Ilustrasi (Sumber: sketsaindonesia.id) |
HAMPIR beberapa hari terjerembab penyakit musiman ispa. Sangat mengganggu tetapi Nadya tetap
menjalankan rutinitasnya, mengajar. Masuk ke kelas, bersama siswa-siswi hampir
di setiap jam pelajaran, menjadi tugas utamanya. Beban mengajar tiga puluh jam
per minggu telah menjadi tanggung jawabnya. Tambahan pula, dua bulan lagi
siswa-siswi akan mengikuti Ujian Akhir. Hal itu berarti pula bahwa les tambahan,
juga pelajaran hari-hari ini mungkin sebagai nutrisi tambahan bagi mereka.
Walaupun demikian, mereka pun bukanlah bayi stunting,
sehingga perlu diperhatikan masalah gizinya. Setidaknya, dengan memberikan les
tambahan, mereka dapat mengenal, memahami soal, dapat menganalisis kemudian
menentukan jawaban yang paling tepat dari semua pilihan jawaban yang mirip atau
tepat.
Program les tambahan itu hampir
menjadi program setiap tahun di setiap sekolah. Les tambahan tersebut
diberikan, karena waktu pembelajaran sangat tidak cukup. Kalau saja dikalkulasi
hari efektif belajar berkurang ketika ada hari libur umum, libur khusus, atau
kegiatan-kegiatan insidentil lainnya di sekolah. Praktis tidak terjadi kegiatan
pembelajaran di kelas. Hari efektif pembelajaran pun semakin berkurang bila
siswa tidak hadir di sekolah.
“Mungkinkah hal libur sekolah
dan meliburkan diri saat hari-hari efektif pembelajaran sekolah menjadikan
peringkat UN di daerahku selalu terdepak di urutuan terbawah?” tanya Nadya
dalam hati.
Nadya coba menerawang, sebab
musabab, sambil kaki terus melangkah ke ruang kelas, karena kegiatan
pembelajaran hari ini pelajaran diawali dengan membaca satu jam. Sekolahnya menetapkan
hari sebagai “Kamis Membaca”, satu pembiasaan dari bebarapa pembiasaan lainnya
pada setiap hari sekolah. Hal itu pula sebagai perwujudan Gerakan Literasi yang
hari-hari ini bergema di seantero Indonesia, tetapi sejauh itu pula belum
terukur pelaksanaanya karena berbagai kendala.
Gerimis dan hujan pagi ini tak
menghalangi langkah siswa-siswinya ke sekolah. Beberapa dari mereka terlihat
basah kuyub saat memasuki halaman sekolah. Tetapi dengan semangat pula
mengikuti les tambahan pagi hari. Kesibukan juga penyakit musiman itu,
mengurangi niat Nadya, guru Bahasa Indonesia, mengisi ruang media sosialnya
dengan tulisan-tulisan, entah puisi juga cerpen. Tapi, pagi ini, Nadya, guru
berusia berkepala dua itu sudah di sekolahnya.
Dua orang siswi telah hadir di
kelas yang menjadi asuhannya. Ia menjadi wali kelas di kelas itu. Ia melihat
beberapa dari siswa-siswi sedang mengerjakan tugas harian, membersihkan kelas, dan
yang lainnya mengepel. Hujan pagi ini memudahkan mereka mendapatkan seember air
untuk membersihkan kelasnya. Nadya masih ingat kemarin, saat pelajaran di kelas
ini yang juga menjadi kelasnya karena sebagai wali kelas, ia telah mengingatkan
agar mereka harus bertanggung jawab terhadap seluruh tugas terjadwal. Sesaat
kemudian, bermunculan siswa lainnya. Termasuk dua orang lagi yang juga
merupakan kelompok yang menjadi piket hari itu.
“Waktu literasi dimulai. Semua
menggunakan ruang kelasnya masing,” demikian pengumuman dari kantor sekolah.
