Judul
tulisan ini terlintas dalam benak saya ketika memacu 'kuda matic' saya menuju
SMA NEGERI 2 Fatuleu, Kabupaten Kupang NTT, tempat dimana saya terlibat sebagai
salah satu tim penilai (juri) kegiatan Festival Lomba Seni Siswa Nasional
(FLS2N) tingkat Kabupaten Kupang. Sebenarnya judul ini terganggu dari ulasan
menarik nan renyah dari sahabat saya, Gusti Rikarno, Direktur Media Pendidikan
Cakrawala NTT, yang selalu intens, bukan hanya memantik tetapi membakar
semangat para insan pendidikan NTT, baik dari pemangku kebijakan sampai pada
urusan mikro di lingkungan sekolah.
Hebatnya,
saya memikirkan topik ini dalam kecepatan tinggi 80 - 100 km/jam, buru-buru,
takutnya terlambat sampai tujuan. Syukurnya, tiba tiba terlintas lagu resah dan
gelisah; Kisah Kasih di Sekolah, menemani perjalanan saya. Sambil
nyanyi-nyanyi, saya terus 'tancap gas'. Tapi, hati saya terus terusik. Saya
berpikir, apa urusan saya memikirkan hal pelik ini? Saya siapa? Urusan apa? Eh,
tiba tiba di sudut tikungan tajam sebelum hutan Camplong, seorang bocah lugu,
berpakaian seragam sekolah, tak bersepatu, berteriak penuh cerah ceria,
"selamat pagi pa guru...".
Entah
itu kebetulan, ataukah dia tau, ataukah alam pohon besar menjulang tinggi itu
membisikkan 'roh' kepadanya bahwa saya adalah seorang guru. Saya sempat
bertanya lagi dalam hati, jangan jangan dia belum kerjakan PR-nya sehingga ia
terus memikirkan guru (galak) yang memberikan tugas rumah yang mungkin ruwet.
Saya
seorang guru. Tapi apa urusannya saya memikirkan ini? Resah dan gelisah
memikirkan pendidikan. Bukankah ada pemangku yang lihai menguras, eh...
mengurusnya? Sungguh, monolog ini membuat saya menderita. Saya harus butuh
teman untuk membicarakan ini. Saya menepi kuda pacu saya, hanya untuk meneguk
secangkir kopi di hutan Camplong, tepat di depan area kolam renang yang
eksotik. Damai.
Saya
benar-benar menemukan teman untuk curhat. Ya, secangkir kopi. Setelah minum
kopi, saya yakin bisa monolog dan bisa sepakat pada diri sendiri untuk tidak
terlalu mencari 'kambing hitam', apa dan siapa yang membuat resah dan gelisah
pendidikan di NTT ini. Mengapa sahabat saya menulis seperti itu. Apakah ia juga
ikut resah? Atau hanya gelisah saja?
Berdusta pada Guru
Saya
melanjutkan perjalanan. Sungguh senang ketika menyanyikan terus lagu tembang
lawas masa SMA, Kisah Kasih di Sekolah. Saya bahagia karena menemukan syair
yang aneh, menjadi salah satu penyebab keresahan dunia pendidikan pada umumnya:
"Resah dan gelisah, menunggu di sini, di sudut sekolah tempat yang kau
janjikan, ingin jumpa denganmu, walau mencuri waktu, berdusta pada
guru..."
Entah
si Obbie Mesakh dulu sungguh menelaah baik maksud tujuan syair ini. Ataukah ia
selalu ikut pelatihan tulis menulis syair lagu yang baik, hingga temukan satu
dua keresahan di lingkungan sekolah; selalu mencuri waktu (untuk hal yang tidak
berguna) serta berdusta pada guru. Hingga di akhir lagu beliau mengatakan bahwa
itu (berdusta pada guru) adalah masa dan kisah kasih paling indah di sekolah.
Miris, sungguh aneh, tapi nyata.
Sidang
pembaca pasti paham syair ini. Hati saya juga sedikit lega kala menemukan salah
satu keresahan ini. Mencuri waktu untuk berdusta pada guru adalah ajaran sesat
yang jauh dari spirit pembelajaran karakter jaman sekarang. Begitulah.
