ibu kembali.
Seperti sebuah penyair aku duduk sambil merenung di emperan teras kantorku.
Tidak mengubris pada sederetan suasana yang hilir-mudik di hadapan membentuk
sebuah barisan rapih dalam bentuk huruf U. Beberapa saat sempat ku-mendulang
senyum menjadi lebih rapih, seolah semuanya baik-baik saja.
Di
mikrofon ruangan samping kantorku, diumumkan kesekian kalinya sejak seminggu
ini, “Selamat
siang para siswa/siswi sekalian. Mengingat sebentar lagi kita akan memperingati
dan merayakan hari kasih sayang (Valentine day). Maka dari sekolah, kita akan
mengadakan lomba tulisan dalam bentuk apapun baik antara siswa/siswi sendiri
maupun antara para guru. Dengan tema “Valentine Day.” Batas akhir pengumpulan
naskahnya paling lambat tanggal 12 Februari, sedangkan hasil perlombaan akan
diumumkan pada tanggal 14 Februari 2020 mendatang. Atas perhatiannya,
disampaikan terima kasih.”
Di
atas sana, tampak seorang ibu dengan gaun putih yang begitu kelabu mulai cemas
“mungkinkah langit kembali jatuh?” tanyaku membatin. Selepas pengumuman siang
itu, aku kembali merebahkan penatku dengan begitu nyaman di tempat dudukku.
Hari ini aku ingin menulis, menulis sebuah puisi yang tidak untuk dilombakan,
hanya saja untuk memenuhi suasana hatiku saat ini.
“Ibu,
bagaimana kabarmu di desa/adakah hujan yang sama kau rindukan bagiku//mendung
kala ini/mengubur diri ke dalam ingin//ibu/bagaimana kabarmu di kampung/adakah,
kau mengandung dengan usia pernikahan yang begitu dini? Mengandung rintik
dengan usia yang baru enam bulan//Ah ibu, baru saja ku-tanya kepadamu/apa
kabarmu di kelahiranmu ini/sudah kau hujankan kelahiranmu dengan usia
prematurmu//sayangnya, kabarku di sini sedikit lebih romantis dengan
menanyaimu// bagaimana kabar ibu saat di kota//.
Beberapa
saat mendulang senyum yang begitu berat, kupaparkan begitu banyak pertanyaan
tentang pengumuman siang tadi. Valentine day? Tuhan, kau pernah
membuatnya untuk mengenang kasih sayangmu selama ini atau sekadar memperingati
besarnya cinta-Mu kepada Maria Magdalena? Bukankah, pengampunan yang kau
berikan kepada seorang pelacur itu sebagai cinta-Mu yang begitu putih? Valentine
day? Apa yang perlu dirayakan dari peringatannya? Semuanya bergemuruh dan
mencambuk tubuhku. Sesak nafasku dibuatnya. Valentine day? Bukankah itu
perayaan pesta tradisi pagan pada masa kekaisaran Romawi kuno sebagai upacara
penghormatan kepada dewa kesuburan? Mungkinkah valentine day + festival
Lupercalia tidak dapat dikenang secara bersamaan selain sebagai hari kasih
sayang + hari penghormatan kepada dewa kesuburan? Semoga ada puisi yang sama
untuk keduanya itu. Namun, bukankah valentine day itu berakar dari
sejarah St. Valentinus, seorang pendeta yang hidup pada masa kekaisaran Romawi
dengan sosok pejuang dalam melawan kaisar Claudius II yang melarang adanya
pernikahan di dalam kuasa kekaisaran Romawi yang akhirnya menyeret pendeta
Valentinus ke dalam penjara. St. Valentinus, sebuah puisi yang paling indah
dari setiap deretan yang perlu dikenang adalah puisi yang ditulisnya untuk anak
gadis dari seorang penjaga penjarannya “from your valentine.”
Valentine
day? Sehabis merebahkan segala
penat. Aku di ajak pikiranku sekadar berjalan keluar dari gerbang sekolah
sambil mengendarai sepeda motorku dan pergi melintasi beberapa tikungan dan
akhirnya berhenti di depan pelataran sebuah toko “Alam Indah Photo.” Di
depannya, aku duduk membakar sebatang rokok surya yang harganya mulai naik. Kuseduh
angin jadi kopi menemani asap demi asap yang kudesah keluar dari mulutku.
