Update

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

UNWIRA KUPANG

CERPEN JONI LIWU – NADYA, CERITAMU DI KAMIS NAN GERAH

Ilustrasi (Sumber: sketsaindonesia.id) 

HAMPIR beberapa hari terjerembab penyakit musiman ispa. Sangat mengganggu tetapi Nadya tetap menjalankan rutinitasnya, mengajar. Masuk ke kelas, bersama siswa-siswi hampir di setiap jam pelajaran, menjadi tugas utamanya. Beban mengajar tiga puluh jam per minggu telah menjadi tanggung jawabnya. Tambahan pula, dua bulan lagi siswa-siswi akan mengikuti Ujian Akhir. Hal itu berarti pula bahwa les tambahan, juga pelajaran hari-hari ini mungkin sebagai nutrisi tambahan bagi mereka. Walaupun demikian, mereka pun bukanlah bayi stunting, sehingga perlu diperhatikan masalah gizinya. Setidaknya, dengan memberikan les tambahan, mereka dapat mengenal, memahami soal, dapat menganalisis kemudian menentukan jawaban yang paling tepat dari semua pilihan jawaban yang mirip atau tepat.

Program les tambahan itu hampir menjadi program setiap tahun di setiap sekolah. Les tambahan tersebut diberikan, karena waktu pembelajaran sangat tidak cukup. Kalau saja dikalkulasi hari efektif belajar berkurang ketika ada hari libur umum, libur khusus, atau kegiatan-kegiatan insidentil lainnya di sekolah. Praktis tidak terjadi kegiatan pembelajaran di kelas. Hari efektif pembelajaran pun semakin berkurang bila siswa tidak hadir di sekolah.

“Mungkinkah hal libur sekolah dan meliburkan diri saat hari-hari efektif pembelajaran sekolah menjadikan peringkat UN di daerahku selalu terdepak di urutuan terbawah?” tanya Nadya dalam hati.

Nadya coba menerawang, sebab musabab, sambil kaki terus melangkah ke ruang kelas, karena kegiatan pembelajaran hari ini pelajaran diawali dengan membaca satu jam. Sekolahnya menetapkan hari sebagai “Kamis Membaca”, satu pembiasaan dari bebarapa pembiasaan lainnya pada setiap hari sekolah. Hal itu pula sebagai perwujudan Gerakan Literasi yang hari-hari ini bergema di seantero Indonesia, tetapi sejauh itu pula belum terukur pelaksanaanya karena berbagai kendala.

Gerimis dan hujan pagi ini tak menghalangi langkah siswa-siswinya ke sekolah. Beberapa dari mereka terlihat basah kuyub saat memasuki halaman sekolah. Tetapi dengan semangat pula mengikuti les tambahan pagi hari. Kesibukan juga penyakit musiman itu, mengurangi niat Nadya, guru Bahasa Indonesia, mengisi ruang media sosialnya dengan tulisan-tulisan, entah puisi juga cerpen. Tapi, pagi ini, Nadya, guru berusia berkepala dua itu sudah di sekolahnya.

Dua orang siswi telah hadir di kelas yang menjadi asuhannya. Ia menjadi wali kelas di kelas itu. Ia melihat beberapa dari siswa-siswi sedang mengerjakan tugas harian, membersihkan kelas, dan yang lainnya mengepel. Hujan pagi ini memudahkan mereka mendapatkan seember air untuk membersihkan kelasnya. Nadya masih ingat kemarin, saat pelajaran di kelas ini yang juga menjadi kelasnya karena sebagai wali kelas, ia telah mengingatkan agar mereka harus bertanggung jawab terhadap seluruh tugas terjadwal. Sesaat kemudian, bermunculan siswa lainnya. Termasuk dua orang lagi yang juga merupakan kelompok yang menjadi piket hari itu.

“Waktu literasi dimulai. Semua menggunakan ruang kelasnya masing,” demikian pengumuman dari kantor sekolah.