Nadya melihat jam di telepon
genggamnya, waktu telah menunjukkan pukul 06.45, waktu berliterasi. Hari ini,
sekolahnya menjadikan hari Kamis sebagai kami membaca. Siswa yang sudah hadir
dipersilahkannya mengambil beberapa bahan bacaan yang ia bawa. Beberapa di
antaranya langsung menyerbu buku-buku tersebut. Memang buku yang disediakannya
tidak seberapa. Setiap hari Kamis, ia pasti membawa ke ruang kelas itu agar
beberapa siswa yang tidak memiliki bahan bacaan dapat meminjamnya.
Nadya mencoba mengondisikan
kelas ini. Dengan senyum ramah ia mengingatkan agar siswa-siswinya dapat
memanfaatkan waktu satu tersebut dengan membaca. Tidak lupa ia menyampaikan
jurnal membaca, agar mereka dapat merencakannya dalam membaca. Setidaknya
sebuah buku novel, misalnya dapat diselesaikan seminggu atau dua minggu. Dalam
hitungannya, juga sesuai petunjuk yang
ia baca dari buku-buku tentang lietrasi membaca, menganjurkan agar seorang
siswa kelas sembilan, dapat membaca sembilan novel selama setahun.
Beberapa koleksi cerpen di
laptop telah dibacanya. Ia mendapatkan cerpen-cerpen itu dari internet. Sebenarnya
ia juga sedang menyelesaikan sebuah novel yang kini sedang dibaca salah seorang
siswanya. Namun karena kekurangan bahan bacaan, maka ia merelakan novel itu
dibaca siswanya. Satu cerpen telah selesai dilahapnya, dan ia melanjutkannya
pada cerpen yang kedua. Cerita-cerita sangat menginpirasinya, mengingatkan padanya
pengalaman masa kecil di kampung
halaman.
“Ternyata siswa-siswiku sangat
tekun membaca,” Nadya membatin.
Mereka larut dalam ‘“Kamis
Membaca”’ pagi ini. Mereka tekun membaca, walau ya ia tahu, ada pula sedang
bercanda, sekadar berbisik-bisik dengan tekannya. Mereka terdiam kala mata bu
guru yang cantik itu memantau hampir ke semua meja siswa dari meja guru.
Siswa-siswi di kelasnya sangat
memafaatkan waktu pagi ini. Belum lagi gerimis pagi ini telah memberi kesejukan,
berbeda dengan musim kemarau. Sepertinya alam memberi kesejukan bagi
penghuninya. Suasana kelas nyaman. Nadya coba melihat keluar, pada beberapa
ruang kelas yang terpisah dari ruang kelasnya. Tidak biasanya, situasi pagi itu
seperti pentas seni. Pada dua kelas yang dilihatnya, beberapa siswa
berkejar-kejaran, yang berkumpul sambil bercerita sesuka hati. Pemadangan yang
sangat berbeda sebagaimana yang ia alami di kelasnya.
“Kemanakah wali kelasnya?”
“Apakah hanya kebetulan kalau
pagi ini, dua kelas yang berdampingan, tidak diawasi kelas?”
“Atau memang kedua kelas ini
jika setiap “Kamis Membaca” selalu dimanfaatkan seperti ini?” Nadya merenung
berkali-kali.
Ia tak habis-habisnya berpikir
jika keadaan seperti ini yang terjadi selama ini, lalu apakah hasil membaca
lima belas menit dan pembiasaan setiap Kamis sebagai “Kamis Membaca”. Sekali
lagi ia mengamati siswa di dua kelas berbeda itu. Tidak satu pun yang terlihat
membaca. Anehnya lagi, sebagian siswa bernyanyi. Mereka melakukannya tanpa
beban. Mereka sangat tidak menyadari jika teman-temanya di kelas yang lain
sedang membaca. Miris memang kondisi seperti jika dilihat guru. Betapa tidak,
waktu yang tersedia untuk membaca hanya satu jam, tetapi waktu yang cukup ini
tidak dimanfaatkannya secara efektif.
