Gusty Rikarno, S.Fil Pemimpin Umum Cakrawala NTT |
Menyusuri jalan bertikungan
tajam dari Ende menuju Mbay, kita ditawarkan pada dua situasi atau rasa yang
saling membutuhkan. Ada rasa takut akan resiko terburuk dari kondisi jalan
berliku tajam tetapi juga rasa kagum akan keindahan alam yang indah memukau.
Suara mesin perahu dan deburan ombak pantai selatan dan pantai utara bergantian
bersahutan memanggil peziarah untuk kembali. Pulang ke rahim semesta dan
bermadah dalam syair-syair kerinduan yang tak bertepi. Ende dan Mbay memang
berjarak pendek. Hanya butuh waktu tempuh 120 menit dengan kendaraan roda dua.
Di sepanjang perjalanan ini, kerinduan itu menjadi jamak. Di satu sisi, ingin
lebih lama di taman permenungan Soekarno tetapi di sisi lain, angin pantai
utara (Mbay) dalam aroma daging domba datang memanggil. Kamu adalah seorang
yang paling berbahagia jika mengalami kerinduan jamak seperti ini. Pada matamu keindahan itu datang sekaligus.
Ada gumpalan batu berwarna dan butiran garam bersih yang siap dipasarkan.
Hujan dalam gerombolan awan
hitam membawa kabar yang tidak biasa.
Mobil avanza putih membawaku berlari mengejar paragraf terakhir dari
cerita yang belum selesai. Imajinasiku terasa sempurna dalam hentakan lagu Gawi
dan Ja”i. Ada canda dalam kata yang tak terucap. Mungkinkah, tiga gugus pulau bernama Flores, Alor dan
Lembata (Floresta) berikrar pada rasa yang sama untuk berdiri menjadi sebuah
provinsi baru dan Mbay bakal menjadi Ibukotanya? Akh, tidak urgen untuk
diperjuangkan. Setidaknya untuk saat ini, Flobamorata akan tetap berdiri kokoh
dan Floresta hanya tetap menjadi wacana.
...................................
Pukul 08.00 pagi. Kami tiba di
pelataran Kantor Bupati Nagekeo. dr. Johanes Don Bosco Do, yang adalah orang
nomor satu di Kabupaten ini sedang menunggu. Paragraf terakhir dari cerita itu
dituntaskan sudah. Katakan saja, kami adalah tamu istimewanya di pekan ini.
Betapa tidak, untuk bertemu kami (Tim Inovasi dan Media Pendidikan Cakrawala
NTT), ia (Bupati Don) harus didampingi oleh kepala bapeda, Kepala dinas
pendidikan dan kebudayaan serta kepala badan perpustakaan. Istimewa bukan?
Lalu, ada apa dengan semua ini? Adakah ini bahasa semesta untuk menegaskan
pentingnya kata sinergisitas dan kolaborasi?
Arus pikirku belum terurai,
seorang staf bupati menyelinap sambil menyodorkan sebuah wadah lokal yang
antik. Handphone (hp) kami dikumpulkan. Dalam seluruh kisah perjalananku
bertamu, baru kali ini seorang tuan rumah bersikap di luar kewajaran. Situasi ini persis ketika kita berpergian
mengunakan pesawat terbang. Selalu ada komentar klasik pramugari yang membuat
jenuh. “Perhatian, semua hp dan segala jenis peratan elektronik lainnya harus
dimatikan karena dapat menggangu navigasi pesawat”. Pesannya satu. Kelancaran
dan kejelasan komunikasi sang pilot dan pihak bandara jauh lebih penting dari
jenis komunikasi lainnya.
Bupati Nagekeo mengajar satu
hal yang baru dan elegan. Komunikasi itu bersifat dua arah dan saling
mengandaikan. Tuan rumah ingin fokus berbicara dengan tamunya lebih dekat.