Dengan mata menatap nanar pada trotoar-trotoar jalan dan menghitung beberapa
merek motor dan mobil yang jadi incaran para remaja saat ini. Tiba-tiba sudut
mataku menatap seorang bocah di emperan depan toko yang saat ini kududuk. Di
tangan kanannya ia membawa setangkai kayu gamal kering dan di tangan kirinya ia
memikul sekantong karung beras berukuran seratus kilo-gram (100 kg). Sungguh,
mungkinkah anak ini kehilangan asuh atau ia sekadar ingin mengais remah-remah
sabda yang terjejer tanpa ingin dipungut dengan hati? Melihatnya begitu kumuh,
dengan baju dan celana yang mulai lapuk dan sobek, aku datang mendekatinya
sambil bertanya tentang dirinya. “Maaf dik, siapa namamu.” Tanyaku kemudian.
Namaku El, kak. “jawabnya dengan seringai tidak suka. Setelah begitu banyak
pertanyaan yang kulantunkan kepadanya meski seputar berapa usiamu El, dimana
kau tinggal, dimana kamu sekolah, tinggal dengan siapa, bapak dan mamamu
bekerja sebagai apa dan pertanyaan lainnya.
Aku,
seperti ingin menangis. Menangis pada jawaban polosnya. Menangis dengan nasib
yang tidak seharusnya dimiliki oleh anak-anak seusianya. Tapi sayang, Tuhan
memegang nasib kita sekalipun kita berkeras kepala mempertahankan segala
rencana yang menjadi asa untuk masa depan kita. Sambil merogoh kantong baju dan
celanaku, aku mencoba mengingat kembali apa yang aku punya dari statusku
sebagai satpam di salah satu sekolah menengah pertama di sekolah swasta ibu
kota. Aku sadar, yang kupunya saat ini hanya kantongan saku baju dan celana
berisikan uang tiga puluh ribu rupiah. “Maafkan kakak, dik. Saat ini kakak
tidak bisa memberi sesuatu yang bisa berharga bagimu. Hanya itu yang kakak
milikki saat ini. Kakak hanya bisa memberikan apa yang bisa kakak berikan dari apa
yang kakak miliki. “Tuhanku, maafkan aku hamba-Mu ini.” Setelah memberi uang
tiga puluh ribu rupiah itu dan sambil berkata El, jangan lupa gunakan uang itu
untuk membeli makanan dan keperluan lain yang kau butuhkan. El, sekali lagi
maafkan kakak, kakak hanya mampu memberikan apa yang bisa kakak berikan
kepadamu.”
Selepas,
membiarkan El pergi dengan bayangan yang tinggal jadi kenangan paling mesra
dalam ingatanku. Kubaca ulang nama tokoh dimana aku duduk saat ini “alam indah
photo.” Minggu lalu, Maria memintaku untuk membeli bingkai agar menyimpan foto
keluarga yang telah ia print paling tidak bisa dipajangkan di ruang tamu rumah
kami. Dan, aku telah berjanji untuk membelikan setangkai bunga mawar merah
ranum dan mencuci foto keluarga kami serta membingkainya menjadi kado di valentine
day. Namun sayang, aku bahkan tidak sempat mengingat kembali kalau-kalau
uangku untuk semuanya itu telah kuberikan kepada El, seorang bocah yang kutemui
mengais remah-remah sabda di depan tokoh di mana aku duduk mendesah nafas
panjang usai rokok usai kuisap. Aku tidak menyesal pada apa yang kubuat. Aku
hanya ingin berdoa semoga Tuhan memaafkan aku atas apa yang kuberikan kepada
El, tadi.
El,
nama seorang bocah pengemis. Ayah dan ibunya telah pergi merantau sekian
tahunnya di Malaysia, meninggalkan ia sendiri di gubuk reyot rumah kakek dan
neneknya. Di usianya yang ke 15 tahun saat ini, ia tak bisa berseragam, bahkan
sekadar memiliki pena dan buku tulis, untuk menulis namanya saja ia tak paham
apa itu huruf a, b, c, d dan lain sebagainya selain namanya El. El kemudian
menjadi penghuni rumah pikiranku dan beberapa kali aku bertanya dalam batinku apakah
El merayakan valentine day di hari yang akan datang? Valentine day seperti apa
yang dirayakan oleh orang-orang seperti El? Atau pantaskah kita ber-euforia
merayakan valentine day dengan mengadakan segala yang baru dan terbaru untuk dikadokan,
sedang orang-orang seperti El, valentine harus dirayakan di jalanan berdebu,
abu dandipenuhi dengan aroma-aroma jijik pada mata dan mulut para pejalan kaki
yang ia jumpai. Tuhan, perkenankan aku merayakan valentine bersamanya?