Nadya melihat jam di telepon genggamnya, waktu telah menunjukkan pukul 06.45, waktu berliterasi. Hari ini, sekolahnya menjadikan hari Kamis sebagai kami membaca. Siswa yang sudah hadir dipersilahkannya mengambil beberapa bahan bacaan yang ia bawa. Beberapa di antaranya langsung menyerbu buku-buku tersebut. Memang buku yang disediakannya tidak seberapa. Setiap hari Kamis, ia pasti membawa ke ruang kelas itu agar beberapa siswa yang tidak memiliki bahan bacaan dapat meminjamnya.

Nadya mencoba mengondisikan kelas ini. Dengan senyum ramah ia mengingatkan agar siswa-siswinya dapat memanfaatkan waktu satu tersebut dengan membaca. Tidak lupa ia menyampaikan jurnal membaca, agar mereka dapat merencakannya dalam membaca. Setidaknya sebuah buku novel, misalnya dapat diselesaikan seminggu atau dua minggu. Dalam hitungannya,  juga sesuai petunjuk yang ia baca dari buku-buku tentang lietrasi membaca, menganjurkan agar seorang siswa kelas sembilan, dapat membaca sembilan novel selama setahun.

Beberapa koleksi cerpen di laptop telah dibacanya. Ia mendapatkan cerpen-cerpen itu dari internet. Sebenarnya ia juga sedang menyelesaikan sebuah novel yang kini sedang dibaca salah seorang siswanya. Namun karena kekurangan bahan bacaan, maka ia merelakan novel itu dibaca siswanya. Satu cerpen telah selesai dilahapnya, dan ia melanjutkannya pada cerpen yang kedua. Cerita-cerita sangat menginpirasinya, mengingatkan padanya  pengalaman masa kecil di kampung halaman.

“Ternyata siswa-siswiku sangat tekun membaca,” Nadya membatin.

Mereka larut dalam ‘“Kamis Membaca”’ pagi ini. Mereka tekun membaca, walau ya ia tahu, ada pula sedang bercanda, sekadar berbisik-bisik dengan tekannya. Mereka terdiam kala mata bu guru yang cantik itu memantau hampir ke semua meja siswa dari meja guru.

Siswa-siswi di kelasnya sangat memafaatkan waktu pagi ini. Belum lagi gerimis pagi ini telah memberi kesejukan, berbeda dengan musim kemarau. Sepertinya alam memberi kesejukan bagi penghuninya. Suasana kelas nyaman. Nadya coba melihat keluar, pada beberapa ruang kelas yang terpisah dari ruang kelasnya. Tidak biasanya, situasi pagi itu seperti pentas seni. Pada dua kelas yang dilihatnya, beberapa siswa berkejar-kejaran, yang berkumpul sambil bercerita sesuka hati. Pemadangan yang sangat berbeda sebagaimana yang ia alami di kelasnya.

“Kemanakah wali kelasnya?”
“Apakah hanya kebetulan kalau pagi ini, dua kelas yang berdampingan, tidak diawasi kelas?”
“Atau memang kedua kelas ini jika setiap “Kamis Membaca” selalu dimanfaatkan seperti ini?” Nadya merenung berkali-kali.

Ia tak habis-habisnya berpikir jika keadaan seperti ini yang terjadi selama ini, lalu apakah hasil membaca lima belas menit dan pembiasaan setiap Kamis sebagai “Kamis Membaca”. Sekali lagi ia mengamati siswa di dua kelas berbeda itu. Tidak satu pun yang terlihat membaca. Anehnya lagi, sebagian siswa bernyanyi. Mereka melakukannya tanpa beban. Mereka sangat tidak menyadari jika teman-temanya di kelas yang lain sedang membaca. Miris memang kondisi seperti jika dilihat guru. Betapa tidak, waktu yang tersedia untuk membaca hanya satu jam, tetapi waktu yang cukup ini tidak dimanfaatkannya secara efektif.