Demikian sebaliknya. Sang tamu diundang (meminta) untuk berbicara dengan tuan
rumah tanpa diganggu atau disibukkan oleh orang lain yang ada di balik layar hp
tersebut. Bayangkan saja. Saat bupati berbicata, tamu yang diundang itu sedang
menciptakan dunia sendiri dan berselancar ria di dunia maya. Ia menatap sambil
mengangguk setuju sementara tangan dan pikirannya bergerak di tempat lain. Apa
yang diharapkan dari model diskusi semacam ini. Terkadang saya berpikir, metode
ini bisa diterapkan di mana saja. Saat berdiskusi semua hp dikumpulkan atau
di-non-aktifkan.
Dalam situasi yang diciptakan
demikian, kami mulai berbicara, berdiskusi dan berencana. Ada tawa dan canda
yang membuat suasana makin hangat dan renyah. Dokter Don yang kini duduk
sebagai Bupati Nagekeo memang seorang yang sangat kreatif dalam hal berpikir.
Terkadang untuk seorang yang berpikir manual, ia (bupati) dinilai “gila” karena
tidak takut melawan arus. Dalam aksi dan karya nyatanya terlihat jelas. Ia berani menerobos situasi atau kondisi yang
ada jika itu untuk kebenaran dan kebaikan orang banyak. Ia berpikir “gila”
walau tetap konsisten untuk bertindak waras. Untuknya, kerja nyata jauh lebih
berarti dari sebuah wacana dan diskusi yang terkesan hangat tetapi sesungguhnya
hanya memamerkan keahlian mencari muka. Beliau adalah seorang pemikir dan
pekerja. Baginya, bekerja adalah bagian dari berpikir itu sendiri. Atau dengan
kata lain, berpikir bakal mendapat bentuknya jika seorang bekerja dan menemukan
bentuk atau indikator keberhasilan yang tertukur - teruji.
Beginilah kami memulai. Tim Inovasi
yang berada dibawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dalam
konsep kerja yang terukur telah membuktikan diri. Mereka bekerja dari level
pendidikan terendah. Ratusan Sekolah Dasar (SD) di wilayah daratan Sumba dapat
dijadikan contoh keberasilan dari aneka inovasi yang diterapkan dalam konteks
literasi dan numerasi. Para guru ditempa dan diarahkan dalam satu model dan
metode mengajar yang khas. Guru akhirnya hadir sebagai sosok yang mampu memberi
inspirasi dan dengan metode mengajar yang gampang, asik dan menyenangkan.
Mereka bercerita dari satu kerja nyata. Mimpi dan harapannya satu. Keajaiban
yang terjadi dan dialami para guru dan siswa/i di daratan Sumba juga terjadi
sini. Di Kabupaten Nagakeo.
Bupati, Kepala Bapeda dan Kadis
pendidikan mengangguk setuju. Sejumlah anggaran siap digelontorkan untuk
mendukung program yang terencana, terukur dan teruji ini. Begitulah beliau
(Bupati Nagekeo) yang selalu ingin bermitra dengan seorang atau lembaga
profesional. Ia ingin para guru dan generasi muda Negekeo dituntun, dibantu dan
diarakahkan oleh mereka yang “sehat” dalam hal berpikir dan bekerja. Seorang
atau lembaga yang bekerja dalam satu cara yang berbentuk, terukur dan memiliki
orientasi pada hasil.
“Jangan hadirkan pada saya,
seorang atau lembaga yang pandai beretorika dan berwacana. Saya butuh ,mitra
yang profesional di bidangnya. Kegagalan dalam hidup bermula dari kegagaglan
berpikir. Bagaimana mungkin ia berkonsep tetapi tidak tahu atau tidak mampu
menajalankan konsep itu. Saya adalah bupati, sang konseptor. Tugas mitra adalah
menjalankan konsep itu dalam bentuk yang nyata terlihat. Saya ingin apa yang
dibicarakan itu rasional dan bisa dimplementasi dalam satu cara”, tandas Bupati
Nagekeo ini.
Ia (Bupati Don) menatapku dalam
senyum. Ada perjumpaan dari narasi yang sempat terucap di dunia nyata dan maya.