Hati Nadya gerah. Ia tidak bisa
melanjutkan cerpen-cerpen yang dibacanya sejak tadi. Ia merasa sia-sia materi
tentang literasi yang disampaikannya saat rapat dewan guru awal tahun
pembelajaran. Ia ingat betul materi sajiannya sehubungan dengan gerakan
literasi disekolahnya. Ketika itu, sebagai ketua Tim Literasi Sekolah, ia telah
menyampaikan peran wali kelas dalam hal pengawasan kepada siswa saat literasi
yakni membaca. Semua wali kelas menyadari tanggung jawab tersebut. Tetapi
mengapa kondisi pagi ini sangat jauh berbeda dari yang diharapkannya. Nadya tak
membayangkan jika, di kelas-kelas lainnya pun, sebagian besar siswanya hanya
bermain, atau sekadar “ngobrol”, atau bahkan hanya memegang buku tetapi tidak
membaca.
Nadya juga telah menyarankan
kepada semua guu saat rapat, bahwa pada tahap pembiasaan, literasi lima belas
menit bisa dilakukan dengan membaca nyaring. Seorang siswa dtunjuk guru untuk
membaca, sedangkan yang lain menyimak. Atau bertanya jawab tentang buku,
sehingga terhadap beberapa bagian cerita yang dibaca, lalu guru atau seorang
siswa bertanya tentang isi cerita. Memang banyak cara yang dilakukan saat
literasi lima belas menit.
“Tapi apakah semua itu pernah
dilakukan di setiap kelas?”
“Duh…betapa berat tangung jawab
ini,” berkali-kali Nadya membatin.
Mungkin sangat ideal yang
terpikirkan oleh Nadya. Namun memasuki semester kedua ini, sebenarnya literasi
di sekolahnya telah memasuki Tahap Pengembangan. Hal itu berarti, siswa sudah
bisa menuliskan sesuatu yang dibaca.
“Bagaimana mungkin mereka bisa
menulis, sedangkan membaca tidak dilakukan siswa?”
Beribu pertanyaan menohok pikirannya.
Ia bersama timnya telah berupaya secara maksimal dalam berliterasi di
sekolahnya. Namun sampai sejauh ini, aktivitas literasi yang terlihat yakni
siswa bahkan guru hanya menghabiskan waktu dengan membaca tanpa batasan yang
jelas. Ia berharap dengan materi yang telah disosialisasikannya, akan berdampak
peningkatan kemampuan siswa dalam kegiatan pembelajaran.
Nadya kembali ke tempat
duduknya setelah berkeliling mengawasi siswanya membaca. Namun, hatinya
terkesima dengan kondisi yang pagi ini dilihatnya. Ingin rasanya ia bersama
mereka, mengajaknya menggauli sebuah
bacaan, cerpen misalnya. Namun pada “Kamis Membaca” ini, setiap wali kelas
harus membimbing siswanya. Lagi pula jika ia meninggalkan kelasnya, belum tentu
siswa di kelasnya tidak gaduh.
Nadya agak kaget ketika seorang
siswanya bercoloteh, “Bapak, kelas di sebelah sangat ribut.” Sontak pertanyaan
Nofri membuat teman-temannya tertawa karena ia salah menyapa Nadya dengan
Bapak. Nadya pun hanya tersenyum. Tetapi kegaduhan itu menjadi pusat perhatian.
Tidak hanya di dalam kelas itu, tetapi juga siswa-siswi di dua kelas
berdampingan mengarahkan perhatiannya. Nofri tersipu malu sambil berkata,”Maaf
Bu, salah sebut Bu”.
Kini Nadya kembali ke tempat
duduknya. “Entah di halaman berapa,” gumamnya sambil mencari-cari halaman
tertentu pada antologi cerpen itu.
Seorang siswa yang tepat di depannya
seolah mengetahui jika Bu Nadya sedang mencari-cari halaman cerpen yang dibaca.
Seketika itu pula lonceng tanda selesai Jam Membaca berbunyi.