13 Februari
Di
ruangan kantorku kembali kudengar pengumuman yang sama dalam tema, hanya saja
susunan kalimatnya mulai berbeda dari mikrofon besar samping ruanganku, “Selamat
pagi bapak/ibu guru dan para siswa/siswi sekalian serta segenap karyawan
sekolah. Mengingat esok adalah hari yang paling dinanti-nantikan baik untuk
memberi ucapan kasih sayang sekaligus untuk mendengarkan siapa pemenang lomba
tulisan bertema; Valentine day tahun ini. Maka, kami menghimbau kepada seluruh
anggota keluarga sekolah ini untuk esok bisa membawa setangkai mawar dan
membuat kartu ucapan valentine day dengan segala kreativitas yang dimiliki
masing-masing untuk diberikan kepada siapa saja yang bagimu pantas
mendapatkannya. Atas perhatian dan kerja samanya, kami sampaikan terima kasih.”
Kemarin,
aku menulis sebuah puisi untuk dilombakan tulisanku entah dalam bentuk apa yang
persis aku tidak tahu, hanya saja aku ingat judulnya “Valentine: Doa Kepada Ibu.” Sekadar mencover kembali ceritanya dan
kutemui inti dari ceritanya adalah perjumpaan dengan pertanyaan “Bingkai
terakhir? Mungkinkah?”
14 Februari
Tuhan,
aku ingin El di sini. Sedang di rumahku, Maria sedang asyik menyiapkan surprise
bagiku dengan harapan bahwa aku akan memberi kado sesuai dengan permintaannya.
Di sekolah, dari ruangan yang sama, aku lihat barisan-barisan rapih berpakaian
dengan corak merah muda ranum berbentuk huruf U sambil menanti dan berharap di
tangan mereka masing-masing ada bunga mawar, ada kartu besar-kecil dan ada
bingkisan-bingkisan kecil bercorak gambar love dan bertuliskan I love
you. Mikrofon itu mulai kembali terdengar. Nyaring dan keras, gemanya
kuharap bisa memanggil El untuk mampir di ruanganku.
Selamat
siang untuk kita semua. Selamat merayakan valentine day. Pada sesi pertama ini,
kita semua diharapkan agar memberi hadiah kita kepada masing-masing sahabat,
teman, guru dan siapa saja yang ingin kita berikan. Pada sesi yang kedua ini, hal
yang paling kita nanti-nantikan kini tiba ‘pengumuman juara lomba menulis’.
Pemenang lomba antara siswa diraih oleh Putry seorang siswi kelas XI dengan
judul puisinya ‘Ibu, aku ingin memelukmu.’ Sedangkan diantara para guru dan
karyawan diraih oleh Pak Rendy dengan judul puisinya “Valentine: doa kepada
ibu.”
Tulisan
sepanjang satu setengah halaman berangkat dari imajinasi akan El. El,
pantaskah mereka merayakan Valentine day? Perayaan seperti apa yang El
peringati dari Valentine day hari ini? Mengingat itu hati dan mataku terkejut
ketika di rumah ada lilin dan corak love
yang telah dihiasi sedemikian mungkin dengan warna-warna merah muda ranum
sambil di sudut-sudut ruangan ada ucapan besar-besaran “selamat merayakan valentine
day.”
Maria
ibuku, maafkan aku yang belum bisa memberikan kado untukmu
sebab kado yang ingin kuberikan kepadamu telah kuberikan kepada El, seorang
bocah yang tak mengerti ‘apa itu valentine day?’ teruntuk bingkaimu.
Kusebut saja telah menjadi bingkai terakhir dari perpisahan aku dengan El.
Mageria, 2020
Ovan Setu; nama pena dari RP. Octavianus T. Setu, O.Carm,
S.Fil., M.Th. Seorang Imam Karmelit sekaligus Kepala
SMPK Alvarez Paga – Maumere. Saat ini menetap di Rumah Ret-Ret Mageria-Mauloo.
1 Comments
El dan Valentine. Tahnks tulisannya padre
ReplyDelete