Benar. Sudah lama, kami saling mengenal, menyimak dan menyelidiki. Perjumpaan
ini adalah perjumpaan konsep dari paragraf akhir gerakkan literasi yang harus
terkrista dalam aksi nyata. Pemerintah Nagekeo melalui dinas pendidikan dan
kebudayaan siap bergerak, bersinergi dan bergiat bersama Media Pendidikan
Cakrawala NTT. Mitra yang diakui dan dipandang
profesional. Kabupaten Nagekeo telah dideklarasikan sebagai kabupaten
Literasi.
Pertanyaan tersisa, apakah
indikator sebuah kabupaten disebut kabupaten literasi? Jawabannya tunggal.
Sejauh mana akar gerakan literasi itu
menggangu pikiran banyak orang (masyarakat) dan melihat literasi itu sebagai
keharusan (kebutuhan) primer. Semisal, para guru dan peserta didik melihat
kegiatan membaca dan menulis sebagai kebutuhan.
Kami sudah dan ingin terus bergerak. Pada diskusi dalam durasi 120 menit
ini, sebuah terget dibentangkan. Pada tanggal 2 Mei (Hari Pendidikan Nasional)
enam buah buku harus dilounching. Keenam buku ini merupakan karya nyata para
guru dan siswa/i di daerah ini.
“Kraeng. Saya selalu ikuti
gerakanmu. Luar biasa. Kepada Bapa Kadis pendidikan saya perintahkan untuk
datangkan manusia (kamu) ini ke Nagekeo. Saya bilang, kita butuh tim Media
Pendidikan Cakrawala NTT. Mari ta Kraeng, kita sama-sama bergerak. Para guru dan
peeserta didik harus bergerak dalam satu cara yang sama sebagaimana yang
dipikirkan (dikonsepkan) bupati mereka. Saya ingin Kabupaten ini terdepan dalam
segala hal. Kabupaten Nagaekeo yang nyaman, sejahtera dan bermartabat. Terima
kasih. Walau diam-diam sudah berkarya di daerah ini sejak beberapa tahun silam.
Mari kreang, kita bergerak bersama. Saya minta dinas pendidikan untuk panggil
semua kepala sekolah agar bicarakan tindaka lanjut kegiatan literasi ini.
Tanggal 2 Mei nanti saya mau kita launching buku karya guru dan siswa”, tandas
dr. Don.
.........................................
Lembaga Inovasi dan Media Pendidikan Cakrawala
NTT bernarasi dalam diskusi bersama pihak Pemerintah Kabupaten Nagekeo.
Paragraf terakhir itu tuntas. Nagekeo bisa berubah. Waktu tempuh Ende – Aegela
– Mbay, hanya dalam waktu 120 menit. Demikian halnya waktu yang kami pakai
untuk duduk dan berdiskusi. Ribuan bahkan jutaan menit tersisa kami ingin
habiskan dalam aksi (kerja nyata) yang profesional, terukur dan teruji. Media Pendidikan
Cakrawala NTT dan Inovasi telah meletakkan jangkarnya di ini Nagekeo. Ruang
(lahan) telah diberi untuk digarap dan sewajarnya mendapatkan hasil yang
maksimal.
Pemerintah dan masyarakat
Nagekeo butuh mitra profesional. Lembaga yang ingin peduli dan bekerja dengan
hati. Harus disadari, di jalan sepi literasi ini ada banyak tikungan tajam yang
siap menanti dan menikung setiap konsep dan aksi. Beragam kendala bakal hadir
dari situasi atau pihak yang hendak membawa awan hitam berkabut. Satu hal yang pasti,
kami (kita) adalah empunyanya cakrawala. Nagekeo bisa berubah adalah tagline
kita dan bahasa semesta.
Mbay – Aegela – Ende, masih
seperti itu. Butuh sekian banyak hati untuk mengabarkan bahasa yang sama.
Nagekeo bisa berubah dalam aksi nyata. Mungkin bukan seberapa besar aksi itu
terlihathk tetapi konsep yang terkristal itu mampu membangkitkan rasa optimis,
jiwa pantang menyerah dan sikap selalu ingin bekerja dalam nafas sinergisitas
dan kolaborasi dari seluruh komponen masyarakat Nagekeo.
Salam Cakrawala, Salam Literasi
...
0 Comments