Hati Nadya gerah. Ia tidak bisa melanjutkan cerpen-cerpen yang dibacanya sejak tadi. Ia merasa sia-sia materi tentang literasi yang disampaikannya saat rapat dewan guru awal tahun pembelajaran. Ia ingat betul materi sajiannya sehubungan dengan gerakan literasi disekolahnya. Ketika itu, sebagai ketua Tim Literasi Sekolah, ia telah menyampaikan peran wali kelas dalam hal pengawasan kepada siswa saat literasi yakni membaca. Semua wali kelas menyadari tanggung jawab tersebut. Tetapi mengapa kondisi pagi ini sangat jauh berbeda dari yang diharapkannya. Nadya tak membayangkan jika, di kelas-kelas lainnya pun, sebagian besar siswanya hanya bermain, atau sekadar “ngobrol”, atau bahkan hanya memegang buku tetapi tidak membaca.

Nadya juga telah menyarankan kepada semua guu saat rapat, bahwa pada tahap pembiasaan, literasi lima belas menit bisa dilakukan dengan membaca nyaring. Seorang siswa dtunjuk guru untuk membaca, sedangkan yang lain menyimak. Atau bertanya jawab tentang buku, sehingga terhadap beberapa bagian cerita yang dibaca, lalu guru atau seorang siswa bertanya tentang isi cerita. Memang banyak cara yang dilakukan saat literasi lima belas menit.

“Tapi apakah semua itu pernah dilakukan di setiap kelas?”
“Duh…betapa berat tangung jawab ini,” berkali-kali Nadya membatin.

Mungkin sangat ideal yang terpikirkan oleh Nadya. Namun memasuki semester kedua ini, sebenarnya literasi di sekolahnya telah memasuki Tahap Pengembangan. Hal itu berarti, siswa sudah bisa menuliskan sesuatu yang dibaca.

“Bagaimana mungkin mereka bisa menulis, sedangkan membaca tidak dilakukan siswa?”

Beribu pertanyaan menohok pikirannya. Ia bersama timnya telah berupaya secara maksimal dalam berliterasi di sekolahnya. Namun sampai sejauh ini, aktivitas literasi yang terlihat yakni siswa bahkan guru hanya menghabiskan waktu dengan membaca tanpa batasan yang jelas. Ia berharap dengan materi yang telah disosialisasikannya, akan berdampak peningkatan kemampuan siswa dalam kegiatan pembelajaran.

Nadya kembali ke tempat duduknya setelah berkeliling mengawasi siswanya membaca. Namun, hatinya terkesima dengan kondisi yang pagi ini dilihatnya. Ingin rasanya ia bersama mereka, mengajaknya  menggauli sebuah bacaan, cerpen misalnya. Namun pada “Kamis Membaca” ini, setiap wali kelas harus membimbing siswanya. Lagi pula jika ia meninggalkan kelasnya, belum tentu siswa di kelasnya tidak gaduh.

Nadya agak kaget ketika seorang siswanya bercoloteh, “Bapak, kelas di sebelah sangat ribut.” Sontak pertanyaan Nofri membuat teman-temannya tertawa karena ia salah menyapa Nadya dengan Bapak. Nadya pun hanya tersenyum. Tetapi kegaduhan itu menjadi pusat perhatian. Tidak hanya di dalam kelas itu, tetapi juga siswa-siswi di dua kelas berdampingan mengarahkan perhatiannya. Nofri tersipu malu sambil berkata,”Maaf Bu, salah sebut Bu”.

Kini Nadya kembali ke tempat duduknya. “Entah di halaman berapa,” gumamnya sambil mencari-cari halaman tertentu pada antologi cerpen itu.

Seorang siswa yang tepat di depannya seolah mengetahui jika Bu Nadya sedang mencari-cari halaman cerpen yang dibaca. Seketika itu pula lonceng tanda selesai Jam Membaca berbunyi.