“Ayo, buku-buku dikumpulkan,”
pinta ketua kelas.
Mereka pun kemudian mengumpulkan
sejumlah buku yang selalu dibawa dan dibagikan saat literasi. Beberapa koleksi
buku itu menjadi santapan mereka setiap pagi saat berliterasi lima belas menit.
Atau pada “Kamis Membaca” tersebut.
“Selamat pagi, Bu,” siswa-siswi
serempak menyalaminya.
Pagi ini, Nadya tak menyalami
siswanya. Penampilannya memang kurang bersahabat dengan mereka. Memang sejak
sejam yang lalu, siswa di rung kelas inilah yang berlarian, menyanyi, bercerita
dan tidak membaca. Nadya mulai menginterogasi mereka tanpa berdoa bersama
terlebih dahulu. Nadya memang agak kecewa pagi ini. Siswa-siswi belum satu pun
duduk, tidak seperti biasanya. Mereka masih tetap berdiri, dan tak satu pun
yang duduk. Mereka seolah-olah sedang membaca bahasa tubuh Bu Nadya pagi ini.
Nadya memang agak gusar. Betapa
perilaku mereka pagi ini sungguh mengecewakan. Ia memang pernah menyampaikan
hal berliterasi setiap pagi bahkan pada “Kamis Membaca” kepada mereka. Tetapi
kelakuan siswa-siswinya pagi ini, seolah tidak menggubris pesannya. Ia mulai
menginterogasi siswa-siswinya.
“Kamu yang baca?” tanyanya
kepada seorang siswa yang meletakan novelnya di depan meja.
“Tidak, Bu,” jawabnya.
Nadya tidak melanjutkan
pertanyaannya.
“Bagaimana mungkin ia bisa
membaca, sedangkan hampir seluruh siswa bernyanyi ketika jam literasi,”
analisisnya dalam hati. Ketika itu semua siswa masih berdiri. Mereka seolah
menyadari kesalahan mereka.
“Siapa saja yang bernyanyi di
ruangan ini saat literasi?” pertanyaan Nadya seolah menohok siswa-siswi di
kelas itu. Hampir sebagian besar siswa merunduk. Tertinggal beberapa siswa yang
mengerjakan PR, masih menatap Bu Nadya. Bu Nadya memang ingin menyadarkan
mereka betapa waktu yang disediakan untuk membaca sangatlah bermanfaat. Tidak
semua sekolah menjadikan salah satu hari sebagai pembiasaan membaca. Hal itu
pun telah disampaikan berkali-kali ketika memulai pembelajaran Bahasa Indonesia
sebelum atau setelah kegiatan pembelajaran.
Atas permintaan Bu Nadya,
sebagian besar siswa menuju ke depan kelas. Mereka menyampaikan dengan jujur
perilakunya saat literasi. Judul lagu disebutnya, dan berbeda dari satu kelompok
lainnya. Nadya pun menugaskan mereka untuk bernyanyi bersama. Syarat utama,
lagu yang dinyanyikan bersama harus kompak. Jika persyaratan itu tidak
terpenuhi, maka siapa yang melalaikannya tidak diperkenankan mengikuti
pelajarannya. Sejenak mereka berdiskusi soal lagu yang dinyanyikan.
Kelompok pertama mulai beraksi,
dan ternyata mereka bernyanyi dengan apik, teratur, walau ada beberapa suara
sumbang. Berlanjut kelompok yang kedua. Kelompok pria yang kedua ini memilih
lagu bergenre hip-hop. Mereka pun bernyanyi dengan baik. Namun tingkah salah
seorang siswa yang seolah bernyanyi tapi tidak mengeluarkan suaralah yang membuat
siswa lainnya yang sedang menonton tertawa. Bu Nadya yang masih memendam
amarahnya baru mengetahui perilaku kocak siswa tersebut setelah siswa lain
menyampaikan kepadanya. Sejenak Bu Nadya masih terseyum, tetapi belum melenyapkan
kegusarannya kepada mereka.