Hentikan. Ganti Lagu. Mendingan nyanyi lagu Nina Noi saja.
Fatuleu yang Estetis
Estetis
itu indah. Salah satu sifat hakiki dari seni adalah estetis. Seni mesti indah.
Membahagiakan jiwa dan raga. Kami memasuki cabang menuju SMA NEGERI 2 FATULEU.
Hemat saya kurang lebih 5-7 Km dari bibir jalan utama. 1 Km nya jalanan aspal,
selebihnya jalan bebatuan lepas. Sungguh indah, damai dan tenang menikmati
jalan berlubang, karena di kiri dan kanannya hamparan tanaman kerajinan petani
menghias sejauh mata memandang. Panas. Gersang. Tetapi ada kehidupan di sana.
Udaranya super adem. Segar. Ah... seakan memecah monolog keriuhan yang menemani
perjalanan saya.
Naik
turun lembah adalah kekhasan jalanan di kampung. Sungguh, ini sebenarnya
keindahan gambaran seni rupa 3 dimensi yang sangat fenomenal. Seakan
menghempaskan segala keresahan dan kegelisahan yang ada di otak. Mungkin karena
diguncang kuda pacu yang asik melintasi jalan berlubang. Guncangannya sampai
otak. Baik juga. Bergetar. Hehehe...
Kami
diterima dengan senyuman dan tatapan hangat. Karakteristik kekhasan orang orang
kampung. Jarang ditemui di kota yang katanya besar. Kalau mau lihat hati yang
cerah ceria, cukup dilihat dari tatapan dan senyuman hangat mereka. Senyum
lepas. Tidak ada kepura-puraan.
SDM Melimpah, Tinggal Olah
Waktu
perlombaannya pun dimulai. Antusiasme dari para peserta lomba sangat tinggi.
Vocal Solo putra dan putri sebanyak 48 peserta. Gitar solo sebanyak 8 peserta.
Tari kreasi berpasangan sebanyak 14 peserta. Puisi dan monolog 17 peserta.
Sebanyak
ini, kami menuntaskannya sejak pukul 10:00 wita sampai 20:00 wita. Kami sungguh
menikmati. Ada banyak peserta yang mengeluh. Menggerutu. Mengapa lombanya
sampai malam. Padahal mereka harus pulang ke tempat asal yang sangat jauh.
Sampai ke Amarasi, Amfoang, dan Kupang Barat. Itu ratusan Km jaraknya.
Tiba
tiba otak saya kembali resah memikirkan nasib anak anak ini. Datang jauh jauh,
pagi pagi buta, pulangnya tengah malam, bahkan esok dinihari baru masuk rumah.
Apa kata orang tua nanti? Gara gara lomba saja mereka masuk rumah pagi dini
hari hari berikutnya. Ini tidak beres.
Saya
mencoba membaca Petunjuk Teknis (Juknis) pelaksanaan yang dibuat kementerian
pendidikan dan kebudayaan, untuk level nasional, kegiatannya berlangsung selama
seminggu. Disana ada lombanya, ada wisata edukatif, dan juga hiburan lainnya.
Nah, mengapa hari ini hanya sehari saja? Padahal bisa dibuat minimal 3 hari.
Biar para peserta lomba bisa bahagia menikmati pesta (festival) seni ini. Tidak
buru buru. Menggerutu. Sayang...
Dalam
keheningan malam, jauh dari keriuhan duniawi, saya menatap langit Fatuleu yang
penuh bintang. Ingin bertanya, ini salah siapa? Belum mulai bertanya, saya
disuguhkan kopi hitam, katanya untuk menemani malam yang pekat dan sejuk itu.
Hitam. Larut. Pahit. Gelap. Remang remang. Bahagia. Sedih. Resah. Gelisah.
Untung
saja materi penampilan adik adik peserta lumayan bagus. Yah 20% para peserta
menampilkan dengan sangat baik. Potensinya sudah digali. Bagus. Mungkin mereka
tidak suka lagu Kisah Kasih di Sekolah. Berat. Biar sidang pembaca saja. 10%
pesertanya ada sumber daya, tinggal dikembangkan. Bisa, tapi harus dibiasakan.