“Ayo, buku-buku dikumpulkan,” pinta ketua kelas.

Mereka pun kemudian mengumpulkan sejumlah buku yang selalu dibawa dan dibagikan saat literasi. Beberapa koleksi buku itu menjadi santapan mereka setiap pagi saat berliterasi lima belas menit. Atau pada “Kamis Membaca” tersebut.

“Selamat pagi, Bu,” siswa-siswi serempak menyalaminya.

Pagi ini, Nadya tak menyalami siswanya. Penampilannya memang kurang bersahabat dengan mereka. Memang sejak sejam yang lalu, siswa di rung kelas inilah yang berlarian, menyanyi, bercerita dan tidak membaca. Nadya mulai menginterogasi mereka tanpa berdoa bersama terlebih dahulu. Nadya memang agak kecewa pagi ini. Siswa-siswi belum satu pun duduk, tidak seperti biasanya. Mereka masih tetap berdiri, dan tak satu pun yang duduk. Mereka seolah-olah sedang membaca bahasa tubuh Bu Nadya pagi ini.

Nadya memang agak gusar. Betapa perilaku mereka pagi ini sungguh mengecewakan. Ia memang pernah menyampaikan hal berliterasi setiap pagi bahkan pada “Kamis Membaca” kepada mereka. Tetapi kelakuan siswa-siswinya pagi ini, seolah tidak menggubris pesannya. Ia mulai menginterogasi siswa-siswinya.

“Kamu yang baca?” tanyanya kepada seorang siswa yang meletakan novelnya di depan meja.
“Tidak, Bu,” jawabnya.

Nadya tidak melanjutkan pertanyaannya.
“Bagaimana mungkin ia bisa membaca, sedangkan hampir seluruh siswa bernyanyi ketika jam literasi,” analisisnya dalam hati. Ketika itu semua siswa masih berdiri. Mereka seolah menyadari kesalahan mereka.

“Siapa saja yang bernyanyi di ruangan ini saat literasi?” pertanyaan Nadya seolah menohok siswa-siswi di kelas itu. Hampir sebagian besar siswa merunduk. Tertinggal beberapa siswa yang mengerjakan PR, masih menatap Bu Nadya. Bu Nadya memang ingin menyadarkan mereka betapa waktu yang disediakan untuk membaca sangatlah bermanfaat. Tidak semua sekolah menjadikan salah satu hari sebagai pembiasaan membaca. Hal itu pun telah disampaikan berkali-kali ketika memulai pembelajaran Bahasa Indonesia sebelum atau setelah kegiatan pembelajaran.

Atas permintaan Bu Nadya, sebagian besar siswa menuju ke depan kelas. Mereka menyampaikan dengan jujur perilakunya saat literasi. Judul lagu disebutnya, dan berbeda dari satu kelompok lainnya. Nadya pun menugaskan mereka untuk bernyanyi bersama. Syarat utama, lagu yang dinyanyikan bersama harus kompak. Jika persyaratan itu tidak terpenuhi, maka siapa yang melalaikannya tidak diperkenankan mengikuti pelajarannya. Sejenak mereka berdiskusi soal lagu yang dinyanyikan.

Kelompok pertama mulai beraksi, dan ternyata mereka bernyanyi dengan apik, teratur, walau ada beberapa suara sumbang. Berlanjut kelompok yang kedua. Kelompok pria yang kedua ini memilih lagu bergenre hip-hop. Mereka pun bernyanyi dengan baik. Namun tingkah salah seorang siswa yang seolah bernyanyi tapi tidak mengeluarkan suaralah yang membuat siswa lainnya yang sedang menonton tertawa. Bu Nadya yang masih memendam amarahnya baru mengetahui perilaku kocak siswa tersebut setelah siswa lain menyampaikan kepadanya. Sejenak Bu Nadya masih terseyum, tetapi belum melenyapkan kegusarannya kepada mereka.