Tiba giliran kelompok putri. Mereka
tidak saja bernyanyi, tetapi menari sesuai irama lagu yang dinyanyikan. Mereka
menari sambil tersenyum. Senyum mereka mengumbar senyum Bu Nadya. Mereka
berhasil, sukses menerima tantangan Bu Nadya.
“Apakah mereka sudah sepakat
sebelum bernyanyi, atau memang mereka berlatih saat Jam Membaca satu jam yang
lalu?” pikir Bu Nadya.
Penampilan siswa-siswi putri
ini agak berbeda, sehingga teman-temannya memberikan aplaus. Sejenak ruang
kelas riuh, gegap gempita. Beberapa di antaranya bergoyang tidak seirama.
Meskipun demikian, terlihat gembira. Keceriaan menyelimuti mereka bukan saja
karena Bu Nadya tidak memberi sanksi kepada mereka, tetapi lebih dari itu,
karena mereka dapat bernyanyi dengan kompak. Seolah waktu berliterasi bagi
mereka merupakan waktu latihan, sehingga mereka dapat bernyanyi pula dengan
dengan baik.
“Ataukah ini pun disebut
Literasi Seni?” pikiranku berkecamuk.
Bu Nadya tutur larut dalam lagu
yang dinyanyikan siswanya. Sepintas ia terlihat tersenyum. Wajah bulat oval,
dengan balutan bibir merah tipis membuat siswa-siswinya turut tersenyum. Kelas
ini pun berbubah total menjadi sangat bersahabat. Namun pikirannya berkecamuk
setelah sempat berikir, kalau-kalau bernyanyi itu pun sebagai sebuah wujud
berliterasi. Buktinya sanksi yang diberikan kepada siswa-siswinya yang tidak
membaca menjadi pertunjukan yang menarik.
Kalau saja diperkenankan, tentu
banyak dari mereka akan memilih berlatih bernyanyi dibanding membaca. Sejauh
ini, mereka diwajibkan membawa buku nonteks agar bisa digunakan berliterasi,
tetapi sejauh itu pula hampir sebagian besar dari mereka tidak mengubris.
Mungkin sebagian lagi siswa cenderung beriterasi seni, nanum literasi jenis itu
sepertinya bukan sekarang. Atau lebih tepatnya jika dilaksanakan pada kegiatan
ekstrakurikuler. Semakin Bu Nadya berpikir, semakin asyik untuk sekadar
menggagas, tetapi kepalanya juga semakin pening.
“Bagaimana mungkin menyampaian
literasi seni itu di rapat nanti sedangkan kegiatan membaca lima belas menit
dan “Kamis Membaca” ini pun belum berbuah hasil,” katanya dalam hati.
Hampir sekian belas menit, pikiran
mumet Bu Nadya terobati. Tingkah mereka membuatnya tersenyum. Menyenangkan
bersama mereka. Suka-duka, senang pun gerah karena ulah, selalu terjalin dalam
pertemuan dengan mereka. Dan memang hampir terlihat perilaku unik mereka.
“Entah akan seperti apa mereka
ini kelak? Apakah mungkin, salah
satu atau bahkan beberapa dari mereka akan menjadi penyanyi atau pekerja seni
lainnya?” pikirnya.
Ibarat tumbuhan yang sedang
bertumbuh, maka hari-hari ini Bu Nadya bersama teman-teman seperjuang sedang
merawatnya tanpa henti dan jenuh. Mereka tetap tersenyum melihat setiap
perubahan. Entahlah, hasil dari sebuah gerakan literasi seperti apa, mereka pun
belum memastikannya. Atau siswa-siswi meraih sukses sesuai garis tangannya? Itu
pasti, karena Sang Kuasa telah menggariskannya.
Kupang, 23 Januari 2020
Joni
Liwu, Guru SMPN 13 Kota Kupang, Peserta Bimtek Fasilitator Literasi Baca-Tulis
Tingkat Regional Bali-Nusra oleh Kemdikbud (Denpasar, Mei 2019)
0 Comments