Sisipkan sedikit ilmu. Aman. Sedangkan sisanya, sayang, belum bisa berlomba,
alias hanya ikut serta saja. Yang
penting ada. Lalu saya mencoba mencari 'kambing hitam'.
Tapi
berhasil menemukan dalam beberapa catatan, yakni:
1)
Jarang pernah adanya seminar atau workshop seni, semacam memberikan pengertian
dan pengarahan supaya sepaham tentang berkesenian yang baik dan benar. Supaya
sekolah yang juara, jangan juara terus, dan sebaliknya, sekolah yang tidak
juara, hanya ikut serta saja. Biar saja. Yang penting ikut. Juara tidak
penting. Memang juara tidak penting, tapi kebenaran setiap ilmu itu ada dalam
setiap spirit mencari dan mencapai juara. Asalkan spirit yang baik. Jujur.
Adil. Ini tugasnya siapa? Pasti sidang pembaca bisa menjawabnya. Biar kita
menemukan 'kambing hitam nya'. Jangan hanya mencari. Tapi wajib menemukannya.
2)
Penyebaran guru seni (kesenian) yang sesuai dengan kualifikasi akademik belum
merata. Sahabat saya, Pak Umbu, kepala sekolah SMA NEGERI 2 Takari, beliau
mengisahkan bahwa yang melatih anak anaknya adalah guru Matematika dan Kimia.
Sebenarnya siapa saja bisa. Tetapi untuk urusan ilmu, wajib diberikan pada yang
benar benar berkualifikasi. Biar nyambung. Nah, ini juga salah siapa? Silahkan
temukan.
3)
Sarana prasarana penunjang perlombaan juga masih minim. Tidak perlu dicari ini
salahnya siapa!
Keresahan
dan kegelisahan diatas ditangkis oleh beberapa keunggulan yang ditemukan dalam
proses perlombaan ini. Beberapa yang bisa dibagikan, yakni:
1)
Kualitas sumber daya manusia masyarakat NTT sudah mumpuni. Tinggal dibimbing
dan diarahkan. Nah, selain pendidikan di sekolah, semacam seminar, workshop,
atau pelatihan lainnya adalah jalan keluar mengatasi keresahan dan kegelisahan.
Tanpa itu, jangan harap bisa berkompetisi dan berkompeten.
2)
The right man on the right place.
Siswa dibimbing oleh guru yang benar (sesuai kualifikasi akademik). Tanpa itu,
sekali lagi, berharap yang wajar saja.
3)
Salah satu senjata adalah kesediaan sarana dan prasarana penunjang wajib ada.
Ini semacam senjata ampuh untuk berkompetisi di divisi nasional.
Kisah
kasih ini adalah sesungguhnya hanyalah catatan (di) kaki. Mungkin semacam
sebuah pesan berantai. Tidak punya kepentingan atau tendensi politik ataupun
tendensi lainnya. Sesungguhnya, ini hanya cerita peneman kopi Pait dari Waerana
yang berhasil mengembalikan stamina saya setelah diobok-obok dan diulik-ulik
oleh luhurnya jalan berlubang di perkampungan Fatuleu.
Terimakasih
suguhan pengalamannya. Ini sungguh estetis. Mungkin tulisan ini tanpa
kesimpulan. Saran saya, sediakan secangkir kopi hitam, seruput, dan simpulkan
sendiri sendiri. Jangan hanya mencari, tapi menemukan jauh lebih penting.
Oh
ya, tentang kejuaraan juga kami tidak tahu, itu dari sekolah mana. Karena yang
dipegang juri hanyalah nomor undian. Nama peserta dan nama sekolah tidak
(boleh) dipegang juri. Ada maksudnya? Ya pasti... Marilah berkesian sampai
bahagia. Bahagia dalam kebersamaan. Tetap jalani hidup ini, melakukan yang
terbaik!
Marianus Seong Ndewi, S.Pd., M.M
–
Pegiat Seni. Guru Seni Budaya di SMAN 4 Kupang. Aktif di Komunitas Secangkir
Kopi Kupang.
0 Comments