Tiba giliran kelompok putri. Mereka tidak saja bernyanyi, tetapi menari sesuai irama lagu yang dinyanyikan. Mereka menari sambil tersenyum. Senyum mereka mengumbar senyum Bu Nadya. Mereka berhasil, sukses menerima tantangan Bu Nadya.

“Apakah mereka sudah sepakat sebelum bernyanyi, atau memang mereka berlatih saat Jam Membaca satu jam yang lalu?” pikir Bu Nadya.

Penampilan siswa-siswi putri ini agak berbeda, sehingga teman-temannya memberikan aplaus. Sejenak ruang kelas riuh, gegap gempita. Beberapa di antaranya bergoyang tidak seirama. Meskipun demikian, terlihat gembira. Keceriaan menyelimuti mereka bukan saja karena Bu Nadya tidak memberi sanksi kepada mereka, tetapi lebih dari itu, karena mereka dapat bernyanyi dengan kompak. Seolah waktu berliterasi bagi mereka merupakan waktu latihan, sehingga mereka dapat bernyanyi pula dengan dengan baik.

“Ataukah ini pun disebut Literasi Seni?” pikiranku berkecamuk.

Bu Nadya tutur larut dalam lagu yang dinyanyikan siswanya. Sepintas ia terlihat tersenyum. Wajah bulat oval, dengan balutan bibir merah tipis membuat siswa-siswinya turut tersenyum. Kelas ini pun berbubah total menjadi sangat bersahabat. Namun pikirannya berkecamuk setelah sempat berikir, kalau-kalau bernyanyi itu pun sebagai sebuah wujud berliterasi. Buktinya sanksi yang diberikan kepada siswa-siswinya yang tidak membaca menjadi pertunjukan yang menarik.

Kalau saja diperkenankan, tentu banyak dari mereka akan memilih berlatih bernyanyi dibanding membaca. Sejauh ini, mereka diwajibkan membawa buku nonteks agar bisa digunakan berliterasi, tetapi sejauh itu pula hampir sebagian besar dari mereka tidak mengubris. Mungkin sebagian lagi siswa cenderung beriterasi seni, nanum literasi jenis itu sepertinya bukan sekarang. Atau lebih tepatnya jika dilaksanakan pada kegiatan ekstrakurikuler. Semakin Bu Nadya berpikir, semakin asyik untuk sekadar menggagas, tetapi kepalanya juga semakin pening.

“Bagaimana mungkin menyampaian literasi seni itu di rapat nanti sedangkan kegiatan membaca lima belas menit dan “Kamis Membaca” ini pun belum berbuah hasil,” katanya dalam hati.

Hampir sekian belas menit, pikiran mumet Bu Nadya terobati. Tingkah mereka membuatnya tersenyum. Menyenangkan bersama mereka. Suka-duka, senang pun gerah karena ulah, selalu terjalin dalam pertemuan dengan mereka. Dan memang hampir terlihat perilaku unik mereka.

“Entah akan seperti apa mereka ini kelak? Apakah mungkin, salah satu atau bahkan beberapa dari mereka akan menjadi penyanyi atau pekerja seni lainnya?” pikirnya.

Ibarat tumbuhan yang sedang bertumbuh, maka hari-hari ini Bu Nadya bersama teman-teman seperjuang sedang merawatnya tanpa henti dan jenuh. Mereka tetap tersenyum melihat setiap perubahan. Entahlah, hasil dari sebuah gerakan literasi seperti apa, mereka pun belum memastikannya. Atau siswa-siswi meraih sukses sesuai garis tangannya? Itu pasti, karena Sang Kuasa telah menggariskannya.

Kupang, 23 Januari 2020
Joni Liwu, Guru SMPN 13 Kota Kupang, Peserta Bimtek Fasilitator Literasi Baca-Tulis Tingkat Regional Bali-Nusra oleh Kemdikbud (Denpasar, Mei 2019)





Post a Comment

0